Senin, 11 Desember 2017

Khitbah (Peminangan): Antara Norma dan Realita

A.      Pendahuluan
Peminangan merupakan kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan wanita. Peminangan bukanlah sesuatu yang wajib dalam perkawinan, namun peminangan merupakan pendahuluan yang sangat penting untuk terwujudnya suatu rumah tangga yang bahagia. Hukum islam meletakkan dasar bahwa peminangan itu harus ditegakkan atas dasar suka sama suka dan saling merelakan, tidak dibenarkan adanya unsur pemaksaan ataupun pemerkosaan terhadap hak asasi masing-masing pihak. Oleh karena itu, calon suami dianjurkan melihat calon istri dan calon istri dianjurkan melihat calon suami, kemudian dianjurkan pula adanya pendekatan untuk saling mengenal satu sama lain agar bias diletakkan dasar kesukaan dan kerelaan masing-masing pihak dalam melaksanakan perkawinan.
B.       Pengertian dan Dasar Hukum Peminangan (Khitbah)
Peminangan dalam ilmu fikih disebut khitbah. Khitbah dalam bahasa Arab berasal dari kata خطب – يخطب – خطبة yang berarti permintaan. Secara istilah berarti pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki kepada pihak seorang wanita untuk mengawininya baik dilakukan oleh laki-laki itu secara langsung atau dengan perantaraan pihak lain yang dipercayainya sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama.[1]
Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa peminangan (khitbah) adalah pernyataan seorang lelaki kepada seorang perempuan bahwasanya ia ingin menikahinya, baik langsung kepada perempuan tersebut maupun kepada walinya. Penyampaian maksud ini boleh secara langsung ataupun dengan perwakilan wali. Adapun  Sayyid  Sabiq,  dengan  ringkas  mendefinisikan  pinangan (khitbah) sebagai permintaan untuk mengadakan pernikahan oleh dua orang dengan perantaraan yang jelas. Pinangan ini merupakan syariat Allah SWT yang harus dilakukan sebelum mengadakan pernikahan agar kedua calon pengantin saling mengetahui.
C.      Dasar Hukum Khitbah (Peminangan)
Mengenai peminangan ini telah diatur oleh hukum Islam, baik dalam Al-Qur’an maupun hadits. Dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 235 menjadi dasar dari peminangan, yang berbunyi:
وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَآءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنفُسِكُمْ عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِن لاَّ تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلاَّ أَن تَقُولُوا قَوْلاً مَّعْرُوفًا وَلاَ تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ غَفُورٌ حَلِيمُ
Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”
Selain ayat di atas, juga terdapat hadits riwayat Ahmad yang berbicara tentang masalah khitbah ini yakni:
وعن جابرقال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم, إذا خطب أحدكم المرأة فإن استطاع أن ينظر منها إلى مايدعوه إلى نكاحها فاليفعل قالفخطبت جارية من نبي سلمة فكنت أختبئ لها تحت الكرب حتى رأيت منها بعض ما دعاني إلى نكاحها فتزوجتها
Artinya: “Dari Jabir bahwa Rasulullah SAW bersabda: Apabila salah seorang di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa memandang bagian yang menarik untuk dinikahi, hendaknya ia lakukan.

D.      Batasan Pergaulan Antara Laki-Laki dan Perempuan dalam Masa Khitbah
Peminangan (khitbah) adalah proses yang mendahului pernikahan akan tetapi bukan termasuk dari pernikahan itu sendiri. Pernikahan tidak akan sempurna tanpa proses ini, karena Peminangan (khitbah) ini akan membuat kedua calon pengantin akan menjadi tenang akibat telah saling mengetahui.  Oleh karena itu, walaupun telah terlaksana proses peminangan, norma-norma pergaulan antara calon suami dan calon istri masih tetap sebagaimana biasa. Tidak boleh memperlihatkan hal-hal yang dilarang untuk diperlihatkan karena agama tidak memperkenankan melakukan sesuatu terhadap pinangannya kecuali melihat, apabila  menyendiri  dengan pinangannya akan menimbulkan perbuatan yang dilarang oleh agama.  Akan tetapi bila ditemani oleh salah seorang mahramnya untuk mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan maksiat maka dibolehkan.[2]
Adapun batasan pergaulan yang boleh dilakukan ketika dalam masa khitbah adalah:
1.      Seorang peminang boleh melihat calon istrinya dengan berniat benar-benar ingin menikahinya, yang boleh dilihat pada waktu meminang adalah wajah dan telapak tangannya calon istri, sebab wajah adalah pancaran jiwa, sedangkan kedua telapak tangan biasanya menunjukan kebersihan tubuh dan kesuburannya. Seorang pria yang bermaksud menikahi seorang wanita dianjurkan melihat calon istrinya tersebut sebelum menikahinya. Dia diperbolehkan mengulang-ngulang melihatnya agar bisa meyakinkan hati dan menimbulkan kemantapan, serta agar tidak menyesal di kemudian hari.[3]
2.      Diperkenankan bercakap-cakap dengan calon istri selagi tidak menjurus kemaksiatan. Tidak diperkenankan untuk berjabat tangan dengan calon istri dalam keadaan bagaimanapun, sebab calon istri adalah ‘’wanita asing’’ sebelum adanya akad nikah
3.      Pada saat meminang, sang peminang dengan yang dipinang tidak diperkenankan berdua-duaan, namun harus ada mahramnya juga. Sebab islam mengharamkan pertemuan seorang laki-laki dan perempuan (bukan mahramnya) secara berduaan.[4]

E.       Syarat Melakukan Khitbah
1.         Syarat Mustahsinah
Syarat mustahsinah adalah syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-laki yang akan melamar seorang perempuan agar ia meneliti lebih dahulu perempuan yang akan dilamarnya itu. Sehingga, dapat menjamin kelangsungan hidup berumah tangga kelak. Syarat mustahsinah ini bukanlah syarat yang wajib dipenuhi, tetapi hanya berupa anjuran dan kebiasaan yang baik.
Yang termasuk syarat mustahsinah itu adalah:
·           Perempuan yang akan dilamar hendaklah sejodoh dengan laki-laki yang meminangnya, seperti sama kedudukannya, sama-sama baik rupanya, sama dalam tingkat sosial ekonominya, dan sebagainya.
·           Perempuan yang akan dilamar hendaknya perempuan yang mempuanyi sifat kasih sayang dan mampu memberikan keturunan sesuai dengan anjuran Rasulullah saw.
·           Perempuan yang akan dilamar hendaknya perempuan yang jauh hubungan darah dengan laki-laki yang akan melamarnya. Islam melarang laki-laki menikahi seorang perempuan yang sangat dekat hubungan darahnya.
·           Hendaknya laki-laki mengetahui keadaan-keadaan jasmani, budi pekerti, dan sebagainya dari perempuan yang akan dilamar.

2.         Syarat Lazimah
Syarat lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum proses melamar atau khitbah dilakukan. Sahnya lamaran bergantung kepada adanya syarat-syarat lazimah.
Syarat lazimah tersebut adalah:
·           Perempuan yang akan dilamar tidak sedang dilamar laki-laki lain. Apabila sedang dilamar laki-laki lain, maka laki-laki tersebut telah melepaskan hak pinangnya sehingga perempuan dalam keadaan bebas.
·           Perempuan yang akan dilamar tidak dalam masa iddah. Masa iddah adalah masa menunggu bagi seorang perempuan yang ditalak suaminya. Haram hukumnya melamar peempuan yang sedang dalam masa iddah talak raji’i.
·           Perempuan yang akan dilamar hendaklah yang boleh dinikahi. Artinya, perempuan tersebut bukan mahrom bagi laki-laki yang akan melamarnya.[5]

F.       Macam-Macam Peminangan
Peminangan terdapat dua cara, yaitu:
1.        Khitbah yang dilakukan secara terang-terangan, artinya pihak laki-laki menyatakan niatnya untuk mengawininya dengan permohonan yang jelas atau terang. Misalnya Aku ingin mengawinimu” Hal ini dapat dilakukan kapada wanita yang habis iddah nya dan wanita yang masih sendirian statusnya.
2.        Khitbah   yan dilakuka secar sindiran.   Artiny peminan dalam mengungkapkan keinginanya tidak menggunakan kalimat yang jelas yang dapat dapat dipahami. Misalnya Kamu sudah sepantasnya untuk menikah. Meminang dengan  kata  Kinayah ini  HaraApabila wanita  itu  dalam keadaan iddah talak Raji. Dan Boleh apabila wanita itu dalam masa iddah karena ditinggal mati suaminya.[6]
G.      Pembatalan peminangan
Dalam hal peminangan, meskipun status hukumnya belum mengikat dan belum  pula  menimbulkan  kewajiban  yang  harus  dipenuhi  oleh  salah  satu pihak, namun seseorang itu tidak diperbolehkan membatalkannya tanpa adanya alasan-alasan yang rasional dan harus dilakukan dengan cara yang baik (dibenarkan oleh syara’).
