BAB I
PENDAHULUAN
Hukum adat perkawinan adalah hukum
masyarakat yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan negara, yang
mengatur tata tertib perkawinan. Berlakunya hukum adat perkawinan tergantung
pada pola susunan masyarakat adatnya. Oleh karena itu tanpa mengetahui
bagaimana susunan masyarakat adat yang bersangkutan, maka hukum perkawinan tidak
mudah diketahui.
Dalam sebuah perkawinan adat, ada beberapa
sistem yang dianut oleh masyarakat seperti sistem endogami di daerah Toraja,
eksogami di daerah Gayo dan sistem eleutherogami yang ada di Aceh. Sistem ini
ada yang mendominasi perkawinan adat di Indonesia yakni sistem eleutherogami.
Sedangkan sistem endogami dan eksogami mulai luntur.
Asas perkawinan adat juga selalu ada
dalam sebuah perkawinan adat. Asas-asas tersebut harus dipenuhi dalam sebuah
perkawinan adat. Di samping itu ada asas perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974
yang juga mutlak diperhatikan oleh masyarakat adat di Indonesia sebab
undang-undang ini merupakan undang-undang perkawinan yang telah dibuat oleh
pemerintah.
Perkawinan anak dalam hukum adat juga
telah diatur mengenai tatacara dan ketentuan-ketentuannya. Begitu pula mengenai
harta perkawinan telah diatur jelas mengenai harta bersama, harta istri maupun
suami, hadiah perkawinan dan sebagainya. Hal-hal tersebut akan dipaparkan lebih
lanjut dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Sistem Perkawinan Menurut Hukum Adat
Sistem perkawinan yang berlaku dalam
masyarakat ada 3 macam,
yaitu sebagai berikut:
1. Endogami
Yaitu sistem perkawinan di mana seorang laki-laki harus mencari calon istri di
dalam lingkungan kerabat (suku, klan, famili) sendiri dan dilarang mencari ke luar dari lingkungan kerabat.
Contohnya: Tanah
Toraja (Sulawesi Tengah) dan masyarakat Kasta di
Bali.[1] Sistem ini jarang sekali. Menurut Van Vollenhoven
hanya ada satu daerah saja yang secara praktis mengenal sistem ini yaitu daerah
Toraja. Tetapi dalam waktu dekat, di daerah ini pun sistem ini akan lenyap
dengan sendirinya jika hubungan daerah itu dengan lain-lain daerah akan menjadi
lebih mudah, erat dan meluas. Sebab sistem tersebut di daerah ini hanya
terdapat secara praktis saja. Lagi pula endogami sebetulnya tidak sesuai dengan
sifat susunan kekeluargaan yang ada di daerah ini, yaitu parental.[2]
2. Eksogami
Yaitu sistem perkawinan di mana seorang laki-laki dilarang mengawini perempuan yang semarga dan diharuskan mencari calon istri di luar
marganya sendiri. Contohnya:
Tapanuli Selatan, Gayo, Alas, Minangkabau, Sumatra Selatan, Lampung, Buru dan
Seram. Dalam perkembangan zaman, ternyata bahwa sistem eksogami ini dalam
daerah-daerah tersebut lambat laun mengalami proses perlunakan sedemikian rupa,
hingga larangan diperlakukan hanya pada lingkungan kekeluargaan yang sangat
kecil saja. Dengan demikian sistem ini dalam daerah-daerah tersebut dalam
perkembangan masa akan mendekati sistem eleutherogami.[3]
Saat ini,
sistem perkawinan seperti endogami dan eksogami ini cenderung tidak lagi
dipertahankan dan salah satunya akibat masuknya ajaran Islam ke daerah-daerah
tersebut. Namun, di sana sini masih nampak adanya keinginan golongan tua untuk
tidak menghilangkan sama sekali sistem demikian, walaupun tidak secara sempurna,
hanya diperlakukan untuk kepentingan kekerabatan dan harta warisan, misalnya di
kalangan orang Lampung yang menghendaki agar anak tunggal atau anak tertua
tidak mencari calon istri atau calon suami yang bukan orang Lampung. Di
kalangan adat Semendo, anak wanita tertua atau salah satu dari anak wanita yang
akan dijadikan tunggu tubang diharuskan mencari calon suami dari anggota
kerabat sendiri.[4]
3. Eleutherogami
Yaitu sistem perkawinan yang tidak mengenal larangan ataupun keharusan seperti
yang terdapat dalam sistem perkawinan endogami dan eksogami.
Larangan yang ada adalam sistem perkawinan
eleutherogami adalah larangan-larangan yang berhubungan dengan ikatan-ikatan
kekeluargaan[5],
yakni:
a.
Nasab (ibu, nenek, anak kandung, cucu, saudara
kandung, saudara bapak, dan saudara ibu),
b.
Musyaharoh (ibu tiri, anak tiri, dan saudara perempuan
istri).
Eleutherogami
ternyata yang paling meluas di Indonesia, misalnya di Aceh, Sumatera Timur,
Bangka Biliton, Kalimantan, Minahasa, Sulawesi Selatan, Ternate, Irian Barat,
Bali, Lombok dan seluruh Jawa-Madura. Kemungkinan di kemudian hari, sistem ini
akan lebih merata di Indonesia.
Di
kalangan anggota keluarga masyarakat adat kekerabatan yang telah maju orang
tua/keluarga telah dikalahkan oleh muda-mudi yang tidak lagi mau terikat dengan
kehendak orang tua/keluarga, tidak lagi membedakan asal-usul masyarakat adat
seseorang untuk melakukan perkawinan, sehingga banyak sudah terjadi perkawinan
campuran antar suku, walaupun jumlahnya masih belum begitu besar, tetapi lambat
laun hal itu akan dianggap soal yang biasa saja.
Di
samping itu peranan orang tua/keluarga dalam memberi petunjuk masih terlihat
berpengaruh terhadap anak-anak mereka dalam mencari pasangan hidupnya. Pihak
orang tua masih menginginkan agar dalam mencari jodoh anak-anak mereka
memperhatikan sebagaimana yang dikatakan oleh orang Jawa bibit, bebet, bobotnya
dari si pria atau wanita yang bersangkutan. Apakah bibit seseorang itu berasal
dari keturunan yang baik, bagaimana sifat, watak, perilaku dan kesehatannya,
bagaimana keadaan orang tuanya, apakah anak itu bukan anak kowar,
bagaimana pula bebetnya, harta kekayaan dan kemampuan serta ilmu pengetahuannya,
apakah anak itu bukan anak kabur kanginan, bagaimana pula bobotnya,
apakah pria itu mempunyai pekerjaan, jabatan dan martabat yang baik. Di tanah
Batak, peranan orang tua dalam mencarikan jodoh bagi anaknya atau menyetujui
perkawinan anaknya, maka ia harus berunding dengan saudara-saudara semarga (dongan
tubu di Batak; adik wari di Lampung), saudara-saudara wanita dari
ayah yang telah bersuami (boru di Batak; mirul dan mengian
di Lampung) dan lain-lain.[6]
2. Asas-Asas
Perkawinan Menurut Hukum Adat dan
UU No. 1 Tahun 1974
Perkawinan menurut hukum adat tidak hanya semata-mata memiliki arti
suatu ikatan antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami isteri
dengan maksud mendapatkan keturunan serta
membangun dan membina rumah tangga, tetapi juga memiliki arti suatu
hubungan hukum yang menyangkut anggota kerabat dari pihak suami dan pihak
isteri.
Dengan adanya perkawinan, diharapkan supaya mendapatkan keturunan
yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat menurut garis ayah
atau garis ibu maupun garis orang tua. Adanya silsilah yang menggambarkan
kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat merupakan barometer dari asal usul
keturunan yang baik dan teratur. Sedangkan apabila dalam perkawinan tidak ada
keturunan, maka keluarga itu dianggap “putus keturunan” (punu di Batak
Karo; mupus di Lampung; putung di Bali). Apabila dari seorang
istri tidak mendapatkan keturunan, maka
para anggota kerabat dapat mendesak agar suami mencari perempuan lain atau
mengangkat anak kemenakan dari anggota kerabat sebagai penerus rumah tangga
yang bersangkutan.
Adapun asas-asas perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai
berikut:
1.
Perkawinan bertujuan membentuk rumah tangga dan
hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
2.
Perkawinan tidak hanya harus sah dilaksanakan menurut
hukum agama atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para
anggota kerabat.
3.
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan anggota
keluarga dan anggota kerabat.
4.
Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang
atau beberapa orang perempuan sebagai istri yang kedudukannya ditentukan
menurut hukum adat setempat.
5.
Perkawinan dapat dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan yang belum cukup umur.
6.
Perceraian ada yang boleh dilakukan dan ada yang tidak
diperbolehkan.
7.
Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri
didasarkan pada ketentuan hukum adat yang berlaku.[7]
Adapun asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut:
1.
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk
itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan
material.
2.
Di dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah
bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan
di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku, pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama
halnya denagn pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,
misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan,
suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
3.
Perkawinan harus memenuhi syarat administratif dengan
jalan mencatatkan diri pada kantor pencatatan yang telah ditentukan oleh
undang-undang.
4.
Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh
yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan
mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian
perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila
dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.
5.
Undang-Udang ini mengatur prinsip, bahwa calon suami istri itu harus masak
jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapat keturunan
yang baik dan sehat. Oleh karena itu, harus dicegah adanya perkawinan antara
calon suami istri yang masih di bawah umur karena perkawinan itu mempunyai
hubungan dengan masalah kependudukan, maka untuk mengerem lajunya kelahiran
yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami istri
yang masih di bawah umur. Batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita
untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan batas umur yang lebih tinggi. Sehubungan dengan hal itu, maka
Undang-Undang Perkawinan ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria
maupun bagi wanita, yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
6.
Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia,
kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar
tejadinya perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan
tertentu (pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan
di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi
golongan luar Islam.
7.
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik
dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat. Dengan
demikian, segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan
bersama suami istri.
Dengan telah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 diharapkan agar masyarakat
adat akan dapat menyesuaikan hukum adatnya dengan undang-undang tersebut.
Tetapi sejauh mana masyarakat akan dapat menyesuaikan dirinya tergantung pada
perkembangan masyarakat adat itu sendiri dan kesadaran hukumnya sebab apa yang
menjadi jiwa dari perundang-undangan belum tentu sesuai dengan pikiran
masyarakat. Misalnya saja undang-undang menyatakan bahwa tujuan perkawinan
adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera. Bagaimanakah
bentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera? Apakah kekuasaan suami
isteri semata-mata dapat mewujudkan kebahagiaan, kekekalan dan kesejahteraan
dalam rumah tangga tanpa adanya pengawasan kekerabatan? Di sini letak perbedaan
antara rumah tangga modern dan rumah tangga adat. Rumah tangga modern lebih
mementingkan kepentingan perseorangan dan kebendaan, sedangkan rumah tangga
adat ingin mempertahankan kekerabatan dan kerukunan.[8]
3.
Perkawinan Anak
Di beberapa lingkungan masyarakat
adat tidak saja pertunangan dapat berlaku sejak masa bayi, seperti berlaku di
daerah Ogan Tengah Prabumulih Sumatera Selatan, tetapi juga dapat berlaku
perkawinan antara pria dan wanita yang masih belum baligh, atau antara pria
yang sudah dewasa dengan wanita yang masih anak-anak atau sebaliknya wanitanya
yang sudah dewasa sedangkan prianya masih anak-anak. Jadi di beberapa daerah
perkawinan anak-anak merupakan perbuatan yang tidak dilarang, seperti
dikalangan masyarakat adat di daerah Kurinci (Jambi), Toraja (Sulawesi Tengah)
atau di pulau Rote (NTT).[9]
Di daerah Bali perkawinan anak-anak adalah perbuatan yang terlarang, bahkan
dapat dijatuhi hukuman.[10]
Sebagaimana telah
disinggung di atas, maka di daerah Pasundan berlaku perkawinan yang disebut ngarah
gawe, mengharapkan bantuan tenaga, dimana gadis yang masih anak-anak
dikawinkan dengan pemuda yang sudah dewasa. Setelah perkawinan si suami menetap
di tempat isteri sebagai tenaga kerja tanpa upah, bekerja untuk kepentingan keluarga
isteri, sambil menunggu waktu istri dewasa dan dapat bercampur sebagai suami
isteri. Perkawinan yang ditangguhkan masa campur sebagai suami istri disebut kawin
gantung (gantung nikah di Jawa).[11] Biasanya
kemudian setelah mempelai berdua mencapai umur yang pantas, artinya hidup
bersama sebagai suami isteri sudah mungkin, perkawinan ini disusuli dengan
perkawinan adat.[12] Hal
ini tidak saja berlaku diantara suami isteri yang masih dibawah umur atau belum
baligh, tetapi juga dikarenakan sesuatu sebab perlu ada waktu penangguhan. Di
daerah Lampung Barat (Krui) dapat terjadi kawin gantung dikarenakan si suami
isteri sedang melanjutkan pelajarannya. Dalam agama Islam, kawin gantung
dilakukan dengan mengadakan upacara akad nikah menurut hukum Islam,
sedangkan upacara perkawinan adat
barulah dilangsungkan sesudah pasangan muda-mudi itu cukup dewasa untuk hidup
berkumpul sebagai suami istri.[13]
Di daerah Rejang Empat
Petulai terdapat semacam kawin gantung dikarenakan sebab adat, misalnya suatu
perkawinan adat yang sudah terjadi dapat ditangguhkan percampuran suami
isterinya terlebih dahulu, sebelum upacara adat bimbang dilaksanakan. Jika
sebelum upacara adat bimbang itu mereka melakukan percampuran suami isteri,
maka dalam masyarakat Rejang mereka dianggap melakukan zinah menurut adat.[14]
Di daerah Lampung pernah berlaku perkawinan yang ditangguhkan percampuran suami
isteri, walaupun sudah bersama-sama dalam satu rumah tangga, dikarenakan si
suami masih anak-anak, sedangkan isteri sudah dewasa. Latar belakang perkawinan
anak-anak, antara lain bersifat dorongan atau paksaan, adalah dikarenakan
sebagai berikut:
1.
Adanya pesan (tanggeh di Lampung; weling di Jawa)
dari orang tua yang telah meninggal dunia, misalnya dikarenakan diantara orang
tua ke dua pihak pernah mengadakan perjanjian untuk se-besan-an (sesabayan
di Lampung) agar tali persaudaraan menjadi kuat.
2.
Kedudukan seseorang sebagai kepala kekerabatan yang akan
mempengaruhi kegoncangan dalam kekerabatan dan pewarisan atau karena kedudukan
terhadap harta kekayaan. Misalnya dapat terjadi dalam bentuk perkawinan negiken
(Lampung) atau bentuk perkawinan tambik anak atau semanda ngangkit.
3.
Terjadinya sengketa antar kerabat, untuk dapat memelihara kerukunan
dan kedamaian antar kerabat bersangkutan.
4.
Untuk maksud mencegah terjadinya perkawinan dengan orang lain yang
tidak dapat disetujui orang tua/kerabat bersangkutan, misalnya anak tertua
lelaki di Lampung tidak diperkenankan kawin dengan wanita bukan orang Lampung.
5.
Untuk segera merealisir ikatan hubungan kekeluargaan antara kerabat
mempelai laki-laki dan kerabat mempelai perempuan yang memang telah lama mereka
inginkan bersama. Alasan inilah yang kadang menyebabkan adanya anak yang masih
dalam kandungan telah dijanjikan kelak akan dikawinkan dengan anak suatu
keluarga, karena ingin ada ikatan kekeluargaan dengan keluarga yang
bersangkutan atau karena keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh dengan
adanya ikatan kekeluargaan tersebut.
Apapun yang menjadi latar belakang terjadinya perkawinan anak-anak,
dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974, masyarakat adat hendaknya
menyesuaikan diri dengan Undang-undang
tersebut. Oleh karena perkawinan anak-anak itu sampai batas umur 19 tahun bagi
pria dan 16 tahun bagi wanita (pasal 7 ayat 1) tidak dapat dibenarkan dan orang
tua tidak boleh lagi melaksanakan perkawinan anak-anaknya yang masih dibawah
umur. Dengan latar belakang demikian itu orang tua dapat saja membuat
persetujuan pertunangan dan tidak usah sampai mengikat tali perkawinan.
Begitu pula penyimpangan yang dimaksud pasal 7 ayat 2 UU
Perkawinan, dimana Pengadilan dapat memberikan dispensasi, bukan berarti
dispensasi untuk memperkenankan perkawinan anak-anak, melainkan untuk membuka
kemungkinan terjadinya perkawinan terpaksa, misalnya dikarenakan gadis dibawah
umur sudah hamil belum nikah.[15]
Agama Nasrani mensyaratkan bahwa para muda-mudi haruslah cukup
dewasa lebih dahulu sebelum dibenarkan melangsungkan perkawinannya yakni bagi
laki-laki 18 tahun dan perempuan 15 tahun. Syarat itu dirumuskan dalam pasal 4
Ordonansi Perkawinan orang Bumiputra Nasrani di Jawa-Madura, Minahasa dan
Ambonia.[16]
4.
Harta Perkawinan
Dalam sebuah keluarga
diperlukan adanya harta, untuk memenuhi segala kebutuhan dari setiap anggota
keluarga, dengan kata lain, harta perkawinan merupakan modal kekayaan yang
dapat digunakan oleh suami istri somah. Menurut Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Pasal 35 dinyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing
suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing dari warisan dan
hadiah adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan hal lain. Sedangkan menurut
hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan adalah semua harta yang
dikuasai suami istri selam mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta
kerabat yang dikuasai, maupun harta perseorangan yang berasal dari harta
warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil
bersama suami istri, dan barang-barang hadiah.[17]
Harta perkawinan merupakan
kekayaan duniawi guna memenuhi segala keperluaan hidup somah ini wajib
dibedakan dari harta kerabat. Terkadang, batas-batas antara harta perkawinan
dan harta kerabat itu sangat lemah dan sulit dilihat, tetapi juga terkadang
sangat jelas dan tegas. Jika dalam suatu masyarakat hubungan kekeluargaan
ataupun ikatan kerabat masih sangat kuat, kadang-kadang urusan kerabat dapat
mencampuri urusan keluarga (harta keluarga). Tetapi sebaliknya jika peranan
satuan keluarga lebih kuat daripada kekuasaan kerabat dalam struktur
kemasyarakatan , maka kekuasaan kerabat akan nampak lemah.[18]
Dalam kedudukan harta
perkawinan sebagai modal kekayaan dan menghidupi kebutuhan, maka harta
perkawinan dapat digolongkan dalam beberapa macam, yaitu:
1.
Harta Bawaan
Harta bawaan
dapat dibedakan antara harta peninggalan, harta warisan, harta hibah dan harta
pemberian. Penjelasannya sebagai berikut:
a)
Harta peninggalan
Harta atau
barang-barang yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam perkawinan yang
berasal dari peninggalan orang tua untuk diteruskan penguasaan dan pengaturan
pemanfaatannya guna kepentingan para ahli waris bersama, dikarenakan harta
peninggalan itu tidak dibagikan kepada setiap ahli waris. Para ahli waris
hanyamempunyai hak pakai, seperti halnya hak “ganggam bauntui” terhadap harta
pusaka di Minangkabau atau di Ambon.
Di daerah
Lampung, beradat pepadun di dalam perkawinan anak tertua lelaki akan selalu
diikut sertakan dengan harta peninggalan orang tua untuk mengurus dan membiayai
kehidupan adik-adiknya. Demikian pula dengan seorang istri sebagai tunggu
tubang di daerah Semendo. Apabila harta peninggalan itu karena sesuatu
kebutuhan hidup yang mendesak akan dijual, maka yang menguasai harta harus
meminta persetujuan dengan ahli waris lainnya.[19]
b)
Harta warisan
Harta
yang dibawa oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari harta
orang tua masing-masing yang dikuasai perseorangan, guna memenuhi kehidupan
rumah tangga. Di daerah Pasehan, harta warisan yang dibawa oleh istri ke dalam
perkawinan tetap di dalam penguasaannya dan dapat diwariskan kepada
anak-anaknya. Jika ia meninggal tidak memiliki keturunan, maka harta warisannya
diberikan kepada suaminya. Tetapi bila bercerai, maka harta warisan tersebut
dikembalikan kepada keluarga asal.[20]
c)
Harta hibah
Harta yang
dibawa oleh suami atau istri ke dalam perkawinan, yang diperoleh karena hibah
atau wasiat dari kerabat, seperti saudara ayahnya atau yang lainnya. Harta ini
dikuasai bersama dan dapat diteruskan kepada ahli warisnya.
d)
Harta pemberian
Harta atau
barang-barang yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam perkawinan yang
berasal dari pemberian para anggota kerabat dan mungkin juga orang lain yang
memiliki hubungan baik.
2.
Harta yang diperoleh atas jasa sendiri
Baik suami
maupun istri adakalanya sudah memiliki harta masing-masing. Adapun besar
kecilnya tergantung kuat tidaknya pengaruh-pengaruh daripada
ketentuan-ketentuan kekayaan family di satu pihak dan ketentuan-ketentuan
kekayaan somah di lain pihak. Apabila suami yang memperoleh harta tersebut,
maka ia sendiri menjadi pemiliknya dan istrinya menurut hokum adat tidak turut
serta memiliki barang itu. Tetapi seorang istri dipandang wajar jika mengambil
manfaat dari harta tersebut, demikian pula sebaliknya.
Barang-barang
yang diperoleh sebelum perkawinan di Sumatera Selatan disebut harta
pembujang jika yang memperoleh harta tersebut adalah suami dan harta
penantian jika yang memperoleh istri. Demikian pula di Bali, tanpa melihat
siapa yang memperoleh harta disebut guna kaya, harta yang demikian itu
menjadi hak dari masing-masing begitu juga dengan hutang. Barang yang diperoleh
dalam perkawinan, pada umumnya menjadi milik bersama. Harta ini menjadi bagian
dari harta kekayaan, apabila terjadi perceraian, maka baik dari suami maupun
istri dapat menentut bagian masing-masing. Terhadap asas umum ini, terdapat
beberapa pengecualian:
· Di Aceh,
penghasilan suami menjadi miliknya sendiri, apabila istri tidak memberikan
bekal untuk perjalanan suaminya.
· Di Jawa Barat,
jika pernikahan terjadi antara istri kaya dan suami miskin, maka harta
penghasilan selam perkawinan menjadi hak milik istri, begitu pula sebaliknya.
· Di Kudus Kulon
(Jawa Tengah), dalam lingkungan pedagang baik suami atau istri memiliki
barang-barang sendiri yang akan dibawa dalam perkawinan dan juga barang-barang
yang diperoleh selama perkawinan.[21]
3.
Harta yang dalam perkawinan diperoleh suami dan istri dan menjadi
milik bersama
Adanya
hak milik bersama terhadap barang-barang, sudah menjadi gejala umum, bahkan telah
menjadi asas umum dalam hukum adat. Pada hakikatnya, hal tersebut menunjukkan
bahwa semakin kuatnya pertumbuhan kedudukan hukum somah (keluarga yang terdiri
dari suami, istri dan anak-anak) di dalam suatu persekutuan hukum. Di daerah
yang mengenal adanya harta milik bersama, menganggap milik bersama segala
sesuatu yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan. Apabila dalam mengurus
segala kebutuhan sehari-hari si istri dapat berhemat, maka hal tersebut dapat
membantu dalam memelihara dan memperbesar harta milik bersama.
Demikian pula
pendapat dari yurisprudensi, yaitu keputusan Mahkamah agung pada tanggal 7
Nopember 1956 nomor 51 K/Sip/1956, majalah “HUKUM” 1957, 5-6 halaman 31, yang
menetapkan “semua harta yang diperoleh selama berjalannya perkawinan, termasuk
“gono-gini”, biarpun mungkin hasil kegiatan suami saja.” Bagian dari gono gini
yang merupakan barang warisan adalah sama antara suami dan isteri, demikian
menurut keputusan Mahkamah Agung tertanggal 7 Maret 1958 nomor 393 K/Sip/1958.[22]
4.
Hadiah Perkawinan
Barang-barang yang diterima sebagai hadiah perkawinan pada waktu
pernikahan biasanya diperuntukkan mempelai berdua, sehingga barang-barang
tersebut menjadi harta milik bersama suami istri.
Di pulau Madura, barang-barang demikian ini disebut barang
pembawaan. Terhadap barang pembawaan ini di Madura ditetapkan ukuran
pembagian yang lain daripada ukuran pembagian bagi barang-barang yang diperoleh
dalam masa perkawinan yang di daerah ini disebiut . dari pembawaan itu
suami istri masing-masing mendapat separuh, sedangkan barang ghuna-ghana suami
mendapat dua pertiga dan istri mendapat bagian sepertiga.
Tetapi ada kalanya pada saat pernikahan itu terjadi pemberian
barang atau kadang-kadang juga uang kepada isteri, mempelai perempuan, dari
bakal suami atau dari anggota famili, barang-barang ini biasanya tetap menjadi
milik isteri sendiri. Barang-barang pemberian perkawinan kepada isteri adalah
misalnya jinamee di Aceh, hoko di Minahasa, sunrang di
bagian terbesar Sulawesi Selatan.
Di daerah Tapanuli terdapat pula kebiasaan adat untuk memberi
barang perhiasan terhadap bakal isteri pada saat pernikahan. Barang ini tetap
menjadi milik isteri itu sendiri, bahkan apabila suami mengambil barang
perhiasan itu untuk kepentingan diri sendiri, maka perbuatan itu dapat menjadi salah
satu alasan bagi isteri memohon perceraian kepada hakim. Juga di Tapanuli ini,
pada Suku Batak terdapat kebiasaan adat pemberian tanah kepada bakal isteri
oleh keluarga isteri itu sendiri pada saat bakal isteri itu menikah. Tanah ini
disebut pauseang dan tanah ini
tetap menjadi milik isteri.
Sebagai pengecualian terhadap asas umum ini adalah apa yang dikenal
dengan hokas di daerah Tapanuli. Hokas ini adalah berwujud perlengkapan
rumah tangga yang sering diberikan kepada bakal isteri pada perkawinan dengan
jujur. Hokas ini adalah barang pembawaan yang diberikan oleh ayah bakal isteri.
Hokas ini menjadi milik bakal suami. Hokas itu dilihat seakan-akan sebagai
balasan dari ayah isteri terhadap jujuran yang telah diberikan oleh suami.[23]
BAB III
KESIMPULAN
1.
Sistem perkawinan yang berlaku dalam masyarakat ada 3 macam, yaitu;
Pertama, Endogami yaitu sistem perkawinan di mana seorang laki-laki
harus mencari calon istri di dalam lingkungan kerabat (suku, klan, famili)
sendiri dan dilarang mencari ke luar dari lingkungan kerabat. Kedua, Eksogami yaitu sistem perkawinan di mana seorang laki-laki dilarang mengawini perempuan yang semarga dan diharuskan mencari calon istri di luar marganya
sendiri. Ketiga, Eleutherogami yaitu
sistem perkawinan yang tidak mengenal
larangan ataupun keharusan seperti yang terdapat dalam sistem perkawinan
endogami dan eksogami.
2.
Adapun asas-asas perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai
berikut:
·
Perkawinan bertujuan membentuk rumah tangga dan hubungan
kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
·
Perkawinan tidak hanya harus sah dilaksanakan menurut
hukum agama atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para
anggota kerabat, dan
sebagainya.
3.
Di beberapa lingkungan masyarakat adat tidak saja pertunangan dapat
berlaku sejak masa bayi, tetapi juga dapat berlaku perkawinan antara pria dan
wanita yang masih belum baligh, atau antara pria yang sudah dewasa dengan
wanita yang masih anak-anak atau sebaliknya.
4.
Harta perkawinan dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
·
Harta yang diperoleh suami atau istri dari warisan atau penghibahan
·
Harta yang diperoleh suami atau istri dari usaha mereka sendiri
·
Harta yang ada ketika perkawinan berlangsung dan menjadi hak milik
bersama.
·
Harta yang diperoleh suami atau istri ketika menikah sebagai bentuk
hadiah.
DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma, S.H , Hilman, Hukum Perkawinan Adat, Bandung:
Alumni, 1977.
Soekanto,
Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Sudiyat, Iman, Hukum Adat: Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty,
1981.
Wicnjodipuro,
S.H, Surojo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: PT Toko Gunung
Agung, 1995.
[1] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat (Bandung: Alumni, 1977), h.
68.
[2] Surojo Wicnjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: PT
Toko Gunung Agung, 1995), h. 132.
[3] Ibid.
[4] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat (Bandung: Alumni, 1977),
h. 68.
[5] Surojo Wicnjodipuro, Pengantar........, h. 132.
[6] Hilman Hadikusuma, Hukum
Perkawinan..........., h. 69-70.
[7] Ibid., h. 71.
[8] Ibid., h. 72.
[9] Ibid., h. 91.
[10] Surojo Wicnjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: PT
Toko Gunung Agung, 1995), h. 133.
[11] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan........., h. 91-92.
[12] Surojo Wicnjodipuro, Pengantar.........., h. 133.
[13] Iman Sudiyat, Hukum Adat: Sketsa Asas (Yogyakarta: Liberty, 1981),
h. 127.
[14] Surojo Wicnjodipuro, Pengantar.............., h. 134.
[15] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat (Bandung: Alumni, 1977), h.
93.
[16] Iman Sudiyat, Hukum Adat: Sketsa Asas (Yogyakarta: Liberty, 1981),
h. 127.
[17] Hilman
Hadikusuma, Hukum Perkawinan............., h.
156.
[18] Surojo
Wicnjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarrta: PT Toko Gunung Agung, 1995), h. 149.
[19] Hilman
Hadikusuma, Hukum Perkawinan............, h.
157-158.
[20] Ibid.
[21] Surojo
Wicnjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarrta: PT Toko
Gunung Agung, 1995), h. 153-155.
[22] Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2008), h. 250.
[23] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat (Bandung: Alumni, 1977), h.
159-160.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar