A.
Pendahuluan
Peminangan merupakan kegiatan upaya ke arah
terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan wanita. Peminangan
bukanlah sesuatu yang wajib dalam perkawinan, namun peminangan merupakan
pendahuluan yang sangat penting untuk terwujudnya suatu rumah tangga yang
bahagia. Hukum islam meletakkan dasar bahwa peminangan itu harus ditegakkan
atas dasar suka sama suka dan saling merelakan, tidak dibenarkan adanya unsur
pemaksaan ataupun pemerkosaan terhadap hak asasi masing-masing pihak. Oleh
karena itu, calon suami dianjurkan melihat calon istri dan calon istri
dianjurkan melihat calon suami, kemudian dianjurkan pula adanya pendekatan
untuk saling mengenal satu sama lain agar bias diletakkan dasar kesukaan dan
kerelaan masing-masing pihak dalam melaksanakan perkawinan.
B.
Pengertian dan Dasar Hukum Peminangan (Khitbah)
Peminangan dalam ilmu fikih disebut khitbah. Khitbah
dalam bahasa Arab berasal dari kata خطب – يخطب – خطبة yang berarti permintaan. Secara istilah berarti
pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki kepada pihak seorang wanita
untuk mengawininya baik dilakukan oleh laki-laki itu secara langsung atau
dengan perantaraan pihak lain yang dipercayainya sesuai dengan
ketentuan-ketentuan agama.[1]
Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa
peminangan (khitbah) adalah
pernyataan seorang lelaki kepada seorang perempuan bahwasanya ia ingin menikahinya, baik langsung kepada perempuan tersebut maupun kepada walinya. Penyampaian maksud ini boleh secara
langsung ataupun
dengan
perwakilan
wali. Adapun Sayyid
Sabiq,
dengan ringkas
mendefinisikan
pinangan (khitbah) sebagai permintaan untuk mengadakan pernikahan oleh
dua orang dengan perantaraan yang jelas. Pinangan ini merupakan syariat Allah SWT
yang harus dilakukan sebelum mengadakan pernikahan agar kedua calon
pengantin saling mengetahui.
C. Dasar Hukum Khitbah (Peminangan)
Mengenai peminangan ini telah diatur oleh hukum Islam, baik dalam
Al-Qur’an maupun hadits. Dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 235 menjadi
dasar dari peminangan, yang berbunyi:
وَلاَ جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَآءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ
فِي أَنفُسِكُمْ عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِن لاَّ
تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلاَّ أَن تَقُولُوا قَوْلاً مَّعْرُوفًا وَلاَ
تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ
غَفُورٌ حَلِيمُ
Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu
dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam
hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu
ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”
Selain ayat di atas, juga terdapat hadits riwayat
Ahmad yang berbicara tentang masalah khitbah ini yakni:
وعن جابرقال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم, إذا
خطب أحدكم المرأة فإن استطاع أن ينظر منها إلى مايدعوه إلى نكاحها فاليفعل
قالفخطبت جارية من نبي سلمة فكنت أختبئ لها تحت الكرب حتى رأيت منها بعض ما دعاني
إلى نكاحها فتزوجتها
Artinya: “Dari Jabir bahwa Rasulullah SAW bersabda: Apabila
salah seorang di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa memandang
bagian yang menarik
untuk dinikahi, hendaknya ia lakukan.”
D.
Batasan Pergaulan Antara Laki-Laki dan Perempuan dalam Masa Khitbah
Peminangan (khitbah) adalah proses yang mendahului
pernikahan akan tetapi bukan termasuk dari pernikahan itu sendiri. Pernikahan
tidak akan sempurna tanpa proses ini, karena Peminangan (khitbah) ini
akan membuat kedua calon pengantin akan menjadi tenang akibat telah saling mengetahui. Oleh karena itu, walaupun telah
terlaksana proses peminangan, norma-norma pergaulan antara calon suami dan
calon istri masih tetap sebagaimana biasa. Tidak boleh memperlihatkan hal-hal
yang dilarang untuk diperlihatkan karena agama tidak memperkenankan melakukan
sesuatu terhadap pinangannya kecuali melihat, apabila menyendiri dengan pinangannya akan menimbulkan
perbuatan yang dilarang oleh agama. Akan
tetapi bila ditemani oleh salah seorang mahramnya untuk mencegah terjadinya
perbuatan-perbuatan maksiat maka dibolehkan.[2]
Adapun batasan pergaulan yang boleh dilakukan
ketika dalam masa khitbah adalah:
1.
Seorang peminang boleh melihat calon istrinya
dengan berniat benar-benar ingin menikahinya, yang boleh dilihat pada waktu
meminang adalah wajah dan telapak tangannya calon istri, sebab wajah adalah
pancaran jiwa, sedangkan kedua telapak tangan biasanya menunjukan kebersihan
tubuh dan kesuburannya. Seorang pria
yang bermaksud menikahi seorang wanita dianjurkan melihat calon istrinya
tersebut sebelum menikahinya. Dia diperbolehkan mengulang-ngulang melihatnya
agar bisa meyakinkan hati dan menimbulkan kemantapan, serta agar tidak menyesal
di kemudian hari.[3]
2.
Diperkenankan bercakap-cakap dengan calon istri
selagi tidak menjurus kemaksiatan. Tidak diperkenankan untuk berjabat
tangan dengan calon istri dalam keadaan bagaimanapun, sebab calon istri adalah
‘’wanita asing’’ sebelum adanya akad nikah
3.
Pada saat meminang, sang peminang dengan yang
dipinang tidak diperkenankan berdua-duaan, namun harus ada mahramnya juga.
Sebab islam mengharamkan pertemuan seorang laki-laki dan perempuan (bukan
mahramnya) secara berduaan.[4]
E.
Syarat
Melakukan Khitbah
1.
Syarat Mustahsinah
Syarat mustahsinah adalah syarat yang berupa
anjuran kepada seorang laki-laki yang akan melamar seorang perempuan agar ia
meneliti lebih dahulu perempuan yang akan dilamarnya itu. Sehingga, dapat
menjamin kelangsungan hidup berumah tangga kelak. Syarat mustahsinah ini
bukanlah syarat yang wajib dipenuhi, tetapi hanya berupa anjuran dan kebiasaan
yang baik.
Yang termasuk syarat mustahsinah itu adalah:
·
Perempuan yang akan dilamar hendaklah sejodoh
dengan laki-laki yang meminangnya, seperti sama kedudukannya, sama-sama baik
rupanya, sama dalam tingkat sosial ekonominya, dan sebagainya.
·
Perempuan yang akan dilamar hendaknya perempuan
yang mempuanyi sifat kasih sayang dan mampu memberikan keturunan sesuai dengan anjuran
Rasulullah saw.
·
Perempuan yang akan dilamar hendaknya perempuan
yang jauh hubungan darah dengan laki-laki yang akan melamarnya. Islam melarang
laki-laki menikahi seorang perempuan yang sangat dekat hubungan darahnya.
·
Hendaknya laki-laki mengetahui keadaan-keadaan
jasmani, budi pekerti, dan sebagainya dari perempuan yang akan dilamar.
2.
Syarat Lazimah
Syarat lazimah adalah syarat yang wajib
dipenuhi sebelum proses melamar atau khitbah dilakukan. Sahnya lamaran
bergantung kepada adanya syarat-syarat lazimah.
Syarat lazimah tersebut adalah:
·
Perempuan yang akan dilamar tidak sedang
dilamar laki-laki lain. Apabila sedang dilamar laki-laki lain, maka laki-laki
tersebut telah melepaskan hak pinangnya sehingga perempuan dalam keadaan bebas.
·
Perempuan yang akan dilamar tidak dalam
masa iddah. Masa iddah adalah masa menunggu bagi seorang perempuan
yang ditalak suaminya. Haram hukumnya melamar peempuan yang sedang dalam masa
iddah talak raji’i.
·
Perempuan yang akan dilamar hendaklah yang
boleh dinikahi. Artinya, perempuan tersebut bukan mahrom bagi laki-laki yang
akan melamarnya.[5]
F.
Macam-Macam
Peminangan
Peminangan terdapat dua cara, yaitu:
1.
Khitbah yang dilakukan secara terang-terangan,
artinya pihak laki-laki menyatakan niatnya untuk mengawininya dengan permohonan
yang jelas atau terang. Misalnya “Aku ingin mengawinimu” Hal ini dapat dilakukan
kapada wanita yang habis iddah nya dan wanita yang masih sendirian
statusnya.
2.
Khitbah
yang dilakukan secara sindiran. Artinya peminang dalam
mengungkapkan keinginanya tidak menggunakan kalimat yang jelas yang dapat dapat dipahami. Misalnya “Kamu sudah sepantasnya untuk menikah”. Meminang dengan
kata Kinayah ini
Haram Apabila wanita
itu
dalam keadaan iddah talak Raj’i. Dan Boleh apabila
wanita itu dalam masa iddah
karena ditinggal mati suaminya.[6]
G.
Pembatalan
peminangan
Dalam hal peminangan, meskipun status hukumnya belum mengikat dan belum pula
menimbulkan kewajiban yang harus
dipenuhi
oleh
salah satu pihak,
namun seseorang
itu
tidak diperbolehkan membatalkannya tanpa adanya
alasan-alasan yang rasional dan harus dilakukan
dengan cara yang
baik
(dibenarkan oleh syara’).
Pada saat meminang, lazimnya ada pemberian atau hadiah yang
diberikan kepada pihak yang dipinang. Pemberian ini harus dibedakan
dengan mahar. Mahar adalah suatu
pemberian dari calon suami kepada calon istri dengan sebab nikah. Sedangkan
pemberian ini termasuk dalam pengertian hadiah atau hibah. Oleh karena itu akibat yang ditimbulkan oleh pemberian hadiah, berbeda juga dengan pemberian dalam bentuk
mahar. Jika peminangan tersebut
berlanjut ke
jenjang pernikahan memang tidak masalah, namun bila tidak, maka diperlukan
penjelasan tentang status pemberian tersebut.
Adapun kedudukan pemberian-pemberian
lainnya yang telah diterima oleh pihak yang dipinang atau walinya, begitu pula mahar yang telah dibayar sebelum dilaksanakannya
akad nikah
sehubungan dengan pembatalan peminangan antara keduanya,
para fuqaha saling berbeda pendapat,
yaitu:
1.
Fuqaha Syafi’iyah berpendapat
bahwa peminang berhak meminta kembali
apa
yang telah diberikan kepada terpinang,
jika
barang yang
diberikan kepada terpinang masih utuh maka diminta
apa adanya, dan jika barang itu sudah
rusak atau sudah
habis (hilang) kembali nilainya
seharga barangnya,
baik pembatalan itu datang dari pihak laki-laki maupun perempuan.
2.
Fuqaha Hanafi berpendapat bahwa barang-barang yang diberikan oleh pihak peminang kepada pinanganya
dapat diminta kembali apabila barangnya masih utuh, apabila sudah berubah atau hilang
atau telah dijual maka pihak laki-laki sudah tidak berhak meminta kembali barang tersebut.
3.
Fuqaha Maliki berpendapat bahwa apabila barang itu datang dari pihak peminang maka barang-barang
yang pernah diberikan tidak boleh diminta
kembali, baik
pemberian
itu masih utuh maupun sudah berubah.
Sebaliknya apabila pembatalan datang dari pihak yang dipinang maka jika
barang pemberian itu masih utuh atau sudah berubah maka boleh diminta. Apabila barang rusak maka syarat dan adat itulah
yang harus diikuti.
4.
Fuqaha
Hanabilah dan sebagian Fuqaha tabi’in berpendapat bahwa pihak
peminang tidak berhak dan tidak
ada hak meminta kembali barang-barang yang telah diberikan kepada terpinang, baik barang
tersebut masih utuh maupun
sudah berubah,
karena menurut
pendapat mereka bahwa pemberian (hibah) tidak boleh diminta kembali kecuali pemberian seorang ayah kepada anaknya.[7]
Perbedaan tersebut terjadi dikarenakan
tidak adanya dalil-dalil yang menunjukkan permasalahan ini dalam satu segi, dan dalam segi lain memang
ada
kebolehan membatalkan peminangan karena sebab-sebab yang rasional
dan
dibenarkan
syara’. Akan tetapi jika timbul permasalahan maka lebih baik diadakanya musyawarah untuk mencapai perdamaian. Dengan demikian dapat diserasikan antara tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga dapat terbina kerukunan
dan
saling menghargai
satu sama lain.
H.
Khitbah (Peminangan) dalam Peraturan Perundang-Undangan di
Indonesia
Undang-undang Perkawinan sama sekali tidak membicarakan peminangan.
Hal ini mungkin disebabkan peminangan itu tidak mempunyai hubungan yang
mengikat dengan perkawinan. Peminangan di Indonesia, diatur dalam KHI bab 1
(ketentuan umum) pasal 1 huruf a, dan bab III tentang peminangan pasal 11-13.
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 Bab 1
huruf a bahwa pengertian peminangan adalah kegiatan upaya kearah terjadinya
hubungan perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita denagan cara-cara
yang baik (ma’ruf). Peminangan langsung dapat dilakukan oleh orang yang
berkehendak mencari pasangan jodoh tapi dapat pula dilakukan oleh perantara
yang dapat dipercaya (pasal 11 KHI).
Pasal 12 ayat (1) KHI menjelaskan bahwa
peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap
janda yang telah habis masa iddahnya. Ini dapat dipahami sebagai syarat
peminangan. Selain itu wanita yang dipinang haruslah tidak terdapat halangan
sebagai berikut, KHI pasal 12 ayat (2), (3), dan (4).
·
Ayat (2): wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah
raj’iah, haram dan dilarang untuk dipinang.
·
Ayat (3): dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain,
selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dan pihak
wanita.
·
Ayat (4): putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya
hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan
meninggalkan wanita yang dipinang.
Pada prinsipnya apabila peminangan telah
dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang wanita, belumlah berakibat
hukum. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam KHI pasal 13 ayat:
1.
Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan
para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.
2.
Kebebasan memutuskan hubungan peminangan
dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan
setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.
I.
Peminangan dalam Masyarakat Indonesia
1.
Bentuk Peminangan
Berkaitan dengan peminangan
ini, dalam masyarakat terdapat kebiasaan
pada waktu
upacara peminangan, yaitu calon laki-laki memberikan
sesuatu pemberian, seperti perhiasan atau cindera mata lainnya sebagai tanda
bahwa seseorang tersebut sungguh-sungguh berniat untuk melanjutkan kepada jenjang pernikahan.
Peminangan yang dilakukan oleh masyarakat
Indonesia sangat bervariasi sesuai dengan adat istiadat dan kebiasaan
masyarakat setempat. Sebagaimana diketahui bahwa dalam masyarakat Indonesia
berlaku bermacam-macam sistem kekerabatan parental, patrilineal dan matrilineal.
Pada sistem kekerabatan parental, kedudukan pria dan wanita sama, namun dalam
masalah peminangan pihak pria lebih berperan aktif untuk meminang meskipun ada
beberapa juga pihak wanita yang lebih aktif dalam peminangan.
Dalam praktek adat istiadat di Indonesia tidak
sedikit pula peminangan dilakukan oleh pihak wanita kepada pria, sebagaimana
yang terjadi di Minangkabau, Paciran (Lamongan) dan lain sebagainya. Peminangan
semacam ini lebih banyak terjadi di daerah yang menganut sistem kekerabatan
matrilineal.
Bentuk peminangan sebagaimana disebutkan terakhir
berlaku jika kedua calon mempelai berasal dari daerah yang sama atau daerah
lain tetapi mempunyai adat istiadat yang sama. Jika kedua calon mempelai
berasal dari daerah yang berbeda dan mempunyai adat istiadat yang berbeda pula,
maka hal ini tergantung kesepakatan kedua belah pihak mengenai siapa yang
melakukan peminangan.
2.
Tata cara meminang
Dalam hukum Islam, dijelaskan langkah-langkah yang
sebaiknya dilakukan oleh seorang yang hendak meminang yakni dengan menyelidiki
keadaan dan perilaku wanita yang hendak dipinangnya dengan melihat wanita
tersebut. Namun dalam masalah tatacara peminangannya sendiri, Islam memberikan
peluang untuk melakukan peminangan sesuai dengan adat istiadat dan kebiasaan
masyarakat setempat. Di Indonesia, terdapat bermacam-macam cara peminangan dari
yang sederhana seperti di daerah Pasundan sampai yang paling rumit seperti adat
istiadat Palembang.
Sudah menjadi tradisi di Indonesia bahwa peminangan
dilakukan dengan cara yang jelas, yakni kedua belah pihak keluarga secara
langsung maupun melalui wakilnya berkumpul dan mengadakan kesepakatan untuk
melaksanakan perkawinan pada masa yang akan datang. Permintaan untuk menikah
yang dilakukan oleh seorang pria kepada wanita secara langsung belum bisa
dianggap sebagai suatu peminangan, apalagi dilakukan dengan sindiran. Hal itu
karena masyarakat menganggap peminangan sebagai sesuatu yang penting dan
peminangan tersebut bukan hanya urusan dua orang mempelai saja, tetapi
merupakan urusan keluarga/kerabat. Kehendak kedua belah pihak dalam peminangan
inilah yang pada hakekatnya dianggap sebagai manifestasi adanya sebuah
perjanjian kesepakatan kedua belah pihak untuk mengadakan ikatan perkawinan.
Salah satu contoh misalnya tradisi peminangan di
Paciran Kabupaten Lamongan. Di daerah ini yang dominan dalam masalah peminangan
adalah pihak wanita, pria hanya menunggu datangnya pinangan. Peminangan
dilakukan oleh pihak wanita kepada pihak pria dengan didampingi oleh beberapa
orang dari keluarga atau dapat pula dilakukan oleh perantaranya. Lain halnya
dengan adat yang berlaku di Banjar, di daerah ini pihak pria lebih aktif dalam
proses peminangan.
3.
Pemberian hadiah
Menurut teori hukum adat yang berlaku di
masyarakat Indonesia, sebuah perjanjian belum tentu akan mengikat pihak yang
bersangkutan untuk melaksanakan isi perjanjian walaupun kedua belah pihak telah
sepakat, selama belum terjadi penyerahan suatu tanda ikatan.
Dalam masyarakat Indonesia, secara umum orang yang
telah terikat dalam suatu peminangan, sebagai tanda ikatan tersebut memberikan sesuatu
terhadap orang yang telah dipinangnya. Dengan diterimanya tanda ikatan tersebut
dapat dijadikan sebagai bukti yang mengikat, jika kemudian hari salah satu
pihak telah berbuat ingkar janji, maka pihak lain dapat menuntut ganti rugi.
Tanda pengikat yang berlaku dalam masyarakat
Indonesia bermacam-macam, biasa berupa uang, barang, perhiasan atau senjata. Di
setiap daerah, tanda pengikat ini mempunyai nama yang berbeda-beda, antara
lain:
a.
Di Aceh disebut tanda kong norit: tanda bahwa janji
sudah mengikat.
b.
Di Nias disebut Bobo Mibu: pengikat rambut.
c.
Di kepulauan Mentawai disebut sesere (sere: pengikat).
d.
Di Sulawesi Selatan disebut passikok. (sikok:
mengikat)
e.
Di kepulauan Kei disebut Mas Aye: emas pengikat.
f.
Di Jawa dikenal dengan istilah panjer atau peningset:
alat untuk mengikat.
g.
Di Sunda dikenal dengan istilah penyangcang: alat
pengikat, tanda cengkeram.
h.
Di Bali dikenal dengan istilah paweweh: hadiah.[8]
Dalam masyarakat seperti sekarang ini, peminangan
ditandai dengan adanya acara tukar menukar cincin, yaitu kedua belah pihak
saling memberikan cincin, sehingga cincin disini berfungsi sebagai alat
pengikat.[9]
Setelah ikatan peminangan tersebut sempurna dan
antara keduanya memasuki masa pertunangan maka antara keduanya pun tidak jarang
saling memberikan sesuatu sebagai ungkapan kebahagiaan atas hubungan tersebut
dan juga kasih saying antara keduanya. Hal ini didasarkan atas anggapan bahwa
antara kedua belah pihak sudah terikat janji untuk melangsungkan perkawinan.
Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa akibat
peminangan itu adalah: pertama, bahwa satu pihak terikat perjanjian untuk kawin
dengan pihak lain tertentu. Kedua, timbul keharusan member hadiah-hadiah, jadi
bilamana tidak ada hadiah, maka pertunangan dibatalkan. Ketiga, perlindungan
terhadap si wanita supaya terhindar dari pergaulan bebas. Keempat, mulai
timbulnya pada pergaulan tertentu antara calon menantu pria dengan keluarga
pihak wanita juga sebaliknya.[10]
4.
Pergaulan pada masa peminangan
Pada dasarnya, peminangan merupakan janji untuk
melaksanakan akad nikah pada waktu yang akan datang, belum merupakan akad nikah
yang sah yang menyebabkan kehalalan hubungan suami isteri, tetapi kenyataan
yang terjadi di masyarakat, tidak jarang antara pria dan wanita yang sedang
dalam masa pertunangan melakukan hubungan intim selayaknya suami isteri. Padahal
tujuan dari peminangan itu sendiri hanyalah agar antara kedua belah pihak
saling mengenal dan lebih memantapkan hatinya untuk melangsungkan perkawinan.
Kenyataan semacam ini banyak terjadi di masyarakat dengan anggapan
bahwa wanita yang sudah dipinang adalah milik si peminang dan akan menjadi
istrinya karena sudah adanya janji untuk menikah, sehingga antara keduanya
sudah seperti sepasang suami isteri. Misalnya adat yang berlaku di daerah
Minangkabau, seorang wanita yang sudah dipinang agar tinggal beberapa hari di
rumah tunangannya agar dia bisa menyesuaikan diri dengan keluarga pria.
5.
Pembatalan peminangan
Jika kehendak pembatalan peminangan muncul dari pihak peminang maka
dia kehilangan haknya untuk menarik kembali hadiah kerena dia merupakan penyebab
tidak terealisasinya tujuan peminangan. Demikian pula sebaliknya, jika yang
memutuskan peminangan adalah pihak yang dipinang, maka ia harus mengembalikan
hadiah tersebut kepada peminang.
Menurut hukum Islam, bagi pihak yang menerima pembatalan tidak
dapat menuntut apapun dari pihak yang membatalkan. Segala pemberian kepada yang
dipinang tidak boleh diminta secara paksa, kecuali maskawin. Selama tidak ada
perjanjian untuk mengembalikan, segala macam pemberian menjadi hak penerima.
Menurut hukum adat yang berlaku di Indonesia, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Soerjono Soekanto, apabila ikatan peminangan diputuskan oleh
pihak pria, maka pihak pria (orang tua pihak pria) tidak berhak menuntut
kembali uang tunangan (Keputusan Mahakamah Agung tanggal 7 Februari 1959 No.
396/K/Sip/1958). Sedangkan apabila ikatan peminangan tersebut diputuskan oleh
pihak wanita (orang tua pihak wanita), maka pihak wanita itu harus memberikan
kepada pihak pria ulos-ulos yang hanya dapat berupa sehelai kain batak dan
bukan uang tunai selaku gantinya (Keputusan Mahkamah Agung tanggal 6 Juli 1959,
No. 64K//Sip/1952). Namun apabila pihak wanita dalam memutuskan pinangan
tersebut tanpa ada cukup alasan, maka pihak wanita harus membayar jujur dua
kali lipat, demikian diputuskan oleh Pengadilan Negeri Medan dengan
keputusannya untuk perkara No. 240/1956 tanggal 17 Juli 1956.[11]
J.
Beberapa Kasus Dalam Khitbah
Peminangan bukanlah hal yang wajib dilakukan, namun peminangan
memiliki nilai yang baik sebagai pendahulu sebelum melangsungkan perkawinan.
Peminangan mampu menguatkan jalinan perkawinan yang akan dilangsungkan
sesudahnya dikarenakan telah ada hubungan baik dan saling mengenal antara kedua
belah pihak laki-laki dan perempuan.
Realita di lapangan, banyak terjadi kasus pembatalan
peminangan, bisa jadi pihak laki-laki yang membatalkan lamarannya atau
sebaliknya, pihak perempuan mencabut kembali keputusannya untuk menerima
lamaran pihak laki-laki.
Dalam hal pembatalan peminangan ini, walaupun
secara yuridis belum memiliki kekuatan hukum karena belum terikat dalam sebuah
perkawinan, namun secara sosiologis, hal ini merupakan aib yang memalukan dalam
keluarga. Hal ini dapat menjadi beban
psikologis yang berat bagi kedua belah pihak keluarga.
Pembatalan peminangan dapat terjadi karena beberapa
faktor seperti masa tunangan yang terlalu lama, merasa tidak cocok setelah
terjadi khitbah, terjadi selingkuh dalam pertunangan, melanggar norma susila
dan norma agama karena pemahaman yang salah bahwa dalam masa pertunangan salah
satu pihak menganggap berhak melakukan apa saja layaknya suami istri sedangkan
pihak yang lain tidak bersedia, salah satu pihak berubah sikap (tidak
konsisten), dan juga belum siap membina rumah tangga karena dijodohkan oleh
orang tua.
Ada beberapa penelitian yang mengungkapkan mengenai beberapa kasus
pembatalan khitbah, di antaranya:
Kasus 1
Kasus ini terjadi di Desa Penggalang Kecamatan Adipala Kabupaten
Cilacap. Seorang laki-laki bernama A melamar seorang perempuan bernama B dengan
membawa barang-barang bawaan (seserahan peningset) berupa cincin, sejumlah
uang, pakaian atasan (berupa kain) dan sejumlah makanan. A ketika melamar B datang
langsung bersama orang tuanya, dengan membawa saksi (penyeksi) sebanyak 2
orang, dan pihak B juga menyediakan saksi sebanyak 2 orang dan dihadiri oleh
Bapak Kadus (Kepala Dusun). Ketika lamaran dibahas bahwa untuk menuju ke
jenjang perkawinan A diberi waktu untuk menunggu B selama kurang lebih 2 tahun
dengan alasan bahwa B akan merantau ke luar negeri (menjadi TKW). Pada saat
masa khitbah (tunangan) itu antara A dan B tidak pernah ketemu mengingat jarak
yang jauh dan belum ada alat komunikasi, hingga kemudian sepulang dari
perantauan itu B berubah sikap menjadi tidak cinta dengan A dengan alasan belum
siap membina rumah tangga. Permasalahan tersebut kemudian dimusyawarahkan
dengan keluarga kedua belah pihak yang kemudian memutuskan untuk membatalkan
pertunangan. Pihak B sebagai pihak yang membatalkan pertunangan mengembalikan
semua barang seserahan kepada pihak A.
Kasus 2
Kasus ini juga terjadi di Desa Penggalah. Seorang laki-laki bernama
C melamar seorang perempuan bernama D dengan perantara seorang wakil.
Barang-barang yang dibawa pada saat lamaran yaitu bahan pakaian, sejumlah uang
dan makanan. Dalam lamaran ini tidak ada saksi, hanya keluarga kedua belah
pihak saja yang menghadiri. Pasca lamaran kedua belah pihak jarang bertemu dan
berkomunikasi. Di samping itu, orang tua D merasa putus asa dan berubah sikap
dengan tidak membolehkan D menemui C. Masa tunangan hanya bertahan selama
kurang lebih 6 bulan, yang kemudian pertunangan itupun dibatalkan. Pihak C yang
mempunyai inisiatif untuk membatalkan. Barang-barang seserahan yang dulu
diberikan kepada pihak D pada saat lamaran tidak ada satupun yang dikembalikan
kepada pihak C.
Kasus seorang perempuan bernama E dilamar oleh seorang laki-laki
bernama F. Pihak E menerima barang seserahanberupa cincin, bahan pakaian,
sejumlah uang, makanan dan buah-buahan. Prosesi khitbah disaksikan atau sengaja
mengundang ketua RT untuk menjadi saksi dan beberapa sanak saudara dan
tetangga. Selama masa khitbah, awalnya tidak ada permasalahan di antara
keduanya, akan tetapi kemudian mulai timbul saling curiga di antara keduanya
hingga akhirnya sering terjadi percekcokan. F mempunyai pemahaman jika sudah
terjadi pertunangan maka seorang perempuan berhak untuk dibawa kemana saja
sekehendak hati seperti layaknya seorang yang telah menikah. E berkali-kali
diminta tidur di rumah F tapi E selalu menolak dengan alasan bahwa belum
menikah. Di samping itu F menuduh E mempunyai pacar lagi. Dengan melihat
tingkah laku dan perangai F, maka pihak E memutuskan untuk membatalkan
pertunangan. Barang seserahan yang dulu diberikan kepada E, dikembalikan
semuanya kepada pihak F.
Ada pula beberapa daerah yang mengenakan sanksi terhadap pihak yang
membatalkan nikah, disamping mengembalikan hadiah yang diberikan sebelumnya,
seperti yang berlaku di Desa Ngreco, Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo. Di daerah ini, pihak yang meminang
mendapatkan sanksi apabila membatalkan peminangan sesuai dengan kesepakatan
yang dilaksanakan pada saat peminangan. Apabila yang membatalkan dari pihak
yang meminang, maka cukup membayar sanksi, namun apabila yang membatalkan dari
pihak yang dipinang maka selain membayar sanksi, juga harus mengembalikan
pemberian yang diberikan oleh pihak peminang. Sanksi yang diberikan bervariasi,
biasanya berupa uang senilai minimal 2 juta rupiah ke atas atau bahan bangunan.
Daftar Pustaka
Al-Hamdani, Risalah Nikah (alih bahasa Agus Salim), Pekalongan:
Raja Murah, 1980.
Sudiyat,
Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, cet. II, Yogyakarta: Liberty, 1981.
Ghozali,
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003.
Hadi, Abdul, Fiqh Munakahat, Semarang: Duta Grafika, 1989.
Hamid,
Zahri, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di
Indonesia, cet. I, Jakarta: Bina Cipta, 1978.
Mukhtar,
Kamal, Asas-Asas Hukum Islam tentang
Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Soekanto,
Soerjono dan Soeleman Toneko, Hukum Adat Indonesia, cet. III, Jakarta,
Rajawali Press, 1986.
Ulwan,
Abdullah Nashih, Tata Cara Meminang dalam
Islam. Cet. I, Jakarta: Qisthi Press, 2006.
[1] Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1993), hlm. 28.
[2] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2003), hlm. 84.
[3] Zahri Hamid, Pokok-Pokok
Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, cet. I
(Jakarta: Bina Cipta, 1978), hlm. 17-18.
[4] Abdullah
Nashih Ulwan, Tata Cara
Meminang dalam Islam. Cet. I (Jakarta: Qisthi Press, 2006), hlm. 39-40.
[5] Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam…, hlm. 28-32.
[6] Abdul Hadi, Fiqh Munakahat, (Semarang: Duta Grafika, 1989), hlm. 126.
[7] Al-Hamdani, Risalah Nikah (alih bahasa Agus Salim), (Pekalongan: Raja Murah, 1980), hlm. 21.
[8] Iman Sudiyat, Hukum
Adat Sketsa Asas, cet. II (Yogayakarta: Liberty, 1981), hlm. 109-110.
[9] Soerjono
Soekanto dan Soeleman Toneko, Hukum Adat Indonesia, cet. III (Jakarta,
Rajawali Press, 1986), hlm. 247.
[10] Ibid.,
hlm. 247.
[11]
Soerjono
Soekanto dan Soeleman Toneko, Hukum Adat…, hlm. 249.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar