Minggu, 10 Desember 2017

Hadits tentang Pemimpin Wanita, Risywah dan Nepotisme

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam sebuah tatanan negara, sudah menjadi keharusan adanya seorang pemimpin. Untuk menjadi seorang pemimpin negara, Islam khususnya telah memberi syarat-syarat tertentu. Di antara syarat-syarat tersebut adalah bahwa seorang pemimpin haruslah seorang laki-laki. Namun pada kenyataannya, saat ini banyak sekali pemimpin-pemimpin wanita. Lalu bagaimana kita menyikapi hal ini. Untuk menjawab hal tersebut, kita perlu merujuk kepada hadits-hadits Nabi dan pendapat-pendapat para ulama.
Berbicara masalah risywah, sudah tidak asing lagi di telinga kita. Yang sering kita tahu dengan istilah suap menyuap. Hal ini sering dilakukan antara pihak yang berurusan dengan pejabat yang berwenang. Maraknya suap menyuap ini telah melupakan hukumnya yang telah jelas dalam sabda Rasul, dimana Rasul benar-benar melaknat para pelaku risywah ini.
Ada permasalahan yang lebih rumit lagi, yakni mengenai terorisme. Terorisme saat ini merajalela dimana-mana sejak teror yang melanda gedung WTC di Amerika yang kemudian teror ini menjamur di berbagai negara termasuk Indonesia. Seringkali terorisme ini diatasnamakan jihad di jalan Allah, bahkan pelakunya mengaku sebagai mujahid fi sabilillah. Lalu bagaimana sebenarnya terorisme di pandang dari sebuah hadits Nabi dan bagaimana hukumnya.
Maka melalui makalah ini, berbagai pembahasan di atas akan diulas oleh penyusun. Semoga bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.







BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pemimpin Wanita

1.      Hadits
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ:قَالَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ فَارِسًا مَلَّكُوا ابْنَةَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً (رواه البخارى)[1]
“Dari Abi Bakrah berkata bahwa Nabi SAW: bersabda tentang negeri Persia yang dipimpin oleh putri Kisra, beliau bersabda: “Tidak beruntung suatu kaum yang urusannya diserahkan kepada wanita”(HR. Bukhari)
2.      Istinbath hukum
Hadits ini khusus menerangkan tentang pemimpin tertinggi dalam negara, karena Rasulullah SAW mengucapkan hadits ini pada waktu beliau menerima berita bahwa bangsa Persia menobatkan kepala negaranya salah seorang dari puteri-puteri Kisra Abarwiz, setelah Kisra meninggal. Sedang kepemimpinan secara umum itu tidak dilarang untuk dipegang oleh wanita, dan ulama-ulama sepakat menetapkan hal itu. Mereka sepakat menetapkan bahwa wanita boleh diserahi wasiat untuk memelihara anak-anak kecil dan orang-orang yang kurang akalnya, boleh juga wanita itu menjadi wakil dari suatu perkumpulan yang terdiri dari beberapa orang, untuk mengadakan transaksi terhadap harta kekayaan perkumpulan itu atau untuk mengurus sawah ladang mereka misalnya. Boleh juga wanita menjadi saksi, sedang kesaksian itu termasuk kepemimpinan juga. Hal ini merupakan pendapat sebagian ahli hukum.[2]
Jadi bunyi hadits itu sama dengan pengertiannya yang jelas yaitu melarang wanita untuk menjadi pemimpin yang tertinggi dalam suatu negara. Dan dapat disamakan dengan itu, segala jabatan yang begitu penting pertanggungjawabannya.
Tidak bolehnya wanita itu menjadi pemimpinn yang tertinggi dalam suatu negara itu tidak ada hubungannya dengan nilai kemanusiaan, kemuliaan dan kecakapan wanita itu. Tetapi hal itu adalah berhubungan dengan kesejahteraan bangsa secara keseluruhan dan erat hubungannya dengan suasana kejiwaan dari kaum wanitanya dan tugasnya di kalangan masyarakat nantinya jika ia menjadi kepala negara.[3]
3.    Pendapat Ulama
Berdasarkan syarah Turatsi, hadits ini merupakan dalil tentang tidak bolehnya kepemimpinan diserahkan kepada perempuan. Sedangkan para pemikir kontemporer, memperbolehkan perempuan menjadi pemimpin. Hadits di atas secara konteks hanya diperuntukkan pada pada saat dimana  putrinya raja Kisra diangkat menjadi pemimpin di Persia. Dan hadits tersebut dengan konteks zaman sekarang sudah berbeda. Kaum perempuan pada zaman sekarang dapat disejajarkan dengan kaum laki-laki yang telah mendapatkan kesamaan hak dalam mendapatkan pendidikan. Sehingga hal ini membuka peluang secara terbuka bagi kaum perempuan untuk menentukan pandangan, bekerja, dan menduduki jabatan.
Untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan ini, dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan. Beliau memperbolehkan wanita menjadi pemimpin di dalam penentuan hukum (qadli), selain ketetapan hukuman (semisal qisas).
Dalam kitab Subul al-Salam karangan As-Syeikh Muhammad bin Ismail Al-Kahlani As-Shan`ani: dari Abu Bakrah RA, dari Nabi SAW bersabda: Selamanya pasti tidak akan beruntung / berhasil / bahagia kaum yang menyerahkan pemerintahannya kepada wanita. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Ini sebagai dalil ketidakbolehan kepemimpinan wanita dalam segala hal, yang berkaitan dengan urusan atau perkara kaum muslimin. Sekalipun oleh as-Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) bahwa wanita itu juga diperintahkan menjadi penanggungjawab kemaslahatan rumah tangga suaminya.
Pernyataan pengarang kitab Subul al-Salam ini, sebagai sanggahan terhadap Ibnu Jarir At-Thabari yang memperbolehkan kepemimpinan wanita secara mutlak. Menurut Ibnu Jarir, mereka (umat Islam) dilarang memilih ketidakberuntungan, tetapi diperintahkan untuk memilih pemerintahan yang menyebabkan terwujudnya suatu kebahagiaan. Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengahi-nengahi pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang jenis kelamin, entah laki-laki ataukah perempuan) maka keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja, kecuali hal-hal yang memang telah diputuskan oleh ijma’, yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah al-kubra). Itupun Ibnu Jarir At-thabari masih mensyaratkan haruslah wanita yang persaksiannya dianggap sah oleh hukum Islam, sebagaimana diterangkan dalam kitab Fathul Bari diantaranya: Islam, baligh, berakal, merdeka, adil.
Al-Qurthuby tidak memperbolehkan kepemimpinan publik, seperti: presiden, gubernur, bupati atau sejenisnya dipegang oleh kaum wanita berdasarkan berbagai dalil yang disebutkan didalam al Qur’an dan sunnah diantaranya :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء
Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An Nisaa : 34)
Al Qurthubi mengatakan tentang ayat tersebut bahwa maknanya adalah kaum pria lah yang berkewajiban memberikan nafkah kepada kaum wanita. Bermakna juga, ”termasuk didalamnya adalah para hakim, amir (pemimpin) dan orang yang berperang dan di dalam perkara itu semua tidak diperbolehkan wanita.”[4]
Ibnu Katsir mengatakan bahwa laki-laki pemimpin bagi wanita bermakna laki-laki yang memimpin wanita, hakim terhadapnya dan yang meluruskannya ketika dia (wanita) melakukan penyimpangan. Seperti dalam firman Allah SWT:
بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
“Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki).” (QS. An Nisaa : 34) Karena kaum laki-laki memiliki kelebihan dari kaum wanita, laki-laki lebih mampu daripada wanita. Karena itulah kenabian dikhususkan untuk kaum laki-laki demikian pula dengan kekuasaan tertinggi, berdasarkan sabdanya, ”Kaum laki-laki lebih memiliki kemampuan daripada wanita di dalam bidang ini.” (HR. Bukhori), demikian pula di dalam jabatan peradilan.[5]
Asy Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, pernah ditanya tentang bagaimana menurut syariat islam yang lurus tentang pemilihan wanita sebagai presiden, kepala pemerintahan atau kepala departemen. Asy Syeikh menjawab,”Kepemimpinan wanita dan pemilihannya sebagai pemimpin publik bagi kaum muslimin tidaklah diperbolehkan, sebagaimana ditunjukkan oleh al Qur’an, Sunnah dan ijma’. Diantara dalil al Qur’an adalah :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء
Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An Nisaa : 34)
Hukum di dalam ayat tersebut berlaku umum mencakup kepemimpinan laki-laki di dalam keluarganya, dan terlebih lagi di dalam kepemimpinan publik. Hukum ini dipertegas oleh alasan yang juga terdapat di dalam ayat itu, yaitu kelebihan akal, pemikiran dan lainnya dari sisi kapabilitas untuk mengemban peradilan dan kepemimpinan.
Al-Khattabi berkata: Hadits Abi Bakrah ini menerangkan bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin negara (presiden), maupun menjadi qadli dan juga tidak boleh mengakadkan dirinya sendiri, dan tidak boleh jadi wali akad (bagi putrinya), demikian juga pendapat jumhur ulama.
Bagaimanapun terjadinya khilafiyah bolehnya wanita menjadi qadli, kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW, wajib mempertimbangkan dzahirnya lafadz hadits Abi Bakrah: Tidak akan beruntung/ berhasil/ bahagia kaum yang menyerahkan pemerintahannya kepada wanita, tanpa harus ditakwili sesuai dengan keinginan hawa nafsu semata, khususnya yang berkaitan dengan politik sesaat.
4.      Takhrijul Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya, maka kadar ketinggian derajat keshahihannya tidak perlu diragukan. Dan para ulama ahlu sunnah wal jama’ah bersepakat, bahwa seluruh hadits yang termaktub dalam kitab shahih Bukhari adalah mutlak diterima dan dijadikan dalil dalam penentuan hukum syariat, tanpa harus ditinjau ulang keadaan sanadnya, mutawatir atau ahad, sebagaimana yang dikatakan para ulama ahli hadits dan ushul fiqih, orang yang mempermasalahkannya, sama halnya membuka aib tentang ketidaktahuan pelakunya terhadap kaedah ushul hadits maupun ushul fiqih.
Hadits ini juga membatalkan tuduhan orang yang mengatakan Hadits Abi Bakrah tersebut lemah derajatnya. Karena hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan juga dikuatkan oleh Imam Ahmad, Annasai, Tirmidzi, Alhakim, dan Ibnu Hibban.
Berdasarkan penelitan terhadap hadits tentang kepemimpinan perempuan, baik ditinjau dari analisis sanad dan rawinya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
  1. Dilihat dari segi sanad : para perowi hadits pada sanad yang diambil oleh para penyusun kitab hadits (mudawin) yaitu Bukhari, Tirmidzi, Nasai dan Ahmad dalam hadits tentang kepemimpinan di atas dapat dikatakan bahwa antara rowi yang satu dengan rowi yang sebelum atau sesudahnya dimungkinkan sejaman (Mu’asharah) dan saling bertemu (Liqa’). Sehingga terdapat keterikatan guru dan murid, maka semua sanad hadits tersebut dapat dikatakan bersambung (Muttashil). Kecuali satu hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, terdapat satu rawi hadits yaitu Mubarok bin Fadhlah bin Abi Umayah yang diketahui tidak pernah bertemu dengan sahabat.
  2. Dilihat dari segi Jarrah dan Ta’dil rowi : berdasarkan penilaian dan komentar para ulama Jarrah wa Ta’dil, para perowi hadits yang terdapat pada sanad yang digunakan oleh penyusun kitab hadits (Mudawin), yaitu Bukhari, Tirmidzi, Nasai dan Ahmad. Dapat dikatakan bahwa mereka termasuk rawi-rawi yang yang memiliki sifat adil dan dhabit (tsiqah), atau pada sebagian rawi sekurang-kurangnya dinilai shaduq (benar) dan terpercaya. Walaupun ada seorang rowi yaitu Mubarok bin Fadhlah pada hadits riwayat Ahmad pada hadits ketiga dinilai dhoif.
  3. Dilihat dari redaksi ketujuh matan hadits yang telah ditakhrij di atas (yaitu riwayat Bukhari, Tirmidzi, Nasai dan Ahmad), dapat dikatakan bahwa redaksi matan yang terdapat pada hadits tersebut meskipun terdapat perbedaan pada sebagian teks hadits, namun perbedaannya hanya sedikit dan tidak signifikan.

B. Risywah (Suap Menyuap)

1.      Hadits
عن عبد الله ابن عمر ابن العاص قال: لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي (رواه ابو داود و الترميذى و صححه)
“Dari Abdullah bin Umar ia berkata: Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzy)[6]
Juga hadits:
وعن ثوبان رضي الله عنه قال لعن رسول الله الراشي والمرتشي والرائش: يعني الذي يمشي بينهما (رواه احمد)
Dari Tsauban RA, ia berkata, “Rasulullah SAW melaknat/mengutuk orang yang menyuap, yang menerima suap dan orang yang menghubungkan keduanya.” (HR. Ahmad)
Sementara dalam Sunan at-Tirmidzi disebutkan:
عن ابى هريرة رضي الله عنه قال: لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي في الحكم (رواه الترميذى)  
“Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW telah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap dalam masalah hukum”. (HR. At-Tirmidzi)[7]
2.      Istinbath Hukum
Dalam hadits tersebut terkandung kebolehan mengutuk orang-orang yang maksiat dari kalangan orang muslim. Mengenai hadits bahwa orang-orang yang mu’min bukanlah orang yang suka mengutuk, maka maksudnya adalah orang yang tidak pantas dikutuk di antara orang-orang yang tidak dikutuk oleh Allah dan RasulNya. Atau maksudnya, bahwa orang yang beriman itu bukanlah orang yang mengutuk sebagaimana menurut pengertian bentuk kata fa’al (bentuk mubalaghah-sangat).[8]
Islam sebagai agama yang sempurna (syamil) sangat mengharamkan praktik suap-menyuap bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutuk (melaknat) para pelaku hingga penghubung suap-menyuap sebagaimana hadits tersebut.
Suap-menyuap dalam Islam disebut juga ar-Risywah (الرِّشْوة), Ibnu al-Atsir dalam an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar mendefiniskan; ar-Risywah adalah usaha memenuhi hajat (kepentingannya) dengan membujuk. Kata ar-Risywah sendiri berasal dari الرِشاء  yang berarti tali yang menyampaikan timba ke air. Ada pula yang mengatakan, risywah (رشوةِ) berasal dari kata rasya (رشا) yang berarti al-ja’lu (menyuap). Ibnu al-Atsir mengatakan risywah adalah sesuatu yang menyampaikan pada keperluan dengan jalan menyogok  (الوُصْلَةُ إِلـى الـحاجة بالـمُصانعة).
Ar-rasyi artinya orang yang mengorbankan hartanya agar dengan pengorbanan itu dia bisa sampai kepada kebatilan. Kata ar-rasyi itu diambil dari rasya yang berarti tali yang dipergunakan agar sampai kepada air dalam sumur. Al-murtasyi ialah orang yang mengambil/menerima suapan dan dia itu adalah hakim/penguasa. Mereka pantas mendapat kutukan semuanya karena menyebabkan penyuap dengan hartanya bisa sampai kepada yang batil dan mengakibatkan pihak penerima suap sampai kepada keputusan dengan cara yang tidak benar/tidak adil. Di dalam hadits dari Tsauban, ada tambahan “dan ar-ra’sy” yaitu orang yang menjadi penghubung antara pemberi dan penerima suap.[9]
Dalam Hasyiyah Ibnu Abidin yang dikutip dari kitab al-Misbah risywah didefinisikan sebagai berikut:
ما يعطيه الشخص الحاكم وغيره ليحكم له أو يحمله على ما يريد
“Sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau kepada yang lainnya agar orang tersebut memutuskan perkara berpihak kepadanya atau membawa kepada yang diinginkannya.”
Dapat diambil kesimpulan ar-Risywah adalah pemberian apa saja (berupa uang atau yang lain) kepada penguasa, hakim atau pengurus suatu urusan agar memutuskan perkara atau menangguhkannya dengan cara yang bathil. Dengan cara bathil inilah sebuah ketentuan berubah, sehingga menyakiti banyak orang dan wajarlah jika Rasulullah mengutuk/melaknat para pelaku suap-menyuap.
Setelah mengetahui dalil-dalil yang menegaskan tentang keharaman praktik suap-menyuap (ar-Risywah) maka sudah dapat dipastikan bahwa pelaku, penerima dan orang-orang yang terlibat dalam praktik suap tersebut tidak akan mendapatkan keuntungan melainkan kecelakaan yang akan Allah berikan kepadanya, jika tidak di dunia tapi pasti di akhirat.
Akan tetapi, setelah jelasnya hukum akan perkara ini, masih saja ada orang-orang yang coba memalingkan dan mengkaburkan hukum keharaman suap-menyuap ini dengan berdalih bahwa yang diberikannya itu adalah hadiah atas bantuannya, atau uang lelah, dan ungkapan lainnya. Dengan alasan-alasan seperti itu juga telah terbantahkan oleh hadits yang banyak yang telah diriwayatkan dari Rasulullah SAW, diantaranya:
عن أبي أمامة عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال من شفع لأخيه شفاعة فأهدى له هدية عليها فقبلها فقد أتى بابا عظيما من   أبواب الربا.  (رواه أبو داود)
“Dari Abi Umamah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: Siapa yang menolong saudaranya dengan suatu pertolongan lalu dia memberi suatu hadiah dan hadiah itu diterimanya, maka berarti dia memasuki pintu besar dari pintu-pintu riba” (HR Abu Daud). 
Tidak cukup dengan hadits tersebut, bahkan penyusun kitab Shahih Bukhari, Abu Ismail al-Bukhari membuat bab khusus باب من لم يقبل الهدية لعلة (Bab Siapa saja yang tidak menerima hadiah karena pekerjaan). Dalam bab tersebut, Imam Bukhari menukil perkataan Umar bin Abdul Aziz RA bahwa:
كانت الهدية في زمن رسول الله هدية، واليوم رشوة
“Pada zaman Rasulullah pemberian itu dinamakan hadiah, maka zaman sekarang ini dinamakan risywah (suap)”. (Shahih Bukhari)
3.      Pendapat Ulama
Suap-menyuap bukanlah hal baru dalam Islam, karenanya banyak hadits dan atsar para sahabat yang mencela bahkan mengutuk praktik suap-menyuap tersebut. Bahkan para ulama juga memberikan perhatian yang besar terhadap permasalahan ini, diantaranya adalah Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughny, ia berkata:
فأما الرشوة في الحكم ورشوة العامل فحرام بلا خلاف
“Adapun suap-menyuap dalam masalah hukum dan pekerjaan (apa saja) maka hukumnya haram, tidak diragukan lagi.
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa para ulama telah mengatakan, ”Sesungguhnya pemberian hadiah kepada wali amri, orang yang diberikan tanggung jawab atas suatu urusan, untuk melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan, ini adalah haram, baik bagi yang memberikan maupun menerima hadiah itu, dan ini adalah suap yang dilarang Nabi saw.” [Majmu’ Fatawa juz 31 hal 161]
Asy-Syaukani dalam Nailul Authar berkata,
قال الشوكاني في نيل الأوطار: قال ابن رسلان في شرح السنن: ويدخل في إطلاق الرشوة الرشوة للحاكم والعامل على أخذ الصدقات، وهي حرام بالإجماع
“Ibnu Ruslan berkata dalam Syarhus Sunan, “Termasuk kemutlakan suap-menyuap bagi seorang hakim dan para pekerja yang mengambil shadaqah itu menerangkan keharamannya sesuai ijma’.
Ash-Shan’aniy dalam Subulussalam:
والرشوة حرام بالإجماع سواء كانت للقاضي أو للعامل على الصدقة أو لغيرهما، وقد قال الله تعالى: ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام لتأكلوا فريقاً من أموال الناس بالإثم وأنتم تعلمون
“Dan suap-menyuap itu haram sesuai Ijma’, baik bagi seorang qadhi/hakim, bagi para pekerja yang menangani shadaqah atau selainnya. Sebagaimana firman Allah SWT:

ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل

“Dan janganlah kalian memakan harta-harta diantara kalian dengan cara yang bathil” (QS. Al-Baqarah: 188)
Imam al-Qurthubi mengatakan, ”Makna ayat ini adalah janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lainnya dengan cara yang tidak benar.” Dia menambahkan bahwa barangsiapa yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan syariat maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang batil. Diantara bentuk memakan dengan cara yang batil adalah putusan seorang hakim yang memenangkan kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah. Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan hakim.” (al Jami’ Li Ahkamil Qur’an juz II hal 711) Diakui atau tidak, praktik suap-menyuap merupakan cara-cara bathil memakan harta kaum muslimin.
Allah SWT juga berfirman:

من قتل نفساً بغير نفسٍ أو فساد في الأرض فكأنما قتل الناس جميعاً

“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya” [QS. al-Maidah: 32]
Praktik suap-menyuap jika kita pahami lebih mendalam akan dampak negatifnya, sebenarnya merupakan pembunuhan terhadap kesempatan orang lain dan artinya ia telah membunuh seluruh manusia. Karenanya pantas jika ayat tersebut diatas diarahkan kepada para pelaku suap-menyuap yang telah curang dalam suatu urusan sehingga menyebabkan orang lain kehilangan jiwanya dan kehilangan kesempatannya.
Dan firman-Nya:

يا أيها الذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم واشكروا الله إن كنتم إياه تعبدون

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. al-Baqarah: 172)
Ayat tersebut merupakan dalil umum yang memerintahkan orang-orang yang mengaku beriman untuk mencari rezki yang halal dengan cara-cara yang halal, bukan malah sebaliknya mencari yang halal dengan cara yang haram atau mencari haram dengan cara yang haram pula. Dan suap-menyuap tidak diragukan lagi adalah cara yang bathil dalam mencari rezki sehingga praktik tersebut diharamkan oleh Allah Ta’ala.
4.      Takhrijul Hadits
Hadits-hadits tentang Haramnya Riswah : 
Adapun hadis yang termaktub dalam mashadir ashliyah tersebut adalah sebagai berikut :
Sunan Abu Dawud Juz 9/472: 
·        حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
Sunan At-Tirmidzi Juz 5/174-176:
·        حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ
·        حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ خَالِهِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
Sunan Ibnu Majah 7/101:
·        حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ خَالِهِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
Musnad Ahmad 13/284:
·        حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ خَالِهِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
·        حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ وَيَزِيدُ قَالَ أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍوعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ قَالَ يَزِيدُ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
·        حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنِ الْحَارِثِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
·        حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
·        حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ قَالَ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ
·        حَدَّثَنَا الْأَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ يَعْنِي ابْنَ عَيَّاشٍ عَنْ لَيْثٍ عَنْ أَبِي الْخَطَّابِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا.


C.  Terorisme

1.    Hadits
وَعَنْ عَرْفَجَةَ بْنِ شرَيْحٍ: سَمِعْت رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمَرَكُمْ جَمِيعٌ, يُرِيدُ أَنْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ, فَاقْتُلُوهُ )  أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ .
“Dari ‘Arfajah ibnu Syuraih: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: barangsiapa datang kepadamu dan memerintah kamu sekalian, dan dia ingin memisahkan jama’ahmu, maka bunuhlah ia”.

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: وجدت امرأة مقتولة فى بعض مغازى رسول الله صلى الله عليه وسلم فنهى رسول الله عن قتل النساء والصبيان. رواه البخارى و الترميذى
“Dari Ibnu Umar R.A. berkata: aku mendapati perempuan terbunuh di dalam sebagian perang Rasulullah SAW, maka beliau melarang membunuh wanita dan anak-anak.” (HR. Al-Bukhori dan At-Tirmidzi).

2.    Istinbath Hukum.
Term-term terorisme dalam hukum Islam bervariasi antara lain: al-irhab (irhabiyyah), al-hirabah (perampokan), al-baghyu (pemberontakan), qathi’u al-thariq (pembegal), dan al-‘unf (lawan dari kelemahlembutan).[10] Namun perlu diketahui bahwa term-term tersebut dapat dikategorisasikan terorisme jika memenuhi kriteria atau unsur terorisme misalnya dilakukan dengan aksi kekerasan, menimbulkan kepanikan masyarakat, menimbulkan kerugian jiwa dan materi lainnya dan memiliki tujuan politik. Adapun yang sering dibahas dalam kitab-kitab fiqh baik yang klasik maupun kontemporer yakni al-baghyu, al-irhab dan al-hirabah. Penjelasannya sebagai berikut:
·         Al-baghyu merupakan pemberontakan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap suatu pemerintahan yang sah, adil, jujur dan berwibawa. Al-baghyu ini dapat dikategorikan sebagai terorisme apabila dilakukan dengan kekerasan, menimbulkan kepanikan dan kerusakan kehidupan tatanan masyarakat. Hal ini seperti tersebut dalam QS. An-Nahl ayat 90:
¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGƒÎ)ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcr㍩.xs? ÇÒÉÈ  
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

Larangan dan ancaman bagi perbuatan ini disebutkan dalam QS. Al-Hujurat ayat 9-10:
bÎ)ur Èb$tGxÿͬ!$sÛ z`ÏB tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#qè=tGtGø%$# (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ( .bÎ*sù ôMtót/ $yJßg1y÷nÎ) n?tã 3t÷zW{$# (#qè=ÏG»s)sù ÓÉL©9$# ÓÈöö7s? 4Ó®Lym uäþÅ"s? #n<Î) ̍øBr& «!$# 4 bÎ*sù ôNuä!$sù (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ÉAôyèø9$$Î/ (#þqäÜÅ¡ø%r&ur ( ¨bÎ) ©!$# =Ïtä šúüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÒÈ   $yJ¯RÎ) tbqãZÏB÷sßJø9$# ×ouq÷zÎ) (#qßsÎ=ô¹r'sù tû÷üt/ ö/ä3÷ƒuqyzr& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ÷/ä3ª=yès9 tbqçHxqöè? ÇÊÉÈ  
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil. Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Dalam hadits juga disebutkan:
وَعَنْ عَرْفَجَةَ بْنِ شرَيْحٍ: سَمِعْت رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمَرَكُمْ جَمِيعٌ, يُرِيدُ أَنْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ, فَاقْتُلُوهُ )  أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ .
“Dari ‘Arfajah ibnu Syuraih: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: barangsiapa datang kepadamu dan memerintah kamu sekalian, dan dia ingin memisahkan jama’ahmu, maka bunuhlah ia”.

Menurut ulama Hanafiyyah, al-baghyu diartikan sebagai keluarnya seseorang dari ketaatan kepada imam yang sah tanpa alasan. Sedangkan ulama Syafi’iyyah mengatakan, pemberontakan adalah orang-orang Islam yang menyalahi imam dengan cara tidak menaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban dengan memiliki kekuatan, memiliki argumentasi dan memiliki pemimpin. Sementara menurut madzhab Maliki diartikan sebagai penolakan untuk menaati imam yang sah dengan jalan kekuatan. Penolakan untuk taat ini mungkin didasarkan pada penafsiran tertentu. Mereka mendefinisikan bughot sebagai satu kelompok orang-orang Islam yang menentang imam atau wakil-wakilnya.[11]
·         Al-irhab merupakan aksi-aksi kekerasan yang menimbulkan rasa takut misalnya pembunuhan, pengeboman dan perusakan. Sehingga hal ini masuk dalam kategori terorisme.
·         Al-hirabah merupakan aksi penggunaan senjata yang bertujuan menciptakan kekacauan, membunuh, merusak, merampas harta benda sehingga mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban dalam suatu masyarakat. Biasanya dikenal dengan istilah perampokan.
Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah mendefinisikannya dengan, "Aksi kekerasan dan bersenjata yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam sebuah negara dengan tujuan menciptakan kekacauan dan ketidakstabilan dalam negeri, pertumpahan darah, perampasan harta, perenggutan harga diri dan pengrusakan terhadap lingkungan dan kelangsungan hidup manusia. Termasuk dalam kategori al-hirâbah, masih menurut Sayyid Sabiq, mafia pembunuhan, penculikan anak, perampokan bank dan rumah, penculikan wanita untuk prostitusi, pembunuhan tokoh politik dengan tujuan mengganggu stabilitas keamanan, pembalakan hutan dan pengrusakan lingkungan yang mengganggu flora dan satwa.
Al-Quran mengecam keras aksi al-hirâbah, dan menganggapnya sebagai tindakan memusuhi atau memerangi Allah dan Rasul-Nya. Atau dengan kata lain, terorisme dengan pengertian negatif dan destruktif yang membawa kerusakan di muka bumi dipersamakan dengan perlawanan terhadap Allah dan rasul-Nya. Karena itu sanksi yang disediakannya pun sangat berat, sesuai dengan tingkat beratnya perbuatan. Dalam QS. Al-Ma`idah : 33:
$yJ¯RÎ) (#ätÂty_ tûïÏ%©!$# tbqç/Í$ptä ©!$# ¼ã&s!qßuur tböqyèó¡tƒur Îû ÇÚöF{$# #·Š$|¡sù br& (#þqè=­Gs)ム÷rr& (#þqç6¯=|Áム÷rr& yì©Üs)è? óOÎgƒÏ÷ƒr& Nßgè=ã_ör&ur ô`ÏiB A#»n=Åz ÷rr& (#öqxÿYムšÆÏB ÇÚöF{$# 4 šÏ9ºsŒ óOßgs9 Ó÷Åz Îû $u÷R9$# ( óOßgs9ur Îû ÍotÅzFy$# ë>#xtã íOŠÏàtã ÇÌÌÈ  
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”
Adapun hukuman al-hirabah sebagai berikut:
a.         Hukuman mati bagi yang membunuh tapi tidak mengambil harta, pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i, Hanafi dan Hanbali. Menurut Imam Malik, diserahkan kepada ulil amri.
b.         Hukuman mati dengan penyaliban bagi yang membunuh dan merampas harta. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i, Hanbali dan Zaidiyyah. Sedangkan menurut Hanafi, Ulil Amri apakah dipotong tangan dan kakinya dulu baru dihukum mati dan disalib atau dihukum mati saja tanpa dipotong tangan dan kakinya atau disalib saja. Adapun menurut Imam Malik, ulil amri dapat memilih antara menghukum mati atau menyalib sampai mati. Sedangkan menurut Imam Zahiri, sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada ulil amri, tetapi tidak boleh menggabungkan sanksi-sanksi yang ada.
c.         Potong tangan atau kaki bagi yang merampas harta tetapi tidak membunuh. Dikemukakan oleh Imam Syafi’i, Hanafi dan Hanbali. Sedangkan Imam Malik menyerahkan sepenuhnya kepada ulil amri.
d.        Pengasingan (al-nafy) bagi pembegal yang menimbulkan kengerian dan kecemasan bagi orang lain tetapi tidak merampok dan membunuh.

Islam melarang menimbulkan kengerian (teror) pada orang lain dengan hanya sekadar mengangkat dan mengacungkan senjata/ pedang. Rasulullah Saw. bersabda:
لَا يُشِيرُ أَحَدُكُمْ عَلَى أَخِيهِ بِالسِّلَاحِ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي لَعَلَّ الشَّيْطَانَ يَنْزِعُ فِي يَدِهِ فَيَقَعُ فِي حُفْرَةٍ مِنْ النَّارِ
“Seseorang tidak boleh mengacungkan/ mengangkat senjata ke hadapan orang lain. Karena boleh jadi dia tidak tahu setan akan mengendalikan tangannya yang dengannya ia dapat membunuh sehingga terjerumus ke neraka”.
Dan dalam hadits lain juga disebutkan:
عَنْ اِبْنِ عُمَرَ رِضَيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا اَلسِّلَاحَ, فَلَيْسَ مِنَّا )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .
“Dari Ibnu Umar RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: barangsiapa membawa senjata atas kita, maka bukan termasuk umatku.” (muttafaq ‘alaih)








BAB III
KESIMPULAN

·         Hadits yang diriwayatkan Abi Bakrah ini khusus menerangkan tentang pemimpin tertinggi dalam negara, karena Rasulullah SAW mengucapkan hadits ini pada waktu beliau menerima berita bahwa bangsa Persia menobatkan kepala negaranya salah seorang dari puteri-puteri Kisra Abarwiz, setelah Kisra meninggal. Hadits ini melarang wanita untuk menjadi pemimpin yang tertinggi dalam suatu negara.
·         Risywah baik yang menyuap maupun yang disuap keduanya dilaknat oleh Allah SWT.
·         Terorisme merupakan tindakan menakut-nakuti dan membuat kerusakan. Terorisme termasuk juga di dalamnya al-irhab, al-hirabah dan al-baghyu.



[1] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, hal.178.
[2] Musthafa as-Siba’y, Wanita di Antara Hukum Islam dan Perundang-Undangan (Jakarta: Bulan Bintang, 1966) hal. 61-62
[3] Ibid, hal. 62.
[4] Tafsir al Qurthubi juz 5, hal 168.
[5] Tafsir al Qurthubi juz 5, hal 168.
[6] Sunan Abu Dawud, hadits no. 3580.
[7] Sunan at-Tirmidzy, hadits no. 1351.
[8] Abu Bakar Muhammad, Terjemah Subulussalam III (Jakarta: Al-Ikhlas,), hal. 146
[9] Ibid. Hal. 146
[10] Kasjim Salenda, Terorisme dan Jihad dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta: Badan Litbang dan Departemen Agama RI, 2009), hal. 241.
[11] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hal. 33-34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENYERTAAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

Perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dalam hukum pidana Islam dapat dijelaskan menggunakan teori penyertaan yang sama halnya de...