BAB I
PENDAHULUAN
Dalam sebuah tatanan negara, sudah menjadi keharusan adanya seorang
pemimpin. Untuk menjadi seorang pemimpin negara, Islam khususnya telah memberi
syarat-syarat tertentu. Di antara syarat-syarat tersebut adalah bahwa seorang
pemimpin haruslah seorang laki-laki. Namun pada kenyataannya, saat ini banyak
sekali pemimpin-pemimpin wanita. Lalu bagaimana kita menyikapi hal ini. Untuk
menjawab hal tersebut, kita perlu merujuk kepada hadits-hadits Nabi dan
pendapat-pendapat para ulama.
Berbicara masalah risywah, sudah tidak asing lagi di telinga kita.
Yang sering kita tahu dengan istilah suap menyuap. Hal ini sering dilakukan
antara pihak yang berurusan dengan pejabat yang berwenang. Maraknya suap
menyuap ini telah melupakan hukumnya yang telah jelas dalam sabda Rasul, dimana
Rasul benar-benar melaknat para pelaku risywah ini.
Ada permasalahan yang lebih rumit lagi, yakni mengenai terorisme.
Terorisme saat ini merajalela dimana-mana sejak teror yang melanda gedung WTC
di Amerika yang kemudian teror ini menjamur di berbagai negara termasuk
Indonesia. Seringkali terorisme ini diatasnamakan jihad di jalan Allah, bahkan
pelakunya mengaku sebagai mujahid fi sabilillah. Lalu bagaimana sebenarnya
terorisme di pandang dari sebuah hadits Nabi dan bagaimana hukumnya.
Maka melalui makalah ini, berbagai pembahasan di atas akan diulas
oleh penyusun. Semoga bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemimpin Wanita
1.
Hadits
عَنْ
أَبِي بَكْرَةَ قَالَ:قَالَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ فَارِسًا مَلَّكُوا ابْنَةَ
كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً (رواه البخارى)[1]
“Dari Abi
Bakrah berkata bahwa Nabi SAW: bersabda tentang negeri Persia yang dipimpin
oleh putri Kisra, beliau bersabda: “Tidak beruntung suatu kaum yang urusannya
diserahkan kepada wanita”(HR. Bukhari)
2. Istinbath hukum
Hadits ini khusus menerangkan
tentang pemimpin tertinggi dalam negara, karena Rasulullah SAW mengucapkan
hadits ini pada waktu beliau menerima berita bahwa bangsa Persia menobatkan
kepala negaranya salah seorang dari puteri-puteri Kisra Abarwiz, setelah Kisra
meninggal. Sedang kepemimpinan secara umum itu tidak dilarang untuk dipegang
oleh wanita, dan ulama-ulama sepakat menetapkan hal itu. Mereka sepakat
menetapkan bahwa wanita boleh diserahi wasiat untuk memelihara anak-anak kecil
dan orang-orang yang kurang akalnya, boleh juga wanita itu menjadi wakil dari
suatu perkumpulan yang terdiri dari beberapa orang, untuk mengadakan transaksi
terhadap harta kekayaan perkumpulan itu atau untuk mengurus sawah ladang mereka
misalnya. Boleh juga wanita menjadi saksi, sedang kesaksian itu termasuk kepemimpinan
juga. Hal ini merupakan pendapat sebagian ahli hukum.[2]
Jadi bunyi hadits itu sama
dengan pengertiannya yang jelas yaitu melarang wanita untuk menjadi pemimpin
yang tertinggi dalam suatu negara. Dan dapat disamakan dengan itu, segala
jabatan yang begitu penting pertanggungjawabannya.
Tidak bolehnya wanita itu
menjadi pemimpinn yang tertinggi dalam suatu negara itu tidak ada hubungannya
dengan nilai kemanusiaan, kemuliaan dan kecakapan wanita itu. Tetapi hal itu
adalah berhubungan dengan kesejahteraan bangsa secara keseluruhan dan erat
hubungannya dengan suasana kejiwaan dari kaum wanitanya dan tugasnya di
kalangan masyarakat nantinya jika ia menjadi kepala negara.[3]
3.
Pendapat Ulama
Berdasarkan
syarah Turatsi, hadits ini merupakan dalil tentang tidak bolehnya kepemimpinan
diserahkan kepada perempuan. Sedangkan para pemikir kontemporer, memperbolehkan
perempuan menjadi pemimpin. Hadits di atas secara konteks hanya diperuntukkan
pada pada saat dimana putrinya raja Kisra diangkat menjadi pemimpin di
Persia. Dan hadits tersebut dengan konteks zaman sekarang sudah berbeda. Kaum
perempuan pada zaman sekarang dapat disejajarkan dengan kaum laki-laki yang
telah mendapatkan kesamaan hak dalam mendapatkan pendidikan. Sehingga hal ini
membuka peluang secara terbuka bagi kaum perempuan untuk menentukan pandangan,
bekerja, dan menduduki jabatan.
Untuk
kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin daerah, keabsahan
kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan ini,
dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai kepemimpinan
semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.
Imam
Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak
menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun
juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada
hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal,
Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin.
Sedangkan
Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam urusan harta.
Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam
urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah
semestinya diperbolehkan. Beliau memperbolehkan wanita
menjadi pemimpin di dalam penentuan hukum (qadli), selain ketetapan hukuman
(semisal qisas).
Dalam
kitab Subul al-Salam karangan As-Syeikh Muhammad bin Ismail Al-Kahlani As-Shan`ani:
dari Abu Bakrah RA, dari Nabi SAW bersabda: Selamanya pasti tidak akan
beruntung / berhasil / bahagia kaum yang menyerahkan pemerintahannya kepada
wanita. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Ini sebagai dalil ketidakbolehan
kepemimpinan wanita dalam segala hal, yang berkaitan dengan urusan atau perkara
kaum muslimin. Sekalipun oleh as-Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) bahwa wanita itu
juga diperintahkan menjadi penanggungjawab kemaslahatan rumah tangga suaminya.
Pernyataan
pengarang kitab Subul al-Salam ini, sebagai sanggahan terhadap Ibnu Jarir
At-Thabari yang memperbolehkan kepemimpinan wanita secara mutlak. Menurut Ibnu
Jarir, mereka (umat Islam) dilarang memilih ketidakberuntungan, tetapi
diperintahkan untuk memilih pemerintahan yang menyebabkan terwujudnya suatu
kebahagiaan. Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang
memiliki kredibilitas untuk menengahi-nengahi pertikaian atau persengketaan di
antara manusia, (tanpa memandang jenis kelamin, entah laki-laki ataukah
perempuan) maka keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja, kecuali hal-hal yang
memang telah diputuskan oleh ijma’, yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah
al-kubra). Itupun Ibnu Jarir At-thabari masih mensyaratkan
haruslah wanita yang persaksiannya dianggap sah oleh hukum Islam, sebagaimana
diterangkan dalam kitab Fathul Bari diantaranya: Islam, baligh, berakal, merdeka,
adil.
Al-Qurthuby
tidak memperbolehkan kepemimpinan publik, seperti: presiden, gubernur, bupati
atau sejenisnya dipegang oleh kaum wanita berdasarkan berbagai dalil yang
disebutkan didalam al Qur’an dan sunnah diantaranya :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء
Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita.” (QS. An Nisaa : 34)
Al
Qurthubi mengatakan tentang ayat tersebut bahwa maknanya adalah kaum pria lah
yang berkewajiban memberikan nafkah kepada kaum wanita. Bermakna juga, ”termasuk
didalamnya adalah para hakim, amir (pemimpin) dan orang yang berperang dan di dalam
perkara itu semua tidak diperbolehkan wanita.”[4]
Ibnu
Katsir mengatakan bahwa laki-laki pemimpin bagi wanita bermakna laki-laki yang
memimpin wanita, hakim terhadapnya dan yang meluruskannya ketika dia (wanita)
melakukan penyimpangan. Seperti dalam firman Allah SWT:
بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
“Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian
mereka (laki-laki).” (QS. An Nisaa : 34) Karena kaum laki-laki memiliki
kelebihan dari kaum wanita, laki-laki lebih mampu daripada wanita. Karena
itulah kenabian dikhususkan untuk kaum laki-laki demikian pula dengan kekuasaan
tertinggi, berdasarkan sabdanya, ”Kaum laki-laki lebih memiliki kemampuan
daripada wanita di dalam bidang ini.” (HR. Bukhori), demikian pula di dalam
jabatan peradilan.[5]
Asy
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, pernah ditanya tentang bagaimana
menurut syariat islam yang lurus tentang pemilihan wanita sebagai presiden,
kepala pemerintahan atau kepala departemen. Asy Syeikh menjawab,”Kepemimpinan
wanita dan pemilihannya sebagai pemimpin publik bagi kaum muslimin tidaklah
diperbolehkan, sebagaimana ditunjukkan oleh al Qur’an, Sunnah dan ijma’.
Diantara dalil al Qur’an adalah :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء
Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita.” (QS. An Nisaa : 34)
Hukum di
dalam ayat tersebut berlaku umum mencakup kepemimpinan laki-laki di dalam
keluarganya, dan terlebih lagi di dalam kepemimpinan publik. Hukum ini
dipertegas oleh alasan yang juga terdapat di dalam ayat itu, yaitu kelebihan
akal, pemikiran dan lainnya dari sisi kapabilitas untuk mengemban peradilan dan
kepemimpinan.
Al-Khattabi
berkata: Hadits Abi Bakrah ini menerangkan bahwa wanita tidak boleh menjadi
pemimpin negara (presiden), maupun menjadi qadli dan juga tidak boleh
mengakadkan dirinya sendiri, dan tidak boleh jadi wali akad (bagi putrinya),
demikian juga pendapat jumhur ulama.
Bagaimanapun
terjadinya khilafiyah bolehnya wanita menjadi qadli, kita sebagai umat Nabi
Muhammad SAW, wajib mempertimbangkan dzahirnya lafadz hadits Abi Bakrah: Tidak
akan beruntung/ berhasil/ bahagia kaum yang menyerahkan pemerintahannya kepada
wanita, tanpa harus ditakwili sesuai dengan keinginan hawa nafsu semata,
khususnya yang berkaitan dengan politik sesaat.
4.
Takhrijul
Hadits
Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya, maka kadar ketinggian
derajat keshahihannya tidak perlu diragukan. Dan para ulama ahlu sunnah wal
jama’ah bersepakat, bahwa seluruh hadits yang termaktub dalam kitab shahih
Bukhari adalah mutlak diterima dan dijadikan dalil dalam penentuan hukum
syariat, tanpa harus ditinjau ulang keadaan sanadnya, mutawatir atau ahad, sebagaimana
yang dikatakan para ulama ahli hadits dan ushul fiqih, orang yang
mempermasalahkannya, sama halnya membuka aib tentang ketidaktahuan pelakunya
terhadap kaedah ushul hadits maupun ushul fiqih.
Hadits
ini juga membatalkan tuduhan orang yang mengatakan Hadits Abi Bakrah tersebut
lemah derajatnya. Karena hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan juga
dikuatkan oleh Imam Ahmad, Annasai, Tirmidzi, Alhakim, dan Ibnu Hibban.
Berdasarkan
penelitan terhadap hadits tentang kepemimpinan perempuan, baik ditinjau dari
analisis sanad dan rawinya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
- Dilihat dari segi sanad : para perowi hadits pada
sanad yang diambil oleh para penyusun kitab hadits (mudawin) yaitu Bukhari,
Tirmidzi, Nasai dan Ahmad dalam hadits tentang kepemimpinan di atas dapat
dikatakan bahwa antara rowi yang satu dengan rowi yang sebelum atau
sesudahnya dimungkinkan sejaman (Mu’asharah) dan saling bertemu (Liqa’).
Sehingga terdapat keterikatan guru dan murid, maka semua sanad hadits
tersebut dapat dikatakan bersambung (Muttashil). Kecuali satu
hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, terdapat satu rawi hadits yaitu
Mubarok bin Fadhlah bin Abi Umayah yang diketahui tidak pernah bertemu
dengan sahabat.
- Dilihat dari segi Jarrah dan Ta’dil rowi :
berdasarkan penilaian dan komentar para ulama Jarrah wa Ta’dil, para
perowi hadits yang terdapat pada sanad yang digunakan oleh penyusun kitab
hadits (Mudawin), yaitu Bukhari, Tirmidzi, Nasai dan Ahmad. Dapat
dikatakan bahwa mereka termasuk rawi-rawi yang yang memiliki sifat adil
dan dhabit (tsiqah), atau pada sebagian rawi
sekurang-kurangnya dinilai shaduq (benar) dan terpercaya. Walaupun
ada seorang rowi yaitu Mubarok bin Fadhlah pada hadits riwayat Ahmad pada
hadits ketiga dinilai dhoif.
- Dilihat dari redaksi ketujuh matan hadits yang
telah ditakhrij di atas (yaitu riwayat Bukhari, Tirmidzi, Nasai dan
Ahmad), dapat dikatakan bahwa redaksi matan yang terdapat pada hadits
tersebut meskipun terdapat perbedaan pada sebagian teks hadits, namun
perbedaannya hanya sedikit dan tidak signifikan.
B. Risywah (Suap Menyuap)
1.
Hadits
عن عبد الله ابن عمر ابن العاص قال: لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي
والمرتشي (رواه ابو داود و الترميذى و صححه)
“Dari Abdullah bin Umar
ia berkata: Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap.”
(HR. Abu Daud dan Tirmidzy)[6]
Juga hadits:
وعن ثوبان رضي الله عنه قال لعن رسول الله الراشي والمرتشي والرائش: يعني الذي
يمشي بينهما (رواه احمد)
Dari Tsauban RA, ia
berkata, “Rasulullah SAW melaknat/mengutuk orang yang menyuap, yang menerima
suap dan orang yang menghubungkan keduanya.” (HR. Ahmad)
Sementara dalam Sunan at-Tirmidzi disebutkan:
عن ابى هريرة رضي الله عنه قال: لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي
والمرتشي في الحكم (رواه الترميذى)
“Dari Abu Hurairah, ia
berkata, Rasulullah SAW telah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima
suap dalam masalah hukum”. (HR. At-Tirmidzi)[7]
2. Istinbath Hukum
Dalam hadits tersebut
terkandung kebolehan mengutuk orang-orang yang maksiat dari kalangan orang
muslim. Mengenai hadits bahwa orang-orang yang mu’min bukanlah orang yang suka
mengutuk, maka maksudnya adalah orang yang tidak pantas dikutuk di antara
orang-orang yang tidak dikutuk oleh Allah dan RasulNya. Atau maksudnya, bahwa
orang yang beriman itu bukanlah orang yang mengutuk sebagaimana menurut
pengertian bentuk kata fa’al (bentuk mubalaghah-sangat).[8]
Islam
sebagai agama yang sempurna (syamil) sangat mengharamkan praktik
suap-menyuap bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutuk (melaknat)
para pelaku hingga penghubung suap-menyuap sebagaimana hadits tersebut.
Suap-menyuap
dalam Islam disebut juga ar-Risywah (الرِّشْوة), Ibnu al-Atsir dalam an-Nihayah
fi Gharibil Hadits wal Atsar mendefiniskan; ar-Risywah
adalah usaha memenuhi hajat (kepentingannya) dengan membujuk. Kata ar-Risywah
sendiri berasal dari الرِشاء yang
berarti tali yang menyampaikan timba ke air. Ada pula yang mengatakan, risywah
(رشوةِ) berasal dari kata rasya
(رشا) yang berarti al-ja’lu (menyuap). Ibnu al-Atsir mengatakan risywah
adalah sesuatu yang menyampaikan pada keperluan dengan jalan menyogok (الوُصْلَةُ إِلـى الـحاجة بالـمُصانعة).
Ar-rasyi
artinya orang yang mengorbankan hartanya agar dengan pengorbanan itu dia bisa
sampai kepada kebatilan. Kata ar-rasyi itu diambil dari rasya yang berarti tali
yang dipergunakan agar sampai kepada air dalam sumur. Al-murtasyi ialah orang
yang mengambil/menerima suapan dan dia itu adalah hakim/penguasa. Mereka pantas
mendapat kutukan semuanya karena menyebabkan penyuap dengan hartanya bisa
sampai kepada yang batil dan mengakibatkan pihak penerima suap sampai kepada
keputusan dengan cara yang tidak benar/tidak adil. Di dalam hadits dari
Tsauban, ada tambahan “dan ar-ra’sy” yaitu orang yang menjadi penghubung antara
pemberi dan penerima suap.[9]
Dalam
Hasyiyah Ibnu Abidin yang dikutip dari kitab al-Misbah risywah didefinisikan
sebagai berikut:
ما يعطيه الشخص الحاكم وغيره ليحكم له أو يحمله على ما يريد
“Sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau kepada
yang lainnya agar orang tersebut memutuskan perkara berpihak kepadanya atau
membawa kepada yang diinginkannya.”
Dapat diambil kesimpulan ar-Risywah adalah pemberian apa
saja (berupa uang atau yang lain) kepada penguasa, hakim atau pengurus suatu
urusan agar memutuskan perkara atau menangguhkannya dengan cara yang bathil. Dengan
cara bathil inilah sebuah ketentuan berubah, sehingga menyakiti banyak orang
dan wajarlah jika Rasulullah mengutuk/melaknat para pelaku suap-menyuap.
Setelah mengetahui dalil-dalil yang menegaskan tentang keharaman praktik
suap-menyuap (ar-Risywah) maka sudah dapat dipastikan bahwa pelaku,
penerima dan orang-orang yang terlibat dalam praktik suap tersebut tidak akan
mendapatkan keuntungan melainkan kecelakaan yang akan Allah berikan kepadanya,
jika tidak di dunia tapi pasti di akhirat.
Akan tetapi, setelah jelasnya hukum akan perkara ini, masih saja ada
orang-orang yang coba memalingkan dan mengkaburkan hukum keharaman suap-menyuap
ini dengan berdalih bahwa yang diberikannya itu adalah hadiah atas bantuannya,
atau uang lelah, dan ungkapan lainnya. Dengan alasan-alasan seperti itu juga
telah terbantahkan oleh hadits yang banyak yang telah diriwayatkan dari Rasulullah
SAW, diantaranya:
عن أبي أمامة عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال من شفع لأخيه شفاعة فأهدى
له هدية عليها فقبلها فقد أتى بابا عظيما من أبواب الربا. (رواه
أبو داود)
“Dari Abi Umamah, dari Nabi SAW, beliau bersabda:
Siapa yang menolong saudaranya dengan suatu pertolongan lalu dia memberi suatu
hadiah dan hadiah itu diterimanya, maka berarti dia memasuki pintu besar dari
pintu-pintu riba” (HR Abu Daud).
