Jumat, 07 Desember 2018

PENYERTAAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM


Perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dalam hukum pidana Islam dapat dijelaskan menggunakan teori penyertaan yang sama halnya dengan penjelasan dalam hukum positif.
Suatu jarimah (tindak pidana) dapat dilakukan oleh seorang diri maupun beberapa orang. Adapun yang dilakukan oleh beberapa orang itu memiliki bentuk kerjasama sebagai berikut:
1.    Pembuat melakukan jarimah bersama-sama dengan orang lain (memberikan bagiannya dalam melaksanakan jarimah) artinya secara kebetulan melakukan bersama-sama.
2.    Pembuat mengadakan persepakatan dengan orang lain untuk melaksanakan jarimah.
3.    Pembuat menghasut (menyuruh) orang lain untuk memperkuat jarimah.
4.    Memberikan bantuan/kesempatan untuk dilakukannya jarimah dengan berbagai cara tanpa turut ikut berbuat[1].
Penyertaan memiliki dua bagian menurut para fuqoha, yaitu:
1.    Turut berbuat langsung (isytirak mubasyir), dan orang yang melakukannya disebut syarik mubasyir.
2.    Turut berbuat tidak langsung (isytirak ghairu mubasyir/isytirak bittasabbubi), dan orang yang melakukannya disebut syarik mutasabbib.
Untuk lebih jelasnya tentang pengertian jarimah turut berbuat langsung dan turut berbuat tidak langsung akan dipaparkan berikut ini:
1.    Turut berbuat langsung
Turut berbuat langsung ada jika yang melakukan jarimah itu lebih dari satu orang. Menurut para Fuqoha, turut berbuat langsung dalam melakukan jarimah ada dua bentuk yang diambil dari bentuk-bentuk penyertaan, yaitu:
a. Orang yang berbuat sendirian/bersama-sama dalam hukum positif disebut dengan turut serta.
Para fuqaha mengadakan pemisahan apakah kerjasama dalam mewujudkan tindak pidana terjadi secara kebetulan (tafawuq) dimana masing-masing peserta hanya bertanggung jawab atas akibat perbuatannya sendiri atau mungkin sudah direncanakan bersama-sama sebelumnya (tamalu’) dimana para peserta harus bertanggungjawab atas akibat perbuatannya secara keseluruhan.
Pada kasus tafawuq, para peserta berbuat karena dorongan pribadinya dan pikirannya yang timbul dalam seketika itu, dan hal ini dapat dipersamakan dengan tindak pidana yang dilakukan secara massal, dimana massal yang terbentuk tidak secara terorganisir untuk melakukan perbuatan pidana seperti yang sering terjadi pada kerusuhan dalam demonstrasi atau perkelahian secara keroyokan yang pelakunya lebih dari satu (massal) seperti halnya kasus di Papua yaitu penyerangan mahasiswa terhadap aparat kepolisian berupa pengeroyokan yang mengakibatkan kematian. Hal ini dilakukan atas nama pribadinya sendiri, tanggung jawab tafawuq ini terbatas pada perbuatannya saja, tidak bertanggung jawab atas perbuatan peserta lain.
Untuk bentuk yang kedua yakni tamalu’, para peserta telah bersepakat untuk berbuat suatu tindak pidana dan menginginkan bersama hasil tindak pidana itu, serta saling membantu dalam pelaksanaannya. Adapun bentuk pertanggungjawaban pidana untuk tamalu’ dimana peserta harus bertanggungjawab atas perbuatannya secara keseluruhan. Bentuk tamalu’ dapat dipersamakan dengan perbuatanpidana yang dilakukan secara massal dengan massa yang terbentuk secara terorganisir.[2]
b. Peserta yang menjadi sebab (tidak langsung), apabila pembuat langsung hanya menjadi kaki tangannya semata, atau apabila si pembuat langsung hanya menjadi alat atau instrumen saja dari orang yang menyuruh, misal A (30 tahun) hendak mencuri barang E (20 tahun) tetapi menyuruh B (6 tahun) untuk mengambil barang tersebut, maka orang yang menyuruh itu dipandang sebagai si pembuat langsung. Dalam hukum positif, bentuk ini dinamakan doen pleger atau menyuruhlakukan pelaku/orang yang disuruh tidak dapat diminta pertanggungjawabannya karena adanya alasan penghapusan pidana yang ada pada orang yang disuruh (aktor materialis). Pada bentuk ini terdapat lebih dari satu orang pelaku tetapi yang hanya dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya hanya satu orang yaitu yang menyuruhlakukan.
Sedangkan apabila disesuaikan dengan rumusan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal, disana dinyatakan bahwa secara langsung maupun tidak langsung, baik direncanakan maupun tidak direncanakan telah terjadi kerjasama, baik hal tersebut dilakukan secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, pernyataan tersebut dimaksudkan bahwa kesemua rangkaian perbuatan pidana yang dilakukan secara massal adalah bersifat kolektif, jadi tidak mungkin adanya kerjasama apabila adanya paksaan.
Berkaitan dengan dua bentuk perbedaan yang telah dipaparkan diatas, pada dasarnya menurut syariat Islam banyak sedikitnya peserta tindak pidana tidak mempengaruhi besarnya hukuman, meskipun masing-masing peserta bisa terpengaruh oleh keadaan dirinya sendiri-sendiri (dan ini tidak dapat dinikmati peserta lain), misalnya dalam suatu tindak pidana, bisa terjadi salah satu peserta melakukan perbuatannya karena membela diri, gila, salah sangka, atau karena lainnya sementara hal itu tidak ada pada peserta lain, maka hukuman yang akan dijatuhkan pun tidak sama.
2. Turut berbuat tidak langsung
Yang dimaksud turut berbuat tidak langsung ialah setiap yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum atau menyuruh (menghasut) orang lain/memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam persepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.[3]
Berdasarkan keterangan tersebut maka unsur-unsur dari berbuat tidak langsung yaitu:
a. Perbuatan yang dapat dihukum jarimah, yaitu dimana kawan berbuat tidak langsung memberikan bagian dalam pelaksanaannya,tidak diperlukan harus selesai dan juga tidak diperlukan bahwa pembuat asli (pembuat langsung harus dihukum pula contoh pada jarimah percobaan dimana kawan berbuat tidak langsung dapat pula dihukum).
b. Niatan dari orang yang turut berbuat, agar sikapnya atau perbuatan yang dimaksudkan dapat  terjadi. Dengan persepakatan, hasutan atu bantuan, dimaksudkan oleh kawan berbuat tidak langsung untuk terjadinya suatu jarimah tertentu.
Jika tidak ada jarimah tertentu yang dimaksudkan, maka dianggap turut berbuat pada setiap jarimah yang terjadi, apabiola dimungkinkan oleh niatnya, dan apabila jarimah yang terjadi bukan yang dimaksudkannya, maka tidak ada turut berbuat meskipun karena persepakatan dan lain-lain itu sendiri ia bisa dijatuhi hukuman.
c. Cara mewujudkan perbuatan tersebut yaitu mengadakan persepakatan atau menyuruh atau membantu.
1. Persepakatan
Persepakatan dapat terjadi karena adanya saling memahami dan karena danya kesamaan kehendak untuk memeperkuat jarimah.jika tidak ada persepakatan sebelumnya maka tidak ada turut berbuat. Jika tidak ada turut berbuat kalu sudah ada persepakatan sebelumnya, tetapi bukan atas jarimah yang terjadi dan dikerjakan bersama.
2. Menyuruh, menghasut (tahrid)
Menghasut adalah membujuk orang lain untuk berbuat jarimah, dan membujuk menjadi pendorong diperbuatnya jarimah.[4] Apabila pembuat memang sudah punya niat sebelumnya akan membuat jarimah, maka bujukan tersebut tidak dikatakan sebagai pendorongnya, dalam hal bertujuan tersebut menjadi pendorong/tidak untuk dilakukannya jarimah, yang pasti bujukan tersebut adalah suatu maksiat yang bisa dijatuhi hukuman.
3. Memberi bantuan
Orang yang memberi bantuan terhadap orang lain dalam memperbuat jarimah dianggap sebagai kawan berbuat tidak langsung meskipun ada persepakatan sebelumnya, seperti berjaga-jaga untuk memudahkan pencurian.
Perbedaan pembuat asli dan pemberi bantuan adalah pembuat asli (mubasyir) adalah orang yang memperbuat atau mencoba memperbuat yang dilarang, maka pemberi bantuan tidak berbuat atau mencoba berbuat melainkan hanya menolong pembuat asli dengan perbantuan-perbantuan yang tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan yang dilarang ataupun sebagai pelaksana terhadap perbuatan tersebut. Apabila dikontekskan dengan hukum positif maka turut berbuat tidak langsung dikategorikan pada bentuk penyertaan penganjuran (uitlokker) dan pembantuan (medeplictihed). Pada kesemua bentuk ini para pelaku dapat dimintakan pertanggungjawabannya sesuai dengan kapasitas perbuatan yang dilakukan dan hal ini bersesuaian dengan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal.
Mengenai hukuman peserta berbuat tidak langsung, menurut hukumpidana Islam adalah hukuman ta’zir, sebab jarimah turut berbuat tidak langsung tidak ditentukan oleh syara’, baik bentuk maupun macamnya. Jarimah yang ditentukan oleh syara’ hanya jarimah hudud dan qishas/diyat saja. Kedua bentuk jarimah tersebut hanya tertuju pada jarimah yang diperbuat secara langsung, bukan untuk kawan berbuatnya (pembuat tidak langsung). Perbuatan tidak langsung merupakan ‘illat dan menunjukkan kesyubhatan dalam perbuatan jarimah, sedangkan syubhat dalam hudud dan qishas menurut kaidah harus dihindari. Oleh karena itu sanksi pelaku jarimah turut serta secara tidak langsung adalah hukuman ta’zir, bukan hudud atau qishas.
Perbedaan di atas hanya berlaku bagi jarimah hudud dan qishas saja dan tidak berlaku bagi jarimah ta’zir. Dalam jarimah ta’zir, tidak ada perbedaan hukuman antara pembuat langsung dan pembuat tidak langsung. Kedua pelaku langsung atau tidak langsung sama-sama dianggap telah melakukan jarimah ta’zir dan hukumannya tentu saja hukuman ta’zir pula.[5]
Satu hal yang perlu dipahami bahwa pada turut berbuat tidak langsung boleh dikatakan tidak bermasalah, karena hal ini disebabkan oleh aturan syariat Islam, hukuman yang telah ditentukan hanya dijatuhkan atas orang yang turut berbuat dengan langsung, bukan atas orang yang berbuat tidak langsung. Akan tetapi hal tersebut dikecualikan pada jarimah pembunuhan dan penganiayaan, dimana turut berbuat langsung dan turut berbuat tidak langsung dijatuhi hukuman, karena kedua jarimah tersebut bisa dikerjakan baik langsung maupun tidak langsung sesuia dengan sifat jarimah tersebut.
Jadi dalam hal perbuatan pidana penyertaan untuk konteks hukum pidana Islam tidak tergantung pada bagaimana bentuk atau ciri-ciri dari perbuatan pidana yang dilakukan secara massal tersebut dan banyaknya pembuat pidana, tapi terfokus pada perbuatan apa yang telah dilakukan seseorang, cara terjadinya perbuatan, keadaan pembuat dan niatnya, maka sebesar itulah pertanggungjawaban yang harus diembannya.


[1] A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967) hlm.136
[2] Drs. H. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) hlm. 56
[3] A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967) hlm. 144
[4] A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967) hlm. 146
[5] Drs. H. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) hlm. 58

AYAT MAKKIYYAH DAN MADANIYYAH


A. Pendahuluan
Al-Qur’an terdiri dari 114 surat diturunkan secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Sebagian ayat-ayat Al-Qur’an itu diturunkan di Makkah dan sebagian lagi diturunkan di Madinah, sehingga muncul istilah surat atau ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah.[1]
Dalam ilmu Al-Qur’an, Makkiyyah dan Madaniyyah termasuk bahasan yang sangat penting karena dengan mengetahui sebuah surat itu Makkiyyah atau Madaniyyah kita dapat menemukan faedah yang besar. 
Berbagai teori digunakan oleh para pengemban petunjuk yang terdiri atas para shahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya untuk meneliti dengan cermat tempat turunnya Al-Qur’an  ayat demi ayat baik dalam hal waktu maupun tempatnya, sehingga dapat dinyatakan bahwa sebuah surat itu Makkiyyah atau Madaniyyah. Surat Makkiyyah dan Madaniyyah juga memiliki ciri khas yang membedakan  diantara keduanya.

B. Pengertian Makkiyyah dan Madaniyyah
Makkiyyah dan Madaniyyah memiliki pngertian sebagai berikut:
1.      Menurut pendapat ulama yang menitikberatkan masalah tempat
·         Makkiyyah   : ayat yang turun di Makkah
·         Madaniyyah: ayat yang turun di Madinah
2.      Menurut pendapat ulama yang menitikberatkan kepada orang yang dituju oleh dialog ayat Al Qur’an
·         Makkiyyah   : dialog kepada penduduk Makkah
·         Madaniyyah: dialog kepada penduduk Madinah
3.      Menurut pendapat ulama yang menitikberatkan kepada waktu
·         Makkiyyah   : ayat yang turun pada periode sebelum  hijrah (sekalipun turun di luar Makkah)
·         Madaniyyah : ayat yang turun pada periode setelah hijrah (sekalipun turun di Makkah)[2]
 Berdasarkan teori yang digunakan, Makkiyyah dan Madaniyyah memiliki            beberapa pengertian, yaitu:
1. berdasarkan teori mulahadhatu makanin nuzul (teori geografis)
·         Makkiyyah adalah surat atau ayat-ayat yang diturunkan di kota Makkah.
·         Madaniyyah adalah surat atau ayat-ayat yang diturunkan di kota Madinah.
2. berdasarkan teori mulahadhatu mukhathabin binnuzul (teori subyektif)
·         Makkiyyah adalah dialog dengan penduduk kota Makkah.
·         Madaniyyah adalah dialog dengan penduduk kota Madinah.
3. berdasarkan teori mulahadhatu zamanin nuzul (teori historis)
·         Makkiyyah adalah surat atau ayat-ayat yang diturunkan sebelum hijrah.
·         Madaniyyah adalah surat atau ayat-ayat yang diturunkan sesudah hijrah.
4. berdasarkan teori maa tadhammamat al-surat (teori content analisis)
·         Makkiyyah adalah surat atau ayat-ayat tentang akidah dan kisah umat-umat terdahulu.
·         Madaniyyah adalah surat atau ayat-ayat tentang hukum, tata masyarakat serta ketatanegaraan.[3]
C. Ciri-ciri khas dan perbedaan antara Makkiyyah dan Madaniyyah
                  Untuk mengetahui dan menentukan Makkiyyah dan Madaniyyah, para ulama bersandar kepada dua cara utama. Pertama, sima’i naqli (pendengaran seperti apa adanya). Cara ini didasarkan pada riwayat shahih dari para sahabat yang hidup pada saat turunnya wahyu atau menyaksikannya, atau dari para tabi’in yang mendengar dan menerima dari para sahabat bagaimana, dimana dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu.
Kedua, cara qiyasi ijtihadi didasarkan pada ciri-ciri Makkiyyah dan Madaniyyah. Apabila dalam surat Makkiyyah terdapat suatu ayat yang mengandung sifat Madaniyyah atau mengandung peristiwa Madaniyyah, maka dikatakan bahwa ayat itu Madaniyyah. Dan apabila dalam surat Madaniyyah terdapat ayat yang bersifat Makkiyyah atau mengandung peristiwa Makkiyyah, maka ayat itu Makkiyyah. Bila dalam satu surat terdapat ciri-ciri Makkiyyah, maka surat itu dinamakan surat Makkiyyah.  Demikian pula bila dalam satu surat terdapat ciri-ciri Madaniyyah, maka surat itu dinamakan surat Madaniyyah. Ciri-ciri Makkiyyah dan Madaniyyah telah diterangkan oleh para ulama setelah mereka meneliti keduanya kemudian menyimpulkan beberapa ketentuan analogis sehingga ciri-ciri khas gaya keduanya dapat diketahui dan dapat dihasilkan kaidah-kaidah dengan ciri-ciri tersebut. Berikut ciri-ciri khas Makkiyyah dan Madaniyyah:
Ø  Ciri khas Makkiyyah
1.       Mengandung ayat sajdah
2.      Mengandung lafal  kalla. Lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari Qur’an. Dan disebutkan tiga puluh tiga kali dalam lima belas surat.
3.      Mengandung  yaa ayyuhan naas.
4.      Mengandung kisah Adam dan Iblis, kecuali surat Baqarah.
5.      Mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu, kecuali surat Baqarah.
6.       Dibuka dengan huruf-huruf singkatan (huruh tahajji), seperti Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, Ha Mim, dan lain-lainnya, kecuali surat Baqarah dan Ali Imran, sedangkan surat Ra’d masih diperselisihkan.
7.      Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksanya, surga dan nikmatnya, argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat kauniah.
8.      Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat, penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara dzalim, penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.
9.      Menyebutkan kisah para nabi dan umat terdahulu sebagai pelajaran bagi orang kafir dan musyrik  sehingga mengetahui nasib orang yang mendustakan sebelum mereka, dan sebagai hiburan bagi Rasulullah sehingga ia tabah menghadapi gangguan mereka dan yakin akan menang.
10.  Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan, pernyataannya singkat, penyampaiannya keras, di telinga terasa menembus, menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat lafal-lafal sumpah, seperti surat-surat yang pendek-pendek. Dan perkecualiannya hanya sedikit.[4]

Ø  Ciri khas Madaniyyah
1.      Mengandung lafal yaa ayyuhal ladziina aamanuu.
2.      Disebutkan orang-orang munafik, kecuali surat Al ‘Ankabut termasuk Makkiyyah.
3.      Menjelaskan ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan social, hubungan internasional, baik di waktu damai maupun perang, kaidah hukum dan masalah perundang-undangan.
4.      Seruan kepada ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka kepada kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran dan perselisihan mereka setelah ilmu dating kepada mereka karena rasa dengki diantara sesame mereka.
5.      Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisis kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.
6.      Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.  

D. Faedah Mengetahui Makkiyyah dan Madaniyyah
Pengetahuan tentang Makkiyyah dan Madaniyyah banyak faedahnya diantaranya:
1.      Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan Qur’an.
2.  Pemilahan antara nasikh dan mansukh bila diantara dua ayat ada makna yang  kontradiktif, yang datang kemudian tentu merupakan nasikh atas yang terdahulu.
3.     Meresapi gaya bahasa Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah menuju jalan Allah.
4.     Mengetahui sejarah hidup nabi melalui ayat-ayat Qur’an, sebab turunnya wahyu kepada Rasulullahsejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwanya, baik pada periode Makkah maupun periode Madinah, sejak permulaan turunnya wahyu hingga ayat terakhir yang diturunkan.[5]
5.   Mendidik dan mengarahkan para da’I ke jalan Allah agar mengikuti jalur Al Qur’an dalam berbicara dan tema pembicaraannya yang sesuai dengan orang yang akan disampaikan kepadanya dakwah Islam dan juga mngetahui tahapan-tahapan dakwah.
6.    Balaghah Al Qur’an semakin nampak karena susunan bahasa yang dipakai sesuai dengan kenyataan kepribadian lawan bicaranya.
7.      Pembentukan hukum Al Qur’an ditempatkan pada proporsi yang tepat secara berjenjang tergantung kesiapan ummat.[6]
8.      Mengetahui ayat yang turun lebih dahulu.
9.      Mengetahui tarikh tasyri’.
10.  Mengetahui hikmah tasyri’.
11.  Mengetahui uslub Al-Qur’an.

E.  Cara-Cara Mengetahui Makkiyyah dan Madaniyyah
Dalam menetapkan mana ayat-ayat Al-Qur’an yang termasuk kategori Makkiyyah dan Madaniyyah, para sarjana muslim berpegang teguh pada dua perangkat pendekatan, yaitu:
1.      Pendekatan Transmisi (Periwayatan)
Dengan perangkat pendekatan transmisi, para sarjana muslim merujuk pada riwayat-riwayat valid yang berasal dari para sahabat, yaitu orang-orang yang besar kemungkinan menyaksikan turunnya wahyu, atau para generasi tabi’in yang saling berjumpa dan mendengar langsung dari para sahabat tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan proses kewahyuan Al-Qur’an, termasuk di dalamnya adalah informasi kronologis Al-Qur’an. Dalam kitab Al-Intishar, Abu Bakar bin Al-Baqilani lebih lanjut menjelaskan: “Pengetahuan tentang Makkiyyah dan Madaniyyah hanya bisa dilacak pada otoritas sahabat dan tabi’in saja. Informasi itu tidak ada yang datang dari Rasulullah SAW karena memang ilmunya tentang itu bukan merupakan kewajiban umat”.
2.      Pendekatan Analogi (Qiyas)
Ketika melakukan kategorisasi Makkiyyah dan Madaniyya, para sarjana muslim penganut pendekatan analogi bertolak dari ciri-ciri spesifik dari kedua klasifikasi itu. Dengan demikian, bila dalam surat Makkiyyah terdapat sebuah ayat-ayat yang memiliki ciri-ciri khusus Madaniyyah, maka ayat ini termasuk kategori ayat Madaniyyah. Tentu saja, para ulama telah menetapkan tema-tema sentral yang ditetapkan pula sebagai ciri-ciri khusus bagi kedua klasifikasi itu. Misalnya mereka menetapkan tema kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu sebagai ciri khusus dari Makkiyyah; tema faraidl dan ketentuan had sebagai ciri khusus Madaniyyah.

F.   Nama-nama surat Makkiyyah dan Madaniyyah
Nama-nama surat dalam Al Qur’an yang diklasifikasikan Makkiyyah dan Madaniyyah sebagai berikut:[7] Pertama, surat-surat Makkiyyah yaitu Al Fatihah, Al An’am (kecuali ayat 20,23,91,93,114,141,151,153), Al A’raf (kecuali ayat 163-170), Yunus (kecuali ayat 40,94-96), Hud (kecuali ayat 12, 17 dan 114), Yusuf (kecuali ayat 28-99), Al-Hijr (kecuali ayat 26,32-33,57 dan 73-78), Al-Kahfi (kecuali ayat 28 dan 83-101), Maryam (kecuali ayat 58-71), Thoha (kecuali ayat 130-131), Al Anbiya’, Al Mu’minun, Al Furqan (kecuali ayat 68-70), Asy Syu’ara’ (kecuali ayat 197 dan 228 sampai akhir), An Naml, Al Qashos (kecuali ayat 52,55 di Madinah dan 85 di Juhfah), Al ‘Ankabut (kecuali ayat 1-11), Ar Rum (kecuali ayat 17), Luqman (kecuali ayat 27-29), As Sajdah (kecuali ayat 16-20), Saba’ (kecuali ayat 6), Fatir, Yasin (kecuali ayat 45), As Saffat, Sad, Az Zumar (kecuali ayat 52-54), Ghafir (kecuali ayat 56-57), Fussilat, Asy Syura (kecuali ayat 23-25 dan 27), Az Zukhruf (kecuali ayat 54), Ad Dukhon, Al Jasiyah (kecuali ayat 14), Al Ahqaf (kecuali ayat 10,15 dan 35), Qof (kecuali ayat 38), Ad Dzariyat, At Thur, An Najm (kecuali ayat 32), Al Qamar (kecuali ayat 44-46), Al Waqi’ah (kecuali ayat 81-82), Al Mulk, Al Qalam (kecuali ayat 17-33 dan 48-50), Al Haqqah, Al Ma’arij, Nuh, Al Jinn, Al Muzammil (kecuali ayat 10,11 dan 20), Al Muddatstsir, Al Qiyamah, Al Mursalat (kecuali ayat 48), An Naba’, An Nazi’at, ‘Abasa, At Takwir, Al Infithar, Al Muthaffifin, Al Insyiqaq, Al Buruj, At Tariq, Al A’la, Al Ghasyiyah, Al Fajr, Al Balad, As Syams, Al Lail, Ad Dhuha, As Syarh, At Thin, Al ‘Alaq, Al Qadar, Al ‘Adiyat, Al Qari’ah, At Takatsur, Al ‘ Ashr, Al Humazah, Al Fil, Quraisy, Al Ma’un (kecuali ayat 1-3), Al Kautsar, Al Kafirun, Al Lahab, Al Ikhlas, Al Falaq, An Nas.
Kedua, surat-surat Madaniyyah yaitu: Al Baqarah (kecuali ayat 281 di Mina), Ali Imran, An Nisa’, Al Maidah (kecuali ayat 3), Al Anfal (kecuali ayat 30-36), At Taubah (kecuali 2 ayat terakhir), Ar Ra’d, Al Hajj (kecuali ayat 52-55 antara Makkah dan Madinah), An Nur, Al Ahzab, Muhammad (kecuali ayat 13 pada waktu hijrah), Al Fath, Al Hujurat, Ar Rahman, Al Hadid, Al Mujadalah, Al Hasyr, Al Mumtahanah, As Saff, Al  Jumu’ah, Al Munafiqun, At Taghabun, At Thalaq, At Tahrim, Al Insan, Al Bayyinah, Az Zalzalah, dan Al ‘Adiyat (turun di Mina pada waktu Haji Wada’).
Namun ada beberapa surat yang diperselisihkan oleh para sarjana muslim dalam pengklasifikasian surat Makkiyyah dan Madaniyyah. Menurut Baidlowi ada 17 surat yaitu: Ar Ra’d, Muhammad, At Taghabun, Al Muthaffifin, Ar Rahman, At Tahdid, Al Mujadalah, At Thin, Al Qadar, Al Bayyinah, Az Zalzalah, Al ‘Adiyat, At Takatsur, Al Ma’un, Al Ikhlas, Ad Dhuha dan An Nas. Sementara menurut As Shuyuthi perbedaan pendapat itu terdapat pada surat: Al Hujurat, Al Jumu’ah, Al Munafiqun, Al Mursalat, Al Fajr dan Al Lail.


G. Penutup
Makkiyyah dan Madaniyyah merupakan bahasan yang penting dalam ilmu Al Qur’an. Kita telah menemukan  banyak faedah di dalamnya. Memang suatu usaha besar yang dilakukan oleh para ulama’ untuk menyelidiki turunnya wahyu dalam segala tahapannya, mempelajari ayat-ayat Qur’an sehingga dapat menentukan waktu serta tempat turunnya dan dengan bantuan tema surat atau ayat dapat merumuskan kaidah-kaidah analogis untuk menentukan apakah sebuah seruan itu termasuk Makki atau Madani, ataukah ia merupakan tema-tema yang menjadi titik tolak dakwah di Makkah atau Madinah. Para Ulama sangat memperhatikan Qur’an dengan cermat. Mereka menertibkan surat-surat sesuai dengan tempat turunnya. Bahkan lebih cermat lagi sehingga mereka membedakan antara yang diturunkan di malam hari dengan yang diturunkan di siang hari, antara yang diturunkan di musim panas dengan yang diturunkan di musim dingin, dan antara yang diturunkan di waktu sedang berada di rumah atau ketika sedang bepergian. Demikian besarnya perhatian mereka teradap pembahasan Makkiyyah dan Madaniyyah ini.

Daftar Pustaka
Al-Qattan, Manna’ Khalil.  Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2009. Chirzin, Muhammad. Al Qur’an dan Ilmu Al Qur’an. Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998.Djalal, Muhammad Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 1990.



[1]M. Chirzin, M.Ag, Al Qur’an dan Ulumul Qur’an, hal. 17
[2] M. Chirzin, M.Ag, Al Qur’an dan Ulumul Qur’an, hal. 17-18
[3] M. Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, hal.
[4] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hal. 86-87
[5] Manna’ Khalil Al Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hal. 81-82
[6] M. Chirzin, M.Ag, Al Qur’an dan Ilmu Qur’an, hal. 18
[7] M. Chirzin, M.Ag, Al Qur’an dan Ulumul Qur’an, hal. 20-21

PENYERTAAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

Perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dalam hukum pidana Islam dapat dijelaskan menggunakan teori penyertaan yang sama halnya de...