Pada saat meminang, lazimnya ada pemberian atau hadiah yang diberikan kepada pihak yang dipinang. Pemberian ini harus dibedakan dengan mahar. Mahar adalah suatu pemberian dari calon suami kepada calon istri dengan sebab nikah. Sedangkan pemberian ini termasuk dalam pengertian hadiah atau hibah. Oleh karena itu akibat yang ditimbulkan oleh pemberian hadiah, berbeda juga dengan pemberian dalam bentuk mahar. Jika peminangan tersebut  berlanjut ke jenjang pernikahan memang tidak masalah, namun bila tidak, maka diperlukan penjelasan tentang status pemberian tersebut.
Adapun kedudukan pemberian-pemberian lainnya yang telah diterima oleh piha yan dipinan ata walinya, begitu pula mahar yang telah dibayar sebelum dilaksanakannya akad nikah sehubungan   denga pembatalan peminangan antara keduanya, para fuqaha saling berbeda pendapat, yaitu:
1.        Fuqaha Syafiiyah berpendapat bahwa peminang berhak meminta kembali apa yang telah diberikan kepada terpinang, jika barang yang diberikan kepada terpinang masih utuh maka diminta apa adanya, dan jika barang itu sudah rusak atau sudah habis (hilang) kembali nilainya seharga barangnya, baik pembatalan itu datang dari pihak laki-laki maupun perempuan.
2.        Fuqaha Hanafi berpendapat bahwa barang-barang yang diberikan oleh pihak peminang kepada pinanganya dapat diminta kembali apabila barangnya masih utuh, apabila sudah berubah atau hilang atau telah dijual maka pihak laki-laki sudah tidak berhak meminta kembali barang tersebut.
3.        Fuqaha Maliki berpendapat bahwa apabila barang itu datang dari pihak peminang maka barang-barang yang pernah diberikan tidak boleh diminta kembali baik   pemberian   it masi utuh   maupun   sudah   berubah. Sebaliknya apabila pembatalan datang dari pihak yang dipinang maka jika barang pemberian itu masih utuh atau sudah berubah maka boleh diminta. Apabila barang rusak maka syarat dan adat itulah yang harus diikuti.
4.        Fuqaha Hanabilah dan sebagian Fuqaha tabiin berpendapat bahwa pihak peminang tidak berhak dan tidak ada hak meminta kembali barang-barang yang telah diberikan kepada terpinang, baik barang tersebut masih utuh maupun   suda berubah,   karen menurut   pendapa merek bahwa pemberian (hibah) tidak boleh diminta kembali kecuali pemberian seorang ayah kepada anaknya.[7]
Perbedaan tersebut terjadi dikarenakan tidak adanya dalil-dalil yang menunjukkan permasalahan ini dalam satu segi, dan dalam segi lain memang ada kebolehan membatalkan peminangan karena sebab-sebab yang rasional dan dibenarkan syara’. Akan tetapi jika timbul permasalahan maka lebih baik diadakanya musyawarah untuk mencapai perdamaian. Dengan demikian dapat diserasikan antara tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga dapat terbina kerukunan dan saling menghargai satu sama lain.
H.      Khitbah (Peminangan) dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Undang-undang Perkawinan sama sekali tidak membicarakan peminangan. Hal ini mungkin disebabkan peminangan itu tidak mempunyai hubungan yang mengikat dengan perkawinan. Peminangan di Indonesia, diatur dalam KHI bab 1 (ketentuan umum) pasal 1 huruf a, dan bab III tentang peminangan pasal 11-13.
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 Bab 1 huruf a bahwa pengertian peminangan adalah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita denagan cara-cara yang baik (ma’ruf). Peminangan langsung dapat dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya (pasal 11 KHI).
Pasal 12 ayat (1) KHI menjelaskan bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya. Ini dapat dipahami sebagai syarat peminangan. Selain itu wanita yang dipinang haruslah tidak terdapat halangan sebagai berikut, KHI pasal 12 ayat (2), (3), dan (4).
·           Ayat (2): wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah, haram dan dilarang untuk dipinang.
·           Ayat (3): dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dan pihak wanita.
·           Ayat (4): putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.
Pada prinsipnya apabila peminangan telah dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang wanita, belumlah berakibat hukum. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam KHI pasal 13 ayat:
1.      Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.
2.      Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.

I.         Peminangan dalam Masyarakat Indonesia
1.         Bentuk Peminangan
Berkaita denga peminangan   ini dala masyaraka terdapat kebiasaan  pada waktu upacara peminangan, yaitu calon laki-laki memberikan sesuatu pemberian, seperti perhiasan atau cindera mata lainnya sebagai tanda bahwa seseorang tersebut sungguh-sungguh berniat untuk melanjutkan kepada jenjang pernikahan.
Peminangan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia sangat bervariasi sesuai dengan adat istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat. Sebagaimana diketahui bahwa dalam masyarakat Indonesia berlaku bermacam-macam sistem kekerabatan parental, patrilineal dan matrilineal. Pada sistem kekerabatan parental, kedudukan pria dan wanita sama, namun dalam masalah peminangan pihak pria lebih berperan aktif untuk meminang meskipun ada beberapa juga pihak wanita yang lebih aktif dalam peminangan.
Dalam praktek adat istiadat di Indonesia tidak sedikit pula peminangan dilakukan oleh pihak wanita kepada pria, sebagaimana yang terjadi di Minangkabau, Paciran (Lamongan) dan lain sebagainya. Peminangan semacam ini lebih banyak terjadi di daerah yang menganut sistem kekerabatan matrilineal.
Bentuk peminangan sebagaimana disebutkan terakhir berlaku jika kedua calon mempelai berasal dari daerah yang sama atau daerah lain tetapi mempunyai adat istiadat yang sama. Jika kedua calon mempelai berasal dari daerah yang berbeda dan mempunyai adat istiadat yang berbeda pula, maka hal ini tergantung kesepakatan kedua belah pihak mengenai siapa yang melakukan peminangan.
2.         Tata cara meminang
Dalam hukum Islam, dijelaskan langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan oleh seorang yang hendak meminang yakni dengan menyelidiki keadaan dan perilaku wanita yang hendak dipinangnya dengan melihat wanita tersebut. Namun dalam masalah tatacara peminangannya sendiri, Islam memberikan peluang untuk melakukan peminangan sesuai dengan adat istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat. Di Indonesia, terdapat bermacam-macam cara peminangan dari yang sederhana seperti di daerah Pasundan sampai yang paling rumit seperti adat istiadat Palembang.
Sudah menjadi tradisi di Indonesia bahwa peminangan dilakukan dengan cara yang jelas, yakni kedua belah pihak keluarga secara langsung maupun melalui wakilnya berkumpul dan mengadakan kesepakatan untuk melaksanakan perkawinan pada masa yang akan datang. Permintaan untuk menikah yang dilakukan oleh seorang pria kepada wanita secara langsung belum bisa dianggap sebagai suatu peminangan, apalagi dilakukan dengan sindiran. Hal itu karena masyarakat menganggap peminangan sebagai sesuatu yang penting dan peminangan tersebut bukan hanya urusan dua orang mempelai saja, tetapi merupakan urusan keluarga/kerabat. Kehendak kedua belah pihak dalam peminangan inilah yang pada hakekatnya dianggap sebagai manifestasi adanya sebuah perjanjian kesepakatan kedua belah pihak untuk mengadakan ikatan perkawinan.
Salah satu contoh misalnya tradisi peminangan di Paciran Kabupaten Lamongan. Di daerah ini yang dominan dalam masalah peminangan adalah pihak wanita, pria hanya menunggu datangnya pinangan. Peminangan dilakukan oleh pihak wanita kepada pihak pria dengan didampingi oleh beberapa orang dari keluarga atau dapat pula dilakukan oleh perantaranya. Lain halnya dengan adat yang berlaku di Banjar, di daerah ini pihak pria lebih aktif dalam proses peminangan.
3.         Pemberian hadiah
Menurut teori hukum adat yang berlaku di masyarakat Indonesia, sebuah perjanjian belum tentu akan mengikat pihak yang bersangkutan untuk melaksanakan isi perjanjian walaupun kedua belah pihak telah sepakat, selama belum terjadi penyerahan suatu tanda ikatan.
Dalam masyarakat Indonesia, secara umum orang yang telah terikat dalam suatu peminangan, sebagai tanda ikatan tersebut memberikan sesuatu terhadap orang yang telah dipinangnya. Dengan diterimanya tanda ikatan tersebut dapat dijadikan sebagai bukti yang mengikat, jika kemudian hari salah satu pihak telah berbuat ingkar janji, maka pihak lain dapat menuntut ganti rugi.
Tanda pengikat yang berlaku dalam masyarakat Indonesia bermacam-macam, biasa berupa uang, barang, perhiasan atau senjata. Di setiap daerah, tanda pengikat ini mempunyai nama yang berbeda-beda, antara lain:
a.    Di Aceh disebut tanda kong norit: tanda bahwa janji sudah mengikat.
b.    Di Nias disebut Bobo Mibu: pengikat rambut.
c.    Di kepulauan Mentawai disebut sesere (sere: pengikat).
d.   Di Sulawesi Selatan disebut passikok. (sikok: mengikat)
e.    Di kepulauan Kei disebut Mas Aye: emas pengikat.
f.     Di Jawa dikenal dengan istilah panjer atau peningset: alat untuk mengikat.
g.    Di Sunda dikenal dengan istilah penyangcang: alat pengikat, tanda cengkeram.
h.    Di Bali dikenal dengan istilah paweweh: hadiah.[8]
Dalam masyarakat seperti sekarang ini, peminangan ditandai dengan adanya acara tukar menukar cincin, yaitu kedua belah pihak saling memberikan cincin, sehingga cincin disini berfungsi sebagai alat pengikat.[9]
Setelah ikatan peminangan tersebut sempurna dan antara keduanya memasuki masa pertunangan maka antara keduanya pun tidak jarang saling memberikan sesuatu sebagai ungkapan kebahagiaan atas hubungan tersebut dan juga kasih saying antara keduanya. Hal ini didasarkan atas anggapan bahwa antara kedua belah pihak sudah terikat janji untuk melangsungkan perkawinan.
Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa akibat peminangan itu adalah: pertama, bahwa satu pihak terikat perjanjian untuk kawin dengan pihak lain tertentu. Kedua, timbul keharusan member hadiah-hadiah, jadi bilamana tidak ada hadiah, maka pertunangan dibatalkan. Ketiga, perlindungan terhadap si wanita supaya terhindar dari pergaulan bebas. Keempat, mulai timbulnya pada pergaulan tertentu antara calon menantu pria dengan keluarga pihak wanita juga sebaliknya.[10]
4.      Pergaulan pada masa peminangan
Pada dasarnya, peminangan merupakan janji untuk melaksanakan akad nikah pada waktu yang akan datang, belum merupakan akad nikah yang sah yang menyebabkan kehalalan hubungan suami isteri, tetapi kenyataan yang terjadi di masyarakat, tidak jarang antara pria dan wanita yang sedang dalam masa pertunangan melakukan hubungan intim selayaknya suami isteri. Padahal tujuan dari peminangan itu sendiri hanyalah agar antara kedua belah pihak saling mengenal dan lebih memantapkan hatinya untuk melangsungkan perkawinan.
Kenyataan semacam ini banyak terjadi di masyarakat dengan anggapan bahwa wanita yang sudah dipinang adalah milik si peminang dan akan menjadi istrinya karena sudah adanya janji untuk menikah, sehingga antara keduanya sudah seperti sepasang suami isteri. Misalnya adat yang berlaku di daerah Minangkabau, seorang wanita yang sudah dipinang agar tinggal beberapa hari di rumah tunangannya agar dia bisa menyesuaikan diri dengan keluarga pria.
5.         Pembatalan peminangan
Jika kehendak pembatalan peminangan muncul dari pihak peminang maka dia kehilangan haknya untuk menarik kembali hadiah kerena dia merupakan penyebab tidak terealisasinya tujuan peminangan. Demikian pula sebaliknya, jika yang memutuskan peminangan adalah pihak yang dipinang, maka ia harus mengembalikan hadiah tersebut kepada peminang.
Menurut hukum Islam, bagi pihak yang menerima pembatalan tidak dapat menuntut apapun dari pihak yang membatalkan. Segala pemberian kepada yang dipinang tidak boleh diminta secara paksa, kecuali maskawin. Selama tidak ada perjanjian untuk mengembalikan, segala macam pemberian menjadi hak penerima.
Menurut hukum adat yang berlaku di Indonesia, sebagaimana yang dijelaskan oleh Soerjono Soekanto, apabila ikatan peminangan diputuskan oleh pihak pria, maka pihak pria (orang tua pihak pria) tidak berhak menuntut kembali uang tunangan (Keputusan Mahakamah Agung tanggal 7 Februari 1959 No. 396/K/Sip/1958). Sedangkan apabila ikatan peminangan tersebut diputuskan oleh pihak wanita (orang tua pihak wanita), maka pihak wanita itu harus memberikan kepada pihak pria ulos-ulos yang hanya dapat berupa sehelai kain batak dan bukan uang tunai selaku gantinya (Keputusan Mahkamah Agung tanggal 6 Juli 1959, No. 64K//Sip/1952). Namun apabila pihak wanita dalam memutuskan pinangan tersebut tanpa ada cukup alasan, maka pihak wanita harus membayar jujur dua kali lipat, demikian diputuskan oleh Pengadilan Negeri Medan dengan keputusannya untuk perkara No. 240/1956 tanggal 17 Juli 1956.[11]
J.        Beberapa Kasus Dalam Khitbah
Peminangan bukanlah hal yang wajib dilakukan, namun peminangan memiliki nilai yang baik sebagai pendahulu sebelum melangsungkan perkawinan. Peminangan mampu menguatkan jalinan perkawinan yang akan dilangsungkan sesudahnya dikarenakan telah ada hubungan baik dan saling mengenal antara kedua belah pihak laki-laki dan perempuan.
Realita di lapangan, banyak terjadi kasus pembatalan peminangan, bisa jadi pihak laki-laki yang membatalkan lamarannya atau sebaliknya, pihak perempuan mencabut kembali keputusannya untuk menerima lamaran pihak laki-laki.
Dalam hal pembatalan peminangan ini, walaupun secara yuridis belum memiliki kekuatan hukum karena belum terikat dalam sebuah perkawinan, namun secara sosiologis, hal ini merupakan aib yang memalukan dalam keluarga. Hal ini dapat menjadi beban psikologis yang berat bagi kedua belah pihak keluarga.
Pembatalan peminangan dapat terjadi karena beberapa faktor seperti masa tunangan yang terlalu lama, merasa tidak cocok setelah terjadi khitbah, terjadi selingkuh dalam pertunangan, melanggar norma susila dan norma agama karena pemahaman yang salah bahwa dalam masa pertunangan salah satu pihak menganggap berhak melakukan apa saja layaknya suami istri sedangkan pihak yang lain tidak bersedia, salah satu pihak berubah sikap (tidak konsisten), dan juga belum siap membina rumah tangga karena dijodohkan oleh orang tua.
Ada beberapa penelitian yang mengungkapkan mengenai beberapa kasus pembatalan khitbah, di antaranya:
Kasus 1
Kasus ini terjadi di Desa Penggalang Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap. Seorang laki-laki bernama A melamar seorang perempuan bernama B dengan membawa barang-barang bawaan (seserahan peningset) berupa cincin, sejumlah uang, pakaian atasan (berupa kain) dan sejumlah makanan. A ketika melamar B datang langsung bersama orang tuanya, dengan membawa saksi (penyeksi) sebanyak 2 orang, dan pihak B juga menyediakan saksi sebanyak 2 orang dan dihadiri oleh Bapak Kadus (Kepala Dusun). Ketika lamaran dibahas bahwa untuk menuju ke jenjang perkawinan A diberi waktu untuk menunggu B selama kurang lebih 2 tahun dengan alasan bahwa B akan merantau ke luar negeri (menjadi TKW). Pada saat masa khitbah (tunangan) itu antara A dan B tidak pernah ketemu mengingat jarak yang jauh dan belum ada alat komunikasi, hingga kemudian sepulang dari perantauan itu B berubah sikap menjadi tidak cinta dengan A dengan alasan belum siap membina rumah tangga. Permasalahan tersebut kemudian dimusyawarahkan dengan keluarga kedua belah pihak yang kemudian memutuskan untuk membatalkan pertunangan. Pihak B sebagai pihak yang membatalkan pertunangan mengembalikan semua barang seserahan kepada pihak A.
Kasus 2
Kasus ini juga terjadi di Desa Penggalah. Seorang laki-laki bernama C melamar seorang perempuan bernama D dengan perantara seorang wakil. Barang-barang yang dibawa pada saat lamaran yaitu bahan pakaian, sejumlah uang dan makanan. Dalam lamaran ini tidak ada saksi, hanya keluarga kedua belah pihak saja yang menghadiri. Pasca lamaran kedua belah pihak jarang bertemu dan berkomunikasi. Di samping itu, orang tua D merasa putus asa dan berubah sikap dengan tidak membolehkan D menemui C. Masa tunangan hanya bertahan selama kurang lebih 6 bulan, yang kemudian pertunangan itupun dibatalkan. Pihak C yang mempunyai inisiatif untuk membatalkan. Barang-barang seserahan yang dulu diberikan kepada pihak D pada saat lamaran tidak ada satupun yang dikembalikan kepada pihak C.
Kasus seorang perempuan bernama E dilamar oleh seorang laki-laki bernama F. Pihak E menerima barang seserahanberupa cincin, bahan pakaian, sejumlah uang, makanan dan buah-buahan. Prosesi khitbah disaksikan atau sengaja mengundang ketua RT untuk menjadi saksi dan beberapa sanak saudara dan tetangga. Selama masa khitbah, awalnya tidak ada permasalahan di antara keduanya, akan tetapi kemudian mulai timbul saling curiga di antara keduanya hingga akhirnya sering terjadi percekcokan. F mempunyai pemahaman jika sudah terjadi pertunangan maka seorang perempuan berhak untuk dibawa kemana saja sekehendak hati seperti layaknya seorang yang telah menikah. E berkali-kali diminta tidur di rumah F tapi E selalu menolak dengan alasan bahwa belum menikah. Di samping itu F menuduh E mempunyai pacar lagi. Dengan melihat tingkah laku dan perangai F, maka pihak E memutuskan untuk membatalkan pertunangan. Barang seserahan yang dulu diberikan kepada E, dikembalikan semuanya kepada pihak F.
Ada pula beberapa daerah yang mengenakan sanksi terhadap pihak yang membatalkan nikah, disamping mengembalikan hadiah yang diberikan sebelumnya, seperti yang berlaku di Desa Ngreco, Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo. Di daerah ini, pihak yang meminang mendapatkan sanksi apabila membatalkan peminangan sesuai dengan kesepakatan yang dilaksanakan pada saat peminangan. Apabila yang membatalkan dari pihak yang meminang, maka cukup membayar sanksi, namun apabila yang membatalkan dari pihak yang dipinang maka selain membayar sanksi, juga harus mengembalikan pemberian yang diberikan oleh pihak peminang. Sanksi yang diberikan bervariasi, biasanya berupa uang senilai minimal 2 juta rupiah ke atas atau bahan bangunan.



Daftar Pustaka

Al-Hamdani, Risalah Nikah (alih bahasa Agus Salim), Pekalongan: Raja Murah, 1980.
Sudiyat, Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, cet. II, Yogyakarta: Liberty, 1981.
Ghozali, Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003.
Hadi, Abdul, Fiqh Munakahat, Semarang: Duta Grafika, 1989.
Hamid, Zahri, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, cet. I, Jakarta: Bina Cipta, 1978.
Mukhtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Soekanto, Soerjono dan Soeleman Toneko, Hukum Adat Indonesia, cet. III, Jakarta, Rajawali Press, 1986.
Ulwan, Abdullah Nashih, Tata Cara Meminang dalam Islam. Cet. I, Jakarta: Qisthi Press, 2006.




[1] Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 28.
[2] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), hlm. 84.
[3] Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, cet. I (Jakarta: Bina Cipta, 1978), hlm. 17-18.
[4] Abdullah Nashih Ulwan, Tata Cara Meminang dalam Islam. Cet. I (Jakarta: Qisthi Press, 2006), hlm. 39-40.
[5] Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam…, hlm. 28-32.
[6] Abdul Hadi, Fiqh Munakahat, (Semarang: Duta Grafika, 1989), hlm. 126.

[7] Al-Hamdani, Risalah Nikah (alih bahasa Agus Salim), (Pekalongan: Raja Murah, 1980), hlm. 21.
[8] Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, cet. II (Yogayakarta: Liberty, 1981), hlm. 109-110.
[9] Soerjono Soekanto dan Soeleman Toneko, Hukum Adat Indonesia, cet. III (Jakarta, Rajawali Press, 1986), hlm. 247.
[10] Ibid., hlm. 247.
[11] Soerjono Soekanto dan Soeleman Toneko, Hukum Adat…, hlm. 249.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENYERTAAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

Perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dalam hukum pidana Islam dapat dijelaskan menggunakan teori penyertaan yang sama halnya de...