Tidak cukup dengan
hadits tersebut, bahkan penyusun kitab Shahih Bukhari, Abu Ismail al-Bukhari
membuat bab khusus باب من لم يقبل الهدية
لعلة
(Bab Siapa saja yang tidak menerima hadiah karena pekerjaan). Dalam bab
tersebut, Imam Bukhari menukil perkataan Umar bin Abdul Aziz RA bahwa:
كانت الهدية في زمن رسول الله هدية، واليوم رشوة
“Pada zaman Rasulullah
pemberian itu dinamakan hadiah, maka zaman sekarang ini dinamakan risywah
(suap)”. (Shahih Bukhari)
3. Pendapat Ulama
Suap-menyuap bukanlah hal baru dalam Islam, karenanya banyak hadits dan
atsar para sahabat yang mencela bahkan mengutuk praktik suap-menyuap tersebut.
Bahkan para ulama juga memberikan perhatian yang besar terhadap permasalahan
ini, diantaranya adalah Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughny, ia berkata:
فأما الرشوة في الحكم ورشوة العامل فحرام بلا خلاف
“Adapun suap-menyuap
dalam masalah hukum dan pekerjaan (apa saja) maka hukumnya haram, tidak
diragukan lagi.
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa para ulama telah mengatakan,
”Sesungguhnya pemberian hadiah kepada wali amri, orang yang diberikan tanggung
jawab atas suatu urusan, untuk melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan, ini
adalah haram, baik bagi yang memberikan maupun menerima hadiah itu, dan ini
adalah suap yang dilarang Nabi saw.” [Majmu’ Fatawa juz 31 hal 161]
Asy-Syaukani dalam Nailul Authar berkata,
قال الشوكاني في نيل الأوطار: قال ابن رسلان في شرح السنن: ويدخل في إطلاق
الرشوة الرشوة للحاكم والعامل على أخذ الصدقات، وهي حرام بالإجماع
“Ibnu Ruslan berkata
dalam Syarhus Sunan, “Termasuk kemutlakan suap-menyuap bagi seorang hakim dan
para pekerja yang mengambil shadaqah itu menerangkan keharamannya sesuai ijma’.
Ash-Shan’aniy dalam Subulussalam:
والرشوة حرام بالإجماع سواء كانت للقاضي أو للعامل على الصدقة أو لغيرهما، وقد
قال الله تعالى: ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام لتأكلوا
فريقاً من أموال الناس بالإثم وأنتم تعلمون
“Dan suap-menyuap itu
haram sesuai Ijma’, baik bagi seorang qadhi/hakim, bagi para pekerja yang
menangani shadaqah atau selainnya. Sebagaimana firman Allah SWT:
ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل
“Dan janganlah kalian memakan harta-harta diantara kalian
dengan cara yang bathil” (QS. Al-Baqarah: 188)
Imam al-Qurthubi
mengatakan, ”Makna ayat ini adalah janganlah sebagian kalian memakan harta
sebagian yang lainnya dengan cara yang tidak benar.” Dia menambahkan bahwa
barangsiapa yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan
syariat maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang batil. Diantara
bentuk memakan dengan cara yang batil adalah putusan seorang hakim yang
memenangkan kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah. Sesuatu yang
haram tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan hakim.” (al Jami’ Li
Ahkamil Qur’an juz II hal 711) Diakui atau tidak, praktik suap-menyuap
merupakan cara-cara bathil memakan harta kaum muslimin.
Allah
SWT juga berfirman:
من قتل نفساً بغير نفسٍ أو فساد في الأرض فكأنما
قتل الناس جميعاً
“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena
orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka
bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya” [QS.
al-Maidah: 32]
Praktik
suap-menyuap jika kita pahami lebih mendalam akan dampak negatifnya, sebenarnya
merupakan pembunuhan terhadap kesempatan orang lain dan artinya ia telah
membunuh seluruh manusia. Karenanya pantas jika ayat tersebut diatas diarahkan
kepada para pelaku suap-menyuap yang telah curang dalam suatu urusan sehingga
menyebabkan orang lain kehilangan jiwanya dan kehilangan kesempatannya.
Dan
firman-Nya:
يا أيها الذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم
واشكروا الله إن كنتم إياه تعبدون
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang
baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika
benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (QS.
al-Baqarah: 172)
Ayat
tersebut merupakan dalil umum yang memerintahkan orang-orang yang mengaku
beriman untuk mencari rezki yang halal dengan cara-cara yang halal, bukan malah
sebaliknya mencari yang halal dengan cara yang haram atau mencari haram dengan
cara yang haram pula. Dan suap-menyuap tidak diragukan lagi adalah cara yang
bathil dalam mencari rezki sehingga praktik tersebut diharamkan oleh Allah
Ta’ala.
4.
Takhrijul
Hadits
Hadits-hadits tentang Haramnya
Riswah :
Adapun hadis yang termaktub dalam mashadir ashliyah
tersebut adalah sebagai berikut :
Sunan Abu Dawud Juz 9/472:
·
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
Sunan At-Tirmidzi Juz 5/174-176:
·
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ
·
حَدَّثَنَا
أَبُو مُوسَى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ خَالِهِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
Sunan Ibnu Majah 7/101:
·
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ
خَالِهِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
Musnad Ahmad 13/284:
·
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ خَالِهِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
·
حَدَّثَنَا
حَجَّاجٌ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ وَيَزِيدُ قَالَ أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي
ذِئْبٍ عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَمْرٍوعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ
وَالْمُرْتَشِيَ قَالَ يَزِيدُ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
·
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنِ الْحَارِثِ
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
·
حَدَّثَنَا
أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى
الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
·
حَدَّثَنَا
عَفَّانُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ قَالَ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ
·
حَدَّثَنَا
الْأَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ يَعْنِي ابْنَ عَيَّاشٍ عَنْ
لَيْثٍ عَنْ أَبِي الْخَطَّابِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ لَعَنَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا.
C. Terorisme
1.
Hadits
وَعَنْ عَرْفَجَةَ بْنِ شرَيْحٍ: سَمِعْت رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله
عليه وسلم يَقُولُ: ( مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمَرَكُمْ جَمِيعٌ, يُرِيدُ أَنْ
يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ, فَاقْتُلُوهُ )
أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ .
“Dari ‘Arfajah ibnu Syuraih: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
barangsiapa datang kepadamu dan memerintah kamu sekalian, dan dia ingin
memisahkan jama’ahmu, maka bunuhlah ia”.
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: وجدت امرأة مقتولة فى بعض مغازى رسول
الله صلى الله عليه وسلم فنهى رسول الله عن قتل النساء والصبيان. رواه البخارى و
الترميذى
“Dari Ibnu Umar R.A. berkata: aku mendapati perempuan terbunuh di
dalam sebagian perang Rasulullah SAW, maka beliau melarang membunuh wanita dan
anak-anak.” (HR. Al-Bukhori dan At-Tirmidzi).
2.
Istinbath Hukum.
Term-term terorisme dalam hukum Islam bervariasi antara lain: al-irhab
(irhabiyyah), al-hirabah (perampokan), al-baghyu (pemberontakan),
qathi’u al-thariq (pembegal), dan al-‘unf (lawan dari
kelemahlembutan).[10]
Namun perlu diketahui bahwa term-term tersebut dapat dikategorisasikan
terorisme jika memenuhi kriteria atau unsur terorisme misalnya dilakukan dengan
aksi kekerasan, menimbulkan kepanikan masyarakat, menimbulkan kerugian jiwa dan
materi lainnya dan memiliki tujuan politik. Adapun yang sering dibahas dalam
kitab-kitab fiqh baik yang klasik maupun kontemporer yakni al-baghyu, al-irhab
dan al-hirabah. Penjelasannya sebagai berikut:
·
Al-baghyu merupakan pemberontakan yang dilakukan oleh sekelompok
orang terhadap suatu pemerintahan yang sah, adil, jujur dan berwibawa.
Al-baghyu ini dapat dikategorikan sebagai terorisme apabila dilakukan dengan
kekerasan, menimbulkan kepanikan dan kerusakan kehidupan tatanan masyarakat.
Hal ini seperti tersebut dalam QS. An-Nahl ayat 90:
¨bÎ)
©!$#
ããBù't
ÉAôyèø9$$Î/
Ç`»|¡ômM}$#ur
Ç!$tGÎ)ur
Ï
4n1öà)ø9$#
4sS÷Ztur
Ç`tã
Ïä!$t±ósxÿø9$#
Ìx6YßJø9$#ur
ÄÓøöt7ø9$#ur
4
öNä3ÝàÏèt
öNà6¯=yès9
crã©.xs?
ÇÒÉÈ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.”
Larangan
dan ancaman bagi perbuatan ini disebutkan dalam QS. Al-Hujurat ayat 9-10:
bÎ)ur
Èb$tGxÿͬ!$sÛ z`ÏB
tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#qè=tGtGø%$# (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ( .bÎ*sù
ôMtót/
$yJßg1y÷nÎ)
n?tã 3t÷zW{$#
(#qè=ÏG»s)sù
ÓÉL©9$# ÓÈöö7s? 4Ó®Lym
uäþÅ"s?
#n<Î)
ÌøBr&
«!$#
4 bÎ*sù ôNuä!$sù
(#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ÉAôyèø9$$Î/
(#þqäÜÅ¡ø%r&ur
( ¨bÎ)
©!$#
=Ïtä
úüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÒÈ $yJ¯RÎ) tbqãZÏB÷sßJø9$# ×ouq÷zÎ)
(#qßsÎ=ô¹r'sù tû÷üt/
ö/ä3÷uqyzr&
4 (#qà)¨?$#ur ©!$#
÷/ä3ª=yès9
tbqçHxqöè? ÇÊÉÈ
“Dan
kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu
damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap
yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut
kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya
menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang Berlaku adil. Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara.
sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Dalam hadits juga
disebutkan:
وَعَنْ عَرْفَجَةَ بْنِ شرَيْحٍ: سَمِعْت رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله
عليه وسلم يَقُولُ: ( مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمَرَكُمْ جَمِيعٌ, يُرِيدُ أَنْ
يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ, فَاقْتُلُوهُ )
أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ .
“Dari
‘Arfajah ibnu Syuraih: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: barangsiapa
datang kepadamu dan memerintah kamu sekalian, dan dia ingin memisahkan
jama’ahmu, maka bunuhlah ia”.
Menurut ulama Hanafiyyah,
al-baghyu diartikan sebagai keluarnya seseorang dari ketaatan kepada imam yang
sah tanpa alasan. Sedangkan ulama Syafi’iyyah mengatakan, pemberontakan adalah
orang-orang Islam yang menyalahi imam dengan cara tidak menaatinya dan melepaskan
diri darinya atau menolak kewajiban dengan memiliki kekuatan, memiliki
argumentasi dan memiliki pemimpin. Sementara menurut madzhab Maliki diartikan
sebagai penolakan untuk menaati imam yang sah dengan jalan kekuatan. Penolakan
untuk taat ini mungkin didasarkan pada penafsiran tertentu. Mereka
mendefinisikan bughot sebagai satu kelompok orang-orang Islam yang menentang
imam atau wakil-wakilnya.[11]
·
Al-irhab merupakan aksi-aksi kekerasan yang menimbulkan rasa takut
misalnya pembunuhan, pengeboman dan perusakan. Sehingga hal ini masuk dalam
kategori terorisme.
·
Al-hirabah merupakan aksi penggunaan senjata yang bertujuan
menciptakan kekacauan, membunuh, merusak, merampas harta benda sehingga
mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban dalam suatu masyarakat. Biasanya
dikenal dengan istilah perampokan.
Sayyid
Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah mendefinisikannya dengan, "Aksi
kekerasan dan bersenjata yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam sebuah
negara dengan tujuan menciptakan kekacauan dan ketidakstabilan dalam negeri,
pertumpahan darah, perampasan harta, perenggutan harga diri dan pengrusakan
terhadap lingkungan dan kelangsungan hidup manusia.
Termasuk dalam kategori al-hirâbah, masih menurut Sayyid Sabiq, mafia
pembunuhan, penculikan anak, perampokan bank dan rumah, penculikan wanita untuk
prostitusi, pembunuhan tokoh politik dengan tujuan mengganggu stabilitas
keamanan, pembalakan hutan dan pengrusakan lingkungan yang mengganggu flora dan
satwa.
Al-Quran
mengecam keras aksi al-hirâbah, dan menganggapnya sebagai tindakan
memusuhi atau memerangi Allah dan Rasul-Nya. Atau dengan kata lain, terorisme
dengan pengertian negatif dan destruktif yang membawa kerusakan di muka bumi
dipersamakan dengan perlawanan terhadap Allah dan rasul-Nya. Karena itu sanksi
yang disediakannya pun sangat berat, sesuai dengan tingkat beratnya perbuatan.
Dalam QS. Al-Ma`idah : 33:
$yJ¯RÎ)
(#ätÂty_
tûïÏ%©!$#
tbqç/Í$ptä
©!$#
¼ã&s!qßuur
tböqyèó¡tur
Îû
ÇÚöF{$#
#·$|¡sù
br&
(#þqè=Gs)ã
÷rr&
(#þqç6¯=|Áã
÷rr&
yì©Üs)è?
óOÎgÏ÷r&
Nßgè=ã_ör&ur
ô`ÏiB
A#»n=Åz
÷rr&
(#öqxÿYã
ÆÏB
ÇÚöF{$#
4
Ï9ºs
óOßgs9
Ó÷Åz
Îû
$u÷R9$#
(
óOßgs9ur
Îû
ÍotÅzFy$#
ë>#xtã
íOÏàtã
ÇÌÌÈ
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang
yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah
mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian
itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka
beroleh siksaan yang besar.”
Adapun hukuman al-hirabah sebagai berikut:
a.
Hukuman mati
bagi yang membunuh tapi tidak mengambil harta, pendapat ini dikemukakan oleh
Imam Syafi’i, Hanafi dan Hanbali. Menurut Imam Malik, diserahkan kepada ulil
amri.
b.
Hukuman mati
dengan penyaliban bagi yang membunuh dan merampas harta. Pendapat ini
dikemukakan oleh Imam Syafi’i, Hanbali dan Zaidiyyah. Sedangkan menurut Hanafi,
Ulil Amri apakah dipotong tangan dan kakinya dulu baru dihukum mati dan disalib
atau dihukum mati saja tanpa dipotong tangan dan kakinya atau disalib saja.
Adapun menurut Imam Malik, ulil amri dapat memilih antara menghukum mati atau
menyalib sampai mati. Sedangkan menurut Imam Zahiri, sanksinya diserahkan
sepenuhnya kepada ulil amri, tetapi tidak boleh menggabungkan sanksi-sanksi
yang ada.
c.
Potong
tangan atau kaki bagi yang merampas harta tetapi tidak membunuh. Dikemukakan
oleh Imam Syafi’i, Hanafi dan Hanbali. Sedangkan Imam Malik menyerahkan
sepenuhnya kepada ulil amri.
d.
Pengasingan
(al-nafy) bagi pembegal yang menimbulkan kengerian dan kecemasan bagi
orang lain tetapi tidak merampok dan membunuh.
Islam melarang menimbulkan kengerian
(teror) pada orang lain dengan hanya sekadar mengangkat dan mengacungkan
senjata/ pedang. Rasulullah Saw. bersabda:
لَا يُشِيرُ أَحَدُكُمْ
عَلَى أَخِيهِ بِالسِّلَاحِ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي لَعَلَّ الشَّيْطَانَ يَنْزِعُ
فِي يَدِهِ فَيَقَعُ فِي حُفْرَةٍ مِنْ النَّارِ
“Seseorang tidak boleh mengacungkan/
mengangkat senjata ke hadapan orang lain. Karena boleh jadi dia tidak tahu
setan akan mengendalikan tangannya yang dengannya ia dapat membunuh sehingga
terjerumus ke neraka”.
Dan dalam hadits lain juga
disebutkan:
عَنْ اِبْنِ
عُمَرَ رِضَيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه
وسلم ( مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا اَلسِّلَاحَ, فَلَيْسَ مِنَّا ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .
“Dari Ibnu Umar RA berkata:
Rasulullah SAW bersabda: barangsiapa membawa senjata atas kita, maka bukan
termasuk umatku.” (muttafaq ‘alaih)
BAB III
KESIMPULAN
·
Hadits yang diriwayatkan Abi
Bakrah ini khusus menerangkan tentang pemimpin tertinggi dalam negara, karena
Rasulullah SAW mengucapkan hadits ini pada waktu beliau menerima berita bahwa
bangsa Persia menobatkan kepala negaranya salah seorang dari puteri-puteri
Kisra Abarwiz, setelah Kisra meninggal. Hadits ini melarang wanita untuk
menjadi pemimpin yang tertinggi dalam suatu negara.
·
Risywah baik yang menyuap maupun yang disuap keduanya dilaknat oleh
Allah SWT.
·
Terorisme merupakan tindakan menakut-nakuti dan membuat kerusakan.
Terorisme termasuk juga di dalamnya al-irhab, al-hirabah dan al-baghyu.
[1] Ibnu Hajar
al-Asqalany, Bulughul Maram, hal.178.
[2] Musthafa
as-Siba’y, Wanita di Antara Hukum Islam dan Perundang-Undangan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1966) hal. 61-62
[3] Ibid, hal. 62.
[4] Tafsir al Qurthubi juz 5, hal 168.
[5] Tafsir al Qurthubi juz 5, hal 168.
[6] Sunan Abu
Dawud, hadits no. 3580.
[7] Sunan
at-Tirmidzy, hadits no. 1351.
[8] Abu Bakar
Muhammad, Terjemah Subulussalam III (Jakarta: Al-Ikhlas,), hal. 146
[9] Ibid. Hal. 146
[10] Kasjim
Salenda, Terorisme dan Jihad dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta:
Badan Litbang dan Departemen Agama RI, 2009), hal. 241.
[11] Topo Santoso, Membumikan
Hukum Pidana Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hal. 33-34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar