Jumat, 07 Desember 2018

PENYERTAAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM


Perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dalam hukum pidana Islam dapat dijelaskan menggunakan teori penyertaan yang sama halnya dengan penjelasan dalam hukum positif.
Suatu jarimah (tindak pidana) dapat dilakukan oleh seorang diri maupun beberapa orang. Adapun yang dilakukan oleh beberapa orang itu memiliki bentuk kerjasama sebagai berikut:
1.    Pembuat melakukan jarimah bersama-sama dengan orang lain (memberikan bagiannya dalam melaksanakan jarimah) artinya secara kebetulan melakukan bersama-sama.
2.    Pembuat mengadakan persepakatan dengan orang lain untuk melaksanakan jarimah.
3.    Pembuat menghasut (menyuruh) orang lain untuk memperkuat jarimah.
4.    Memberikan bantuan/kesempatan untuk dilakukannya jarimah dengan berbagai cara tanpa turut ikut berbuat[1].
Penyertaan memiliki dua bagian menurut para fuqoha, yaitu:
1.    Turut berbuat langsung (isytirak mubasyir), dan orang yang melakukannya disebut syarik mubasyir.
2.    Turut berbuat tidak langsung (isytirak ghairu mubasyir/isytirak bittasabbubi), dan orang yang melakukannya disebut syarik mutasabbib.
Untuk lebih jelasnya tentang pengertian jarimah turut berbuat langsung dan turut berbuat tidak langsung akan dipaparkan berikut ini:
1.    Turut berbuat langsung
Turut berbuat langsung ada jika yang melakukan jarimah itu lebih dari satu orang. Menurut para Fuqoha, turut berbuat langsung dalam melakukan jarimah ada dua bentuk yang diambil dari bentuk-bentuk penyertaan, yaitu:
a. Orang yang berbuat sendirian/bersama-sama dalam hukum positif disebut dengan turut serta.
Para fuqaha mengadakan pemisahan apakah kerjasama dalam mewujudkan tindak pidana terjadi secara kebetulan (tafawuq) dimana masing-masing peserta hanya bertanggung jawab atas akibat perbuatannya sendiri atau mungkin sudah direncanakan bersama-sama sebelumnya (tamalu’) dimana para peserta harus bertanggungjawab atas akibat perbuatannya secara keseluruhan.
Pada kasus tafawuq, para peserta berbuat karena dorongan pribadinya dan pikirannya yang timbul dalam seketika itu, dan hal ini dapat dipersamakan dengan tindak pidana yang dilakukan secara massal, dimana massal yang terbentuk tidak secara terorganisir untuk melakukan perbuatan pidana seperti yang sering terjadi pada kerusuhan dalam demonstrasi atau perkelahian secara keroyokan yang pelakunya lebih dari satu (massal) seperti halnya kasus di Papua yaitu penyerangan mahasiswa terhadap aparat kepolisian berupa pengeroyokan yang mengakibatkan kematian. Hal ini dilakukan atas nama pribadinya sendiri, tanggung jawab tafawuq ini terbatas pada perbuatannya saja, tidak bertanggung jawab atas perbuatan peserta lain.
Untuk bentuk yang kedua yakni tamalu’, para peserta telah bersepakat untuk berbuat suatu tindak pidana dan menginginkan bersama hasil tindak pidana itu, serta saling membantu dalam pelaksanaannya. Adapun bentuk pertanggungjawaban pidana untuk tamalu’ dimana peserta harus bertanggungjawab atas perbuatannya secara keseluruhan. Bentuk tamalu’ dapat dipersamakan dengan perbuatanpidana yang dilakukan secara massal dengan massa yang terbentuk secara terorganisir.[2]
b. Peserta yang menjadi sebab (tidak langsung), apabila pembuat langsung hanya menjadi kaki tangannya semata, atau apabila si pembuat langsung hanya menjadi alat atau instrumen saja dari orang yang menyuruh, misal A (30 tahun) hendak mencuri barang E (20 tahun) tetapi menyuruh B (6 tahun) untuk mengambil barang tersebut, maka orang yang menyuruh itu dipandang sebagai si pembuat langsung. Dalam hukum positif, bentuk ini dinamakan doen pleger atau menyuruhlakukan pelaku/orang yang disuruh tidak dapat diminta pertanggungjawabannya karena adanya alasan penghapusan pidana yang ada pada orang yang disuruh (aktor materialis). Pada bentuk ini terdapat lebih dari satu orang pelaku tetapi yang hanya dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya hanya satu orang yaitu yang menyuruhlakukan.
Sedangkan apabila disesuaikan dengan rumusan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal, disana dinyatakan bahwa secara langsung maupun tidak langsung, baik direncanakan maupun tidak direncanakan telah terjadi kerjasama, baik hal tersebut dilakukan secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, pernyataan tersebut dimaksudkan bahwa kesemua rangkaian perbuatan pidana yang dilakukan secara massal adalah bersifat kolektif, jadi tidak mungkin adanya kerjasama apabila adanya paksaan.
Berkaitan dengan dua bentuk perbedaan yang telah dipaparkan diatas, pada dasarnya menurut syariat Islam banyak sedikitnya peserta tindak pidana tidak mempengaruhi besarnya hukuman, meskipun masing-masing peserta bisa terpengaruh oleh keadaan dirinya sendiri-sendiri (dan ini tidak dapat dinikmati peserta lain), misalnya dalam suatu tindak pidana, bisa terjadi salah satu peserta melakukan perbuatannya karena membela diri, gila, salah sangka, atau karena lainnya sementara hal itu tidak ada pada peserta lain, maka hukuman yang akan dijatuhkan pun tidak sama.
2. Turut berbuat tidak langsung
Yang dimaksud turut berbuat tidak langsung ialah setiap yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum atau menyuruh (menghasut) orang lain/memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam persepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.[3]
Berdasarkan keterangan tersebut maka unsur-unsur dari berbuat tidak langsung yaitu:
a. Perbuatan yang dapat dihukum jarimah, yaitu dimana kawan berbuat tidak langsung memberikan bagian dalam pelaksanaannya,tidak diperlukan harus selesai dan juga tidak diperlukan bahwa pembuat asli (pembuat langsung harus dihukum pula contoh pada jarimah percobaan dimana kawan berbuat tidak langsung dapat pula dihukum).
b. Niatan dari orang yang turut berbuat, agar sikapnya atau perbuatan yang dimaksudkan dapat  terjadi. Dengan persepakatan, hasutan atu bantuan, dimaksudkan oleh kawan berbuat tidak langsung untuk terjadinya suatu jarimah tertentu.
Jika tidak ada jarimah tertentu yang dimaksudkan, maka dianggap turut berbuat pada setiap jarimah yang terjadi, apabiola dimungkinkan oleh niatnya, dan apabila jarimah yang terjadi bukan yang dimaksudkannya, maka tidak ada turut berbuat meskipun karena persepakatan dan lain-lain itu sendiri ia bisa dijatuhi hukuman.
c. Cara mewujudkan perbuatan tersebut yaitu mengadakan persepakatan atau menyuruh atau membantu.
1. Persepakatan
Persepakatan dapat terjadi karena adanya saling memahami dan karena danya kesamaan kehendak untuk memeperkuat jarimah.jika tidak ada persepakatan sebelumnya maka tidak ada turut berbuat. Jika tidak ada turut berbuat kalu sudah ada persepakatan sebelumnya, tetapi bukan atas jarimah yang terjadi dan dikerjakan bersama.
2. Menyuruh, menghasut (tahrid)
Menghasut adalah membujuk orang lain untuk berbuat jarimah, dan membujuk menjadi pendorong diperbuatnya jarimah.[4] Apabila pembuat memang sudah punya niat sebelumnya akan membuat jarimah, maka bujukan tersebut tidak dikatakan sebagai pendorongnya, dalam hal bertujuan tersebut menjadi pendorong/tidak untuk dilakukannya jarimah, yang pasti bujukan tersebut adalah suatu maksiat yang bisa dijatuhi hukuman.
3. Memberi bantuan
Orang yang memberi bantuan terhadap orang lain dalam memperbuat jarimah dianggap sebagai kawan berbuat tidak langsung meskipun ada persepakatan sebelumnya, seperti berjaga-jaga untuk memudahkan pencurian.
Perbedaan pembuat asli dan pemberi bantuan adalah pembuat asli (mubasyir) adalah orang yang memperbuat atau mencoba memperbuat yang dilarang, maka pemberi bantuan tidak berbuat atau mencoba berbuat melainkan hanya menolong pembuat asli dengan perbantuan-perbantuan yang tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan yang dilarang ataupun sebagai pelaksana terhadap perbuatan tersebut. Apabila dikontekskan dengan hukum positif maka turut berbuat tidak langsung dikategorikan pada bentuk penyertaan penganjuran (uitlokker) dan pembantuan (medeplictihed). Pada kesemua bentuk ini para pelaku dapat dimintakan pertanggungjawabannya sesuai dengan kapasitas perbuatan yang dilakukan dan hal ini bersesuaian dengan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal.
Mengenai hukuman peserta berbuat tidak langsung, menurut hukumpidana Islam adalah hukuman ta’zir, sebab jarimah turut berbuat tidak langsung tidak ditentukan oleh syara’, baik bentuk maupun macamnya. Jarimah yang ditentukan oleh syara’ hanya jarimah hudud dan qishas/diyat saja. Kedua bentuk jarimah tersebut hanya tertuju pada jarimah yang diperbuat secara langsung, bukan untuk kawan berbuatnya (pembuat tidak langsung). Perbuatan tidak langsung merupakan ‘illat dan menunjukkan kesyubhatan dalam perbuatan jarimah, sedangkan syubhat dalam hudud dan qishas menurut kaidah harus dihindari. Oleh karena itu sanksi pelaku jarimah turut serta secara tidak langsung adalah hukuman ta’zir, bukan hudud atau qishas.
Perbedaan di atas hanya berlaku bagi jarimah hudud dan qishas saja dan tidak berlaku bagi jarimah ta’zir. Dalam jarimah ta’zir, tidak ada perbedaan hukuman antara pembuat langsung dan pembuat tidak langsung. Kedua pelaku langsung atau tidak langsung sama-sama dianggap telah melakukan jarimah ta’zir dan hukumannya tentu saja hukuman ta’zir pula.[5]
Satu hal yang perlu dipahami bahwa pada turut berbuat tidak langsung boleh dikatakan tidak bermasalah, karena hal ini disebabkan oleh aturan syariat Islam, hukuman yang telah ditentukan hanya dijatuhkan atas orang yang turut berbuat dengan langsung, bukan atas orang yang berbuat tidak langsung. Akan tetapi hal tersebut dikecualikan pada jarimah pembunuhan dan penganiayaan, dimana turut berbuat langsung dan turut berbuat tidak langsung dijatuhi hukuman, karena kedua jarimah tersebut bisa dikerjakan baik langsung maupun tidak langsung sesuia dengan sifat jarimah tersebut.
Jadi dalam hal perbuatan pidana penyertaan untuk konteks hukum pidana Islam tidak tergantung pada bagaimana bentuk atau ciri-ciri dari perbuatan pidana yang dilakukan secara massal tersebut dan banyaknya pembuat pidana, tapi terfokus pada perbuatan apa yang telah dilakukan seseorang, cara terjadinya perbuatan, keadaan pembuat dan niatnya, maka sebesar itulah pertanggungjawaban yang harus diembannya.


[1] A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967) hlm.136
[2] Drs. H. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) hlm. 56
[3] A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967) hlm. 144
[4] A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967) hlm. 146
[5] Drs. H. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) hlm. 58

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENYERTAAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

Perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dalam hukum pidana Islam dapat dijelaskan menggunakan teori penyertaan yang sama halnya de...