Minggu, 10 Desember 2017

SISTEM PERKAWINAN, PRINSIP PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT DAN UU NO. 1 TAHUN 1974, PERKAWINAN ANAK DAN KEDUDUKAN HARTA DALAM PERKAWINAN

BAB I
PENDAHULUAN

Hukum adat perkawinan adalah hukum masyarakat yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan negara, yang mengatur tata tertib perkawinan. Berlakunya hukum adat perkawinan tergantung pada pola susunan masyarakat adatnya. Oleh karena itu tanpa mengetahui bagaimana susunan masyarakat adat yang bersangkutan, maka hukum perkawinan tidak mudah diketahui.
Dalam sebuah perkawinan adat, ada beberapa sistem yang dianut oleh masyarakat seperti sistem endogami di daerah Toraja, eksogami di daerah Gayo dan sistem eleutherogami yang ada di Aceh. Sistem ini ada yang mendominasi perkawinan adat di Indonesia yakni sistem eleutherogami. Sedangkan sistem endogami dan eksogami mulai luntur.
Asas perkawinan adat juga selalu ada dalam sebuah perkawinan adat. Asas-asas tersebut harus dipenuhi dalam sebuah perkawinan adat. Di samping itu ada asas perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974 yang juga mutlak diperhatikan oleh masyarakat adat di Indonesia sebab undang-undang ini merupakan undang-undang perkawinan yang telah dibuat oleh pemerintah.
Perkawinan anak dalam hukum adat juga telah diatur mengenai tatacara dan ketentuan-ketentuannya. Begitu pula mengenai harta perkawinan telah diatur jelas mengenai harta bersama, harta istri maupun suami, hadiah perkawinan dan sebagainya. Hal-hal tersebut akan dipaparkan lebih lanjut dalam makalah ini.




BAB II
PEMBAHASAN

1.    Sistem Perkawinan Menurut Hukum Adat
Sistem perkawinan yang berlaku dalam masyarakat ada 3 macam, yaitu sebagai berikut:
                  1.  Endogami
Yaitu sistem perkawinan di mana seorang laki-laki harus mencari calon istri di dalam lingkungan kerabat (suku, klan, famili) sendiri dan dilarang mencari ke luar dari lingkungan kerabat. Contohnya: Tanah Toraja (Sulawesi Tengah) dan masyarakat Kasta di Bali.[1] Sistem ini jarang sekali. Menurut Van Vollenhoven hanya ada satu daerah saja yang secara praktis mengenal sistem ini yaitu daerah Toraja. Tetapi dalam waktu dekat, di daerah ini pun sistem ini akan lenyap dengan sendirinya jika hubungan daerah itu dengan lain-lain daerah akan menjadi lebih mudah, erat dan meluas. Sebab sistem tersebut di daerah ini hanya terdapat secara praktis saja. Lagi pula endogami sebetulnya tidak sesuai dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada di daerah ini, yaitu parental.[2]
                  2.   Eksogami
Yaitu sistem perkawinan di mana seorang laki-laki dilarang mengawini perempuan yang semarga dan diharuskan mencari calon istri di luar marganya sendiri. Contohnya: Tapanuli Selatan, Gayo, Alas, Minangkabau, Sumatra Selatan, Lampung, Buru dan Seram. Dalam perkembangan zaman, ternyata bahwa sistem eksogami ini dalam daerah-daerah tersebut lambat laun mengalami proses perlunakan sedemikian rupa, hingga larangan diperlakukan hanya pada lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja. Dengan demikian sistem ini dalam daerah-daerah tersebut dalam perkembangan masa akan mendekati sistem eleutherogami.[3]
Saat ini, sistem perkawinan seperti endogami dan eksogami ini cenderung tidak lagi dipertahankan dan salah satunya akibat masuknya ajaran Islam ke daerah-daerah tersebut. Namun, di sana sini masih nampak adanya keinginan golongan tua untuk tidak menghilangkan sama sekali sistem demikian, walaupun tidak secara sempurna, hanya diperlakukan untuk kepentingan kekerabatan dan harta warisan, misalnya di kalangan orang Lampung yang menghendaki agar anak tunggal atau anak tertua tidak mencari calon istri atau calon suami yang bukan orang Lampung. Di kalangan adat Semendo, anak wanita tertua atau salah satu dari anak wanita yang akan dijadikan tunggu tubang diharuskan mencari calon suami dari anggota kerabat sendiri.[4]
                  3.   Eleutherogami
Yaitu sistem perkawinan yang tidak mengenal larangan ataupun keharusan seperti yang terdapat dalam sistem perkawinan endogami dan eksogami.
Larangan yang ada adalam sistem perkawinan eleutherogami adalah larangan-larangan yang berhubungan dengan ikatan-ikatan kekeluargaan[5], yakni:
a.    Nasab (ibu, nenek, anak kandung, cucu, saudara kandung, saudara bapak, dan saudara ibu),
b.    Musyaharoh (ibu tiri, anak tiri, dan saudara perempuan istri).
Eleutherogami ternyata yang paling meluas di Indonesia, misalnya di Aceh, Sumatera Timur, Bangka Biliton, Kalimantan, Minahasa, Sulawesi Selatan, Ternate, Irian Barat, Bali, Lombok dan seluruh Jawa-Madura. Kemungkinan di kemudian hari, sistem ini akan lebih merata di Indonesia.
Di kalangan anggota keluarga masyarakat adat kekerabatan yang telah maju orang tua/keluarga telah dikalahkan oleh muda-mudi yang tidak lagi mau terikat dengan kehendak orang tua/keluarga, tidak lagi membedakan asal-usul masyarakat adat seseorang untuk melakukan perkawinan, sehingga banyak sudah terjadi perkawinan campuran antar suku, walaupun jumlahnya masih belum begitu besar, tetapi lambat laun hal itu akan dianggap soal yang biasa saja.
Di samping itu peranan orang tua/keluarga dalam memberi petunjuk masih terlihat berpengaruh terhadap anak-anak mereka dalam mencari pasangan hidupnya. Pihak orang tua masih menginginkan agar dalam mencari jodoh anak-anak mereka memperhatikan sebagaimana yang dikatakan oleh orang Jawa bibit, bebet, bobotnya dari si pria atau wanita yang bersangkutan. Apakah bibit seseorang itu berasal dari keturunan yang baik, bagaimana sifat, watak, perilaku dan kesehatannya, bagaimana keadaan orang tuanya, apakah anak itu bukan anak kowar, bagaimana pula bebetnya, harta kekayaan dan kemampuan serta ilmu pengetahuannya, apakah anak itu bukan anak kabur kanginan, bagaimana pula bobotnya, apakah pria itu mempunyai pekerjaan, jabatan dan martabat yang baik. Di tanah Batak, peranan orang tua dalam mencarikan jodoh bagi anaknya atau menyetujui perkawinan anaknya, maka ia harus berunding dengan saudara-saudara semarga (dongan tubu di Batak; adik wari di Lampung), saudara-saudara wanita dari ayah yang telah bersuami (boru di Batak; mirul dan mengian di Lampung) dan lain-lain.[6]

2.    Asas-Asas Perkawinan Menurut Hukum Adat dan UU No. 1 Tahun 1974
Perkawinan menurut hukum adat tidak hanya semata-mata memiliki arti suatu ikatan antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami isteri dengan maksud mendapatkan keturunan serta  membangun dan membina rumah tangga, tetapi juga memiliki arti suatu hubungan hukum yang menyangkut anggota kerabat dari pihak suami dan pihak isteri.
Dengan adanya perkawinan, diharapkan supaya mendapatkan keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat menurut garis ayah atau garis ibu maupun garis orang tua. Adanya silsilah yang menggambarkan kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat merupakan barometer dari asal usul keturunan yang baik dan teratur. Sedangkan apabila dalam perkawinan tidak ada keturunan, maka keluarga itu dianggap “putus keturunan” (punu di Batak Karo; mupus di Lampung; putung di Bali). Apabila dari seorang istri tidak mendapatkan  keturunan, maka para anggota kerabat dapat mendesak agar suami mencari perempuan lain atau mengangkat anak kemenakan dari anggota kerabat sebagai penerus rumah tangga yang bersangkutan.
Adapun asas-asas perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai berikut:
      1.       Perkawinan bertujuan membentuk rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
      2.       Perkawinan tidak hanya harus sah dilaksanakan menurut hukum agama atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat.
      3.       Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan anggota keluarga dan anggota kerabat.
      4.       Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang atau beberapa orang perempuan sebagai istri yang kedudukannya ditentukan menurut hukum adat setempat.
      5.       Perkawinan dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum cukup umur.
      6.       Perceraian ada yang boleh dilakukan dan ada yang tidak diperbolehkan.
      7.       Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri didasarkan pada ketentuan hukum adat yang berlaku.[7]
Adapun asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut:
      1.            Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
      2.            Di dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya denagn pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
      3.            Perkawinan harus memenuhi syarat administratif dengan jalan mencatatkan diri pada kantor pencatatan yang telah ditentukan oleh undang-undang.
      4.            Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.
      5.            Undang-Udang ini mengatur prinsip, bahwa calon suami istri itu harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena itu, harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, maka untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur. Batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Sehubungan dengan hal itu, maka Undang-Undang Perkawinan ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
      6.            Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam.
      7.            Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat. Dengan demikian, segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.
Dengan telah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 diharapkan agar masyarakat adat akan dapat menyesuaikan hukum adatnya dengan undang-undang tersebut. Tetapi sejauh mana masyarakat akan dapat menyesuaikan dirinya tergantung pada perkembangan masyarakat adat itu sendiri dan kesadaran hukumnya sebab apa yang menjadi jiwa dari perundang-undangan belum tentu sesuai dengan pikiran masyarakat. Misalnya saja undang-undang menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera. Bagaimanakah bentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera? Apakah kekuasaan suami isteri semata-mata dapat mewujudkan kebahagiaan, kekekalan dan kesejahteraan dalam rumah tangga tanpa adanya pengawasan kekerabatan? Di sini letak perbedaan antara rumah tangga modern dan rumah tangga adat. Rumah tangga modern lebih mementingkan kepentingan perseorangan dan kebendaan, sedangkan rumah tangga adat ingin mempertahankan kekerabatan dan kerukunan.[8]



3.    Perkawinan Anak
            Di beberapa lingkungan masyarakat adat tidak saja pertunangan dapat berlaku sejak masa bayi, seperti berlaku di daerah Ogan Tengah Prabumulih Sumatera Selatan, tetapi juga dapat berlaku perkawinan antara pria dan wanita yang masih belum baligh, atau antara pria yang sudah dewasa dengan wanita yang masih anak-anak atau sebaliknya wanitanya yang sudah dewasa sedangkan prianya masih anak-anak. Jadi di beberapa daerah perkawinan anak-anak merupakan perbuatan yang tidak dilarang, seperti dikalangan masyarakat adat di daerah Kurinci (Jambi), Toraja (Sulawesi Tengah) atau di pulau Rote (NTT).[9] Di daerah Bali perkawinan anak-anak adalah perbuatan yang terlarang, bahkan dapat dijatuhi hukuman.[10]
   Sebagaimana telah disinggung di atas, maka di daerah Pasundan berlaku perkawinan yang disebut ngarah gawe, mengharapkan bantuan tenaga, dimana gadis yang masih anak-anak dikawinkan dengan pemuda yang sudah dewasa. Setelah perkawinan si suami menetap di tempat isteri sebagai tenaga kerja tanpa upah, bekerja untuk kepentingan keluarga isteri, sambil menunggu waktu istri dewasa dan dapat bercampur sebagai suami isteri. Perkawinan yang ditangguhkan masa campur sebagai suami istri disebut kawin gantung (gantung nikah di Jawa).[11] Biasanya kemudian setelah mempelai berdua mencapai umur yang pantas, artinya hidup bersama sebagai suami isteri sudah mungkin, perkawinan ini disusuli dengan perkawinan adat.[12] Hal ini tidak saja berlaku diantara suami isteri yang masih dibawah umur atau belum baligh, tetapi juga dikarenakan sesuatu sebab perlu ada waktu penangguhan. Di daerah Lampung Barat (Krui) dapat terjadi kawin gantung dikarenakan si suami isteri sedang melanjutkan pelajarannya. Dalam agama Islam, kawin gantung dilakukan dengan mengadakan upacara akad nikah menurut hukum Islam, sedangkan  upacara perkawinan adat barulah dilangsungkan sesudah pasangan muda-mudi itu cukup dewasa untuk hidup berkumpul sebagai suami istri.[13]
   Di daerah Rejang Empat Petulai terdapat semacam kawin gantung dikarenakan sebab adat, misalnya suatu perkawinan adat yang sudah terjadi dapat ditangguhkan percampuran suami isterinya terlebih dahulu, sebelum upacara adat bimbang dilaksanakan. Jika sebelum upacara adat bimbang itu mereka melakukan percampuran suami isteri, maka dalam masyarakat Rejang mereka dianggap melakukan zinah menurut adat.[14] Di daerah Lampung pernah berlaku perkawinan yang ditangguhkan percampuran suami isteri, walaupun sudah bersama-sama dalam satu rumah tangga, dikarenakan si suami masih anak-anak, sedangkan isteri sudah dewasa. Latar belakang perkawinan anak-anak, antara lain bersifat dorongan atau paksaan, adalah dikarenakan sebagai berikut:
1.        Adanya pesan (tanggeh di Lampung; weling di Jawa) dari orang tua yang telah meninggal dunia, misalnya dikarenakan diantara orang tua ke dua pihak pernah mengadakan perjanjian untuk se-besan-an (sesabayan di Lampung) agar tali persaudaraan menjadi kuat.
2.        Kedudukan seseorang sebagai kepala kekerabatan yang akan mempengaruhi kegoncangan dalam kekerabatan dan pewarisan atau karena kedudukan terhadap harta kekayaan. Misalnya dapat terjadi dalam bentuk perkawinan negiken (Lampung) atau bentuk perkawinan tambik anak atau semanda ngangkit.
3.        Terjadinya sengketa antar kerabat, untuk dapat memelihara kerukunan dan kedamaian antar kerabat bersangkutan.
4.        Untuk maksud mencegah terjadinya perkawinan dengan orang lain yang tidak dapat disetujui orang tua/kerabat bersangkutan, misalnya anak tertua lelaki di Lampung tidak diperkenankan kawin dengan wanita bukan orang Lampung.
5.        Untuk segera merealisir ikatan hubungan kekeluargaan antara kerabat mempelai laki-laki dan kerabat mempelai perempuan yang memang telah lama mereka inginkan bersama. Alasan inilah yang kadang menyebabkan adanya anak yang masih dalam kandungan telah dijanjikan kelak akan dikawinkan dengan anak suatu keluarga, karena ingin ada ikatan kekeluargaan dengan keluarga yang bersangkutan atau karena keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh dengan adanya ikatan kekeluargaan tersebut.
Apapun yang menjadi latar belakang terjadinya perkawinan anak-anak, dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974, masyarakat adat hendaknya menyesuaikan diri dengan  Undang-undang tersebut. Oleh karena perkawinan anak-anak itu sampai batas umur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita (pasal 7 ayat 1) tidak dapat dibenarkan dan orang tua tidak boleh lagi melaksanakan perkawinan anak-anaknya yang masih dibawah umur. Dengan latar belakang demikian itu orang tua dapat saja membuat persetujuan pertunangan dan tidak usah sampai mengikat tali perkawinan.
Begitu pula penyimpangan yang dimaksud pasal 7 ayat 2 UU Perkawinan, dimana Pengadilan dapat memberikan dispensasi, bukan berarti dispensasi untuk memperkenankan perkawinan anak-anak, melainkan untuk membuka kemungkinan terjadinya perkawinan terpaksa, misalnya dikarenakan gadis dibawah umur sudah hamil belum nikah.[15]
Agama Nasrani mensyaratkan bahwa para muda-mudi haruslah cukup dewasa lebih dahulu sebelum dibenarkan melangsungkan perkawinannya yakni bagi laki-laki 18 tahun dan perempuan 15 tahun. Syarat itu dirumuskan dalam pasal 4 Ordonansi Perkawinan orang Bumiputra Nasrani di Jawa-Madura, Minahasa dan Ambonia.[16]
4.   Harta Perkawinan
   Dalam sebuah keluarga diperlukan adanya harta, untuk memenuhi segala kebutuhan dari setiap anggota keluarga, dengan kata lain, harta perkawinan merupakan modal kekayaan yang dapat digunakan oleh suami istri somah. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 35 dinyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing dari warisan dan hadiah adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan hal lain. Sedangkan menurut  hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami istri selam mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami istri, dan barang-barang hadiah.[17]
   Harta perkawinan merupakan kekayaan duniawi guna memenuhi segala keperluaan hidup somah ini wajib dibedakan dari harta kerabat. Terkadang, batas-batas antara harta perkawinan dan harta kerabat itu sangat lemah dan sulit dilihat, tetapi juga terkadang sangat jelas dan tegas. Jika dalam suatu masyarakat hubungan kekeluargaan ataupun ikatan kerabat masih sangat kuat, kadang-kadang urusan kerabat dapat mencampuri urusan keluarga (harta keluarga). Tetapi sebaliknya jika peranan satuan keluarga lebih kuat daripada kekuasaan kerabat dalam struktur kemasyarakatan , maka kekuasaan kerabat akan nampak lemah.[18]
   Dalam kedudukan harta perkawinan sebagai modal kekayaan dan menghidupi kebutuhan, maka harta perkawinan dapat digolongkan dalam beberapa macam, yaitu:
1.    Harta Bawaan
Harta bawaan dapat dibedakan antara harta peninggalan, harta warisan, harta hibah dan harta pemberian. Penjelasannya sebagai berikut:
a)    Harta peninggalan 
Harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam perkawinan yang berasal dari peninggalan orang tua untuk diteruskan penguasaan dan pengaturan pemanfaatannya guna kepentingan para ahli waris bersama, dikarenakan harta peninggalan itu tidak dibagikan kepada setiap ahli waris. Para ahli waris hanyamempunyai hak pakai, seperti halnya hak “ganggam bauntui” terhadap harta pusaka di Minangkabau atau di Ambon.
Di daerah Lampung, beradat pepadun di dalam perkawinan anak tertua lelaki akan selalu diikut sertakan dengan harta peninggalan orang tua untuk mengurus dan membiayai kehidupan adik-adiknya. Demikian pula dengan seorang istri sebagai tunggu tubang di daerah Semendo. Apabila harta peninggalan itu karena sesuatu kebutuhan hidup yang mendesak akan dijual, maka yang menguasai harta harus meminta persetujuan dengan ahli waris lainnya.[19]
b)   Harta warisan
Harta yang dibawa oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari harta orang tua masing-masing yang dikuasai perseorangan, guna memenuhi kehidupan rumah tangga. Di daerah Pasehan, harta warisan yang dibawa oleh istri ke dalam perkawinan tetap di dalam penguasaannya dan dapat diwariskan kepada anak-anaknya. Jika ia meninggal tidak memiliki keturunan, maka harta warisannya diberikan kepada suaminya. Tetapi bila bercerai, maka harta warisan tersebut dikembalikan kepada keluarga asal.[20]
c)    Harta hibah
Harta yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam perkawinan, yang diperoleh karena hibah atau wasiat dari kerabat, seperti saudara ayahnya atau yang lainnya. Harta ini dikuasai bersama dan dapat diteruskan kepada ahli warisnya.
d)   Harta pemberian
Harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam perkawinan yang berasal dari pemberian para anggota kerabat dan mungkin juga orang lain yang memiliki hubungan baik.
2.      Harta yang diperoleh atas jasa sendiri
Baik suami maupun istri adakalanya sudah memiliki harta masing-masing. Adapun besar kecilnya tergantung kuat tidaknya pengaruh-pengaruh daripada ketentuan-ketentuan kekayaan family di satu pihak dan ketentuan-ketentuan kekayaan somah di lain pihak. Apabila suami yang memperoleh harta tersebut, maka ia sendiri menjadi pemiliknya dan istrinya menurut hokum adat tidak turut serta memiliki barang itu. Tetapi seorang istri dipandang wajar jika mengambil manfaat dari harta tersebut, demikian pula sebaliknya.
Barang-barang yang diperoleh sebelum perkawinan di Sumatera Selatan disebut harta pembujang jika yang memperoleh harta tersebut adalah suami dan harta penantian jika yang memperoleh istri. Demikian pula di Bali, tanpa melihat siapa yang memperoleh harta disebut guna kaya, harta yang demikian itu menjadi hak dari masing-masing begitu juga dengan hutang. Barang yang diperoleh dalam perkawinan, pada umumnya menjadi milik bersama. Harta ini menjadi bagian dari harta kekayaan, apabila terjadi perceraian, maka baik dari suami maupun istri dapat menentut bagian masing-masing. Terhadap asas umum ini, terdapat beberapa pengecualian:
·      Di Aceh, penghasilan suami menjadi miliknya sendiri, apabila istri tidak memberikan bekal untuk perjalanan suaminya.
·      Di Jawa Barat, jika pernikahan terjadi antara istri kaya dan suami miskin, maka harta penghasilan selam perkawinan menjadi hak milik istri, begitu pula sebaliknya.
·      Di Kudus Kulon (Jawa Tengah), dalam lingkungan pedagang baik suami atau istri memiliki barang-barang sendiri yang akan dibawa dalam perkawinan dan juga barang-barang yang diperoleh selama perkawinan.[21]
3.      Harta yang dalam perkawinan diperoleh suami dan istri dan menjadi milik bersama
Adanya hak milik bersama terhadap barang-barang, sudah menjadi gejala umum, bahkan telah menjadi asas umum dalam hukum adat. Pada hakikatnya, hal tersebut menunjukkan bahwa semakin kuatnya pertumbuhan kedudukan hukum somah (keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak) di dalam suatu persekutuan hukum. Di daerah yang mengenal adanya harta milik bersama, menganggap milik bersama segala sesuatu yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan. Apabila dalam mengurus segala kebutuhan sehari-hari si istri dapat berhemat, maka hal tersebut dapat membantu dalam memelihara dan memperbesar harta milik bersama.
Demikian pula pendapat dari yurisprudensi, yaitu keputusan Mahkamah agung pada tanggal 7 Nopember 1956 nomor 51 K/Sip/1956, majalah “HUKUM” 1957, 5-6 halaman 31, yang menetapkan “semua harta yang diperoleh selama berjalannya perkawinan, termasuk “gono-gini”, biarpun mungkin hasil kegiatan suami saja.” Bagian dari gono gini yang merupakan barang warisan adalah sama antara suami dan isteri, demikian menurut keputusan Mahkamah Agung tertanggal 7 Maret 1958 nomor 393 K/Sip/1958.[22]

4.      Hadiah Perkawinan
Barang-barang yang diterima sebagai hadiah perkawinan pada waktu pernikahan biasanya diperuntukkan mempelai berdua, sehingga barang-barang tersebut menjadi harta milik bersama suami istri.
Di pulau Madura, barang-barang demikian ini disebut barang pembawaan. Terhadap barang pembawaan ini di Madura ditetapkan ukuran pembagian yang lain daripada ukuran pembagian bagi barang-barang yang diperoleh dalam masa perkawinan yang di daerah ini disebiut . dari pembawaan itu suami istri masing-masing mendapat separuh, sedangkan barang ghuna-ghana suami mendapat dua pertiga dan istri mendapat bagian sepertiga.
Tetapi ada kalanya pada saat pernikahan itu terjadi pemberian barang atau kadang-kadang juga uang kepada isteri, mempelai perempuan, dari bakal suami atau dari anggota famili, barang-barang ini biasanya tetap menjadi milik isteri sendiri. Barang-barang pemberian perkawinan kepada isteri adalah misalnya jinamee di Aceh, hoko di Minahasa, sunrang di bagian terbesar Sulawesi Selatan.
Di daerah Tapanuli terdapat pula kebiasaan adat untuk memberi barang perhiasan terhadap bakal isteri pada saat pernikahan. Barang ini tetap menjadi milik isteri itu sendiri, bahkan apabila suami mengambil barang perhiasan itu untuk kepentingan diri sendiri, maka perbuatan itu dapat menjadi salah satu alasan bagi isteri memohon perceraian kepada hakim. Juga di Tapanuli ini, pada Suku Batak terdapat kebiasaan adat pemberian tanah kepada bakal isteri oleh keluarga isteri itu sendiri pada saat bakal isteri itu menikah. Tanah ini disebut pauseang   dan tanah ini tetap menjadi milik isteri.
Sebagai pengecualian terhadap asas umum ini adalah apa yang dikenal dengan hokas di daerah Tapanuli. Hokas ini adalah berwujud perlengkapan rumah tangga yang sering diberikan kepada bakal isteri pada perkawinan dengan jujur. Hokas ini adalah barang pembawaan yang diberikan oleh ayah bakal isteri. Hokas ini menjadi milik bakal suami. Hokas itu dilihat seakan-akan sebagai balasan dari ayah isteri terhadap jujuran yang telah diberikan oleh suami.[23]







BAB III
KESIMPULAN

1.            Sistem perkawinan yang berlaku dalam masyarakat ada 3 macam, yaitu; Pertama, Endogami yaitu sistem perkawinan di mana seorang laki-laki harus mencari calon istri di dalam lingkungan kerabat (suku, klan, famili) sendiri dan dilarang mencari ke luar dari lingkungan kerabat. Kedua, Eksogami yaitu sistem perkawinan di mana seorang laki-laki dilarang mengawini perempuan yang semarga dan diharuskan mencari calon istri di luar marganya sendiri. Ketiga, Eleutherogami yaitu sistem perkawinan yang tidak mengenal larangan ataupun keharusan seperti yang terdapat dalam sistem perkawinan endogami dan eksogami.
2.            Adapun asas-asas perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai berikut:
·         Perkawinan bertujuan membentuk rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
·         Perkawinan tidak hanya harus sah dilaksanakan menurut hukum agama atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat, dan sebagainya.
3.            Di beberapa lingkungan masyarakat adat tidak saja pertunangan dapat berlaku sejak masa bayi, tetapi juga dapat berlaku perkawinan antara pria dan wanita yang masih belum baligh, atau antara pria yang sudah dewasa dengan wanita yang masih anak-anak atau sebaliknya.
4.            Harta perkawinan dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
·         Harta yang diperoleh suami atau istri dari warisan atau penghibahan
·         Harta yang diperoleh suami atau istri dari usaha mereka sendiri
·         Harta yang ada ketika perkawinan berlangsung dan menjadi hak milik bersama.
·         Harta yang diperoleh suami atau istri ketika menikah sebagai bentuk hadiah.
DAFTAR PUSTAKA

Hadikusuma, S.H , Hilman, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Alumni, 1977.
Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Sudiyat, Iman, Hukum Adat: Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty, 1981.
Wicnjodipuro, S.H, Surojo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1995.




[1] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat (Bandung: Alumni, 1977), h. 68.
[2] Surojo Wicnjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1995), h. 132.
[3] Ibid.
[4] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat (Bandung: Alumni, 1977), h. 68.
[5] Surojo Wicnjodipuro, Pengantar........, h. 132.
[6] Hilman Hadikusuma,  Hukum Perkawinan..........., h. 69-70.
[7] Ibid., h. 71.
[8] Ibid., h. 72.
[9] Ibid., h. 91.
[10] Surojo Wicnjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1995), h. 133.
[11] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan........., h. 91-92.
[12] Surojo Wicnjodipuro, Pengantar.........., h. 133.
[13] Iman Sudiyat, Hukum Adat: Sketsa Asas (Yogyakarta: Liberty, 1981), h. 127.
[14] Surojo Wicnjodipuro, Pengantar.............., h. 134.
[15] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat (Bandung: Alumni, 1977), h. 93.
[16] Iman Sudiyat, Hukum Adat: Sketsa Asas (Yogyakarta: Liberty, 1981), h. 127.
[17] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan............., h. 156.
[18] Surojo Wicnjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarrta: PT Toko Gunung Agung, 1995), h. 149.
[19] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan............, h. 157-158.
[20] Ibid.
[21] Surojo Wicnjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarrta: PT Toko Gunung Agung, 1995), h. 153-155.
[22] Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 250.
[23] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat (Bandung: Alumni, 1977), h. 159-160.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENYERTAAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

Perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dalam hukum pidana Islam dapat dijelaskan menggunakan teori penyertaan yang sama halnya de...