Perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dalam hukum pidana
Islam dapat dijelaskan menggunakan teori penyertaan yang sama halnya dengan
penjelasan dalam hukum positif.
Suatu jarimah (tindak pidana) dapat dilakukan oleh seorang diri
maupun beberapa orang. Adapun yang dilakukan oleh beberapa orang itu memiliki
bentuk kerjasama sebagai berikut:
1.
Pembuat melakukan jarimah bersama-sama dengan orang lain
(memberikan bagiannya dalam melaksanakan jarimah) artinya secara kebetulan
melakukan bersama-sama.
2.
Pembuat mengadakan persepakatan dengan orang lain untuk
melaksanakan jarimah.
3.
Pembuat menghasut (menyuruh) orang lain untuk memperkuat jarimah.
4.
Memberikan bantuan/kesempatan untuk dilakukannya jarimah dengan
berbagai cara tanpa turut ikut berbuat[1].
Penyertaan memiliki dua bagian menurut para fuqoha, yaitu:
1.
Turut berbuat langsung (isytirak mubasyir), dan orang yang
melakukannya disebut syarik mubasyir.
2.
Turut berbuat tidak langsung (isytirak ghairu mubasyir/isytirak
bittasabbubi), dan orang yang melakukannya disebut syarik mutasabbib.
Untuk lebih jelasnya tentang pengertian jarimah turut berbuat
langsung dan turut berbuat tidak langsung akan dipaparkan berikut ini:
1.
Turut berbuat langsung
Turut berbuat langsung ada jika yang melakukan jarimah itu lebih
dari satu orang. Menurut para Fuqoha, turut berbuat langsung dalam melakukan
jarimah ada dua bentuk yang diambil dari bentuk-bentuk penyertaan, yaitu:
a. Orang yang
berbuat sendirian/bersama-sama dalam hukum positif disebut dengan turut serta.
Para fuqaha
mengadakan pemisahan apakah kerjasama dalam mewujudkan tindak pidana terjadi
secara kebetulan (tafawuq) dimana masing-masing peserta hanya bertanggung jawab
atas akibat perbuatannya sendiri atau mungkin sudah direncanakan bersama-sama
sebelumnya (tamalu’) dimana para peserta harus bertanggungjawab atas akibat
perbuatannya secara keseluruhan.
Pada kasus
tafawuq, para peserta berbuat karena dorongan pribadinya dan pikirannya yang
timbul dalam seketika itu, dan hal ini dapat dipersamakan dengan tindak pidana
yang dilakukan secara massal, dimana massal yang terbentuk tidak secara
terorganisir untuk melakukan perbuatan pidana seperti yang sering terjadi pada
kerusuhan dalam demonstrasi atau perkelahian secara keroyokan yang pelakunya lebih
dari satu (massal) seperti halnya kasus di Papua yaitu penyerangan mahasiswa
terhadap aparat kepolisian berupa pengeroyokan yang mengakibatkan kematian. Hal
ini dilakukan atas nama pribadinya sendiri, tanggung jawab tafawuq ini terbatas
pada perbuatannya saja, tidak bertanggung jawab atas perbuatan peserta lain.
Untuk bentuk
yang kedua yakni tamalu’, para peserta telah bersepakat untuk berbuat suatu
tindak pidana dan menginginkan bersama hasil tindak pidana itu, serta saling
membantu dalam pelaksanaannya. Adapun bentuk pertanggungjawaban pidana untuk
tamalu’ dimana peserta harus bertanggungjawab atas perbuatannya secara
keseluruhan. Bentuk tamalu’ dapat dipersamakan dengan perbuatanpidana yang
dilakukan secara massal dengan massa yang terbentuk secara terorganisir.[2]
b. Peserta yang
menjadi sebab (tidak langsung), apabila pembuat langsung hanya menjadi kaki
tangannya semata, atau apabila si pembuat langsung hanya menjadi alat atau
instrumen saja dari orang yang menyuruh, misal A (30 tahun) hendak mencuri barang
E (20 tahun) tetapi menyuruh B (6 tahun) untuk mengambil barang tersebut, maka
orang yang menyuruh itu dipandang sebagai si pembuat langsung. Dalam hukum
positif, bentuk ini dinamakan doen pleger atau menyuruhlakukan pelaku/orang
yang disuruh tidak dapat diminta pertanggungjawabannya karena adanya alasan
penghapusan pidana yang ada pada orang yang disuruh (aktor materialis). Pada
bentuk ini terdapat lebih dari satu orang pelaku tetapi yang hanya dapat
dipertanggungjawabkan perbuatannya hanya satu orang yaitu yang menyuruhlakukan.
Sedangkan
apabila disesuaikan dengan rumusan perbuatan pidana yang dilakukan secara
massal, disana dinyatakan bahwa secara langsung maupun tidak langsung, baik
direncanakan maupun tidak direncanakan telah terjadi kerjasama, baik hal
tersebut dilakukan secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, pernyataan
tersebut dimaksudkan bahwa kesemua rangkaian perbuatan pidana yang dilakukan
secara massal adalah bersifat kolektif, jadi tidak mungkin adanya kerjasama
apabila adanya paksaan.
Berkaitan
dengan dua bentuk perbedaan yang telah dipaparkan diatas, pada dasarnya menurut
syariat Islam banyak sedikitnya peserta tindak pidana tidak mempengaruhi
besarnya hukuman, meskipun masing-masing peserta bisa terpengaruh oleh keadaan
dirinya sendiri-sendiri (dan ini tidak dapat dinikmati peserta lain), misalnya
dalam suatu tindak pidana, bisa terjadi salah satu peserta melakukan
perbuatannya karena membela diri, gila, salah sangka, atau karena lainnya
sementara hal itu tidak ada pada peserta lain, maka hukuman yang akan
dijatuhkan pun tidak sama.
2. Turut berbuat tidak langsung
Yang dimaksud
turut berbuat tidak langsung ialah setiap yang mengadakan perjanjian dengan
orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum atau menyuruh
(menghasut) orang lain/memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan
disertai kesengajaan dalam persepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.[3]
Berdasarkan keterangan tersebut maka unsur-unsur dari berbuat tidak
langsung yaitu:
a. Perbuatan
yang dapat dihukum jarimah, yaitu dimana kawan berbuat tidak langsung
memberikan bagian dalam pelaksanaannya,tidak diperlukan harus selesai dan juga
tidak diperlukan bahwa pembuat asli (pembuat langsung harus dihukum pula contoh
pada jarimah percobaan dimana kawan berbuat tidak langsung dapat pula dihukum).
b. Niatan dari
orang yang turut berbuat, agar sikapnya atau perbuatan yang dimaksudkan dapat terjadi. Dengan persepakatan, hasutan atu
bantuan, dimaksudkan oleh kawan berbuat tidak langsung untuk terjadinya suatu
jarimah tertentu.
Jika tidak ada
jarimah tertentu yang dimaksudkan, maka dianggap turut berbuat pada setiap
jarimah yang terjadi, apabiola dimungkinkan oleh niatnya, dan apabila jarimah
yang terjadi bukan yang dimaksudkannya, maka tidak ada turut berbuat meskipun
karena persepakatan dan lain-lain itu sendiri ia bisa dijatuhi hukuman.
c. Cara
mewujudkan perbuatan tersebut yaitu mengadakan persepakatan atau menyuruh atau
membantu.
1. Persepakatan
Persepakatan
dapat terjadi karena adanya saling memahami dan karena danya kesamaan kehendak untuk
memeperkuat jarimah.jika tidak ada persepakatan sebelumnya maka tidak ada turut
berbuat. Jika tidak ada turut berbuat kalu sudah ada persepakatan sebelumnya,
tetapi bukan atas jarimah yang terjadi dan dikerjakan bersama.
2. Menyuruh, menghasut (tahrid)
Menghasut
adalah membujuk orang lain untuk berbuat jarimah, dan membujuk menjadi
pendorong diperbuatnya jarimah.[4]
Apabila pembuat memang sudah punya niat sebelumnya akan membuat jarimah, maka
bujukan tersebut tidak dikatakan sebagai pendorongnya, dalam hal bertujuan
tersebut menjadi pendorong/tidak untuk dilakukannya jarimah, yang pasti bujukan
tersebut adalah suatu maksiat yang bisa dijatuhi hukuman.
3. Memberi bantuan
Orang yang
memberi bantuan terhadap orang lain dalam memperbuat jarimah dianggap sebagai
kawan berbuat tidak langsung meskipun ada persepakatan sebelumnya, seperti
berjaga-jaga untuk memudahkan pencurian.
Perbedaan pembuat asli dan pemberi bantuan adalah pembuat asli
(mubasyir) adalah orang yang memperbuat atau mencoba memperbuat yang dilarang,
maka pemberi bantuan tidak berbuat atau mencoba berbuat melainkan hanya
menolong pembuat asli dengan perbantuan-perbantuan yang tidak ada sangkut
pautnya dengan perbuatan yang dilarang ataupun sebagai pelaksana terhadap perbuatan
tersebut. Apabila dikontekskan dengan hukum positif maka turut berbuat tidak
langsung dikategorikan pada bentuk penyertaan penganjuran (uitlokker) dan
pembantuan (medeplictihed). Pada kesemua bentuk ini para pelaku dapat
dimintakan pertanggungjawabannya sesuai dengan kapasitas perbuatan yang
dilakukan dan hal ini bersesuaian dengan perbuatan pidana yang dilakukan secara
massal.
Mengenai hukuman peserta berbuat tidak langsung, menurut
hukumpidana Islam adalah hukuman ta’zir, sebab jarimah turut berbuat tidak
langsung tidak ditentukan oleh syara’, baik bentuk maupun macamnya. Jarimah
yang ditentukan oleh syara’ hanya jarimah hudud dan qishas/diyat saja. Kedua
bentuk jarimah tersebut hanya tertuju pada jarimah yang diperbuat secara
langsung, bukan untuk kawan berbuatnya (pembuat tidak langsung). Perbuatan
tidak langsung merupakan ‘illat dan menunjukkan kesyubhatan dalam perbuatan
jarimah, sedangkan syubhat dalam hudud dan qishas menurut kaidah harus
dihindari. Oleh karena itu sanksi pelaku jarimah turut serta secara tidak
langsung adalah hukuman ta’zir, bukan hudud atau qishas.
Perbedaan di atas hanya berlaku bagi jarimah hudud dan qishas saja
dan tidak berlaku bagi jarimah ta’zir. Dalam jarimah ta’zir, tidak ada
perbedaan hukuman antara pembuat langsung dan pembuat tidak langsung. Kedua
pelaku langsung atau tidak langsung sama-sama dianggap telah melakukan jarimah
ta’zir dan hukumannya tentu saja hukuman ta’zir pula.[5]
Satu hal yang perlu dipahami bahwa pada turut berbuat tidak
langsung boleh dikatakan tidak bermasalah, karena hal ini disebabkan oleh
aturan syariat Islam, hukuman yang telah ditentukan hanya dijatuhkan atas orang
yang turut berbuat dengan langsung, bukan atas orang yang berbuat tidak
langsung. Akan tetapi hal tersebut dikecualikan pada jarimah pembunuhan dan
penganiayaan, dimana turut berbuat langsung dan turut berbuat tidak langsung
dijatuhi hukuman, karena kedua jarimah tersebut bisa dikerjakan baik langsung
maupun tidak langsung sesuia dengan sifat jarimah tersebut.
Jadi dalam hal perbuatan pidana penyertaan untuk konteks hukum
pidana Islam tidak tergantung pada bagaimana bentuk atau ciri-ciri dari perbuatan
pidana yang dilakukan secara massal tersebut dan banyaknya pembuat pidana, tapi
terfokus pada perbuatan apa yang telah dilakukan seseorang, cara terjadinya
perbuatan, keadaan pembuat dan niatnya, maka sebesar itulah pertanggungjawaban
yang harus diembannya.
[1] A. Hanafi,
Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967) hlm.136
[2] Drs. H. Rahmat
Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) hlm. 56
[3] A. Hanafi,
Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967) hlm. 144
[4] A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1967) hlm. 146
[5] Drs. H. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
2000) hlm. 58