Kamis, 13 Desember 2012

WAKAF DI NEGARA-NEGARA ISLAM


1.      Saudi Arabia
Untuk memperkuat kedudukan harta wakaf, Pemerintah Saudi Arabia membentuk Kementerian Haji dan Wakaf. Kementerian ini mempunyai kewajiban mengembangkan dan mengarahkan wakaf sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh wakif. Untuk itu Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia membuat peraturan bagi Majelis Tinggi Wakaf dengan ketetapan No. 574 tanggal 16 Rajab 1386 sesuai dengan Surat Keputusan Kerajaan No. M/35, tanggal 18 Rajab 1386.[1]
Majelis Tinggi Wakaf diketuai oleh Menteri Haji dan Wakaf, yakni Menteri yang me-ngawasi wakaf dan menguasai permasalahan-permasalahan perwakafan sebelum dibentuk Majelis Tinggi Wakaf. Adapun anggota Majelis Tinggi Wakaf terdiri atas wakil Kementerian Haji dan Wakaf, ahli hukum Islam dari Kementerian Kehakiman, wakil dari Kementerian (Departemen) Keuangan dan Ekonomi, Direktur Kepurbakalaan serta tiga anggota dari kalangan cendekiawan dan wartawan.
Majelis Tinggi Wakaf mempunyai wewenang untuk membelanjakan hasil pengembangan wakaf dan menentukan langkah-langkah dalam mengembangkan wakaf berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan wakif dan manajemen wakaf. Di samping itu Majelis Tinggi Wakaf juga mempunyai beberapa wewenang, antara lain:
(1)   melakukan pendataan wakaf serta menentukancara-cara pengelolaannya.
(2) menentukan langkah-langkah umum untuk penanaman modal, pengembangan dan peningkatan harta wakaf
(3) mengetahui kondisi semua wakaf yang ada. Langkah ini dilakukan untuk menguatkan kedudukannya sebagai lembaga yang menguasai permasalahan wakaf serta untuk mencarijalanpemecahpnnya
(4) membelanjakan harta wakaf untuk kebajikan menurut syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh wakif dan sesuai dengan Syariat Islam
(5) menetapkan anggaran tahunan demi kelangsungan wakaf dan mendistribusikan hasil pengembanngan tersebut menurut pertimbangan-pertimbangan tertentu
(6) mengembangkan wakaf secara produktif dan mengumumkan hasil wakaf yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah.[2]
Wakaf yang ada di Saudi Arabia bentuknya bermacam-macam seperti hotel, tanah, bangunan (rumah) untuk penduduk, toko, kebun, dan tempat ibadah. Dari macam-macam harta wakaf tersebut ada yang diwakafkan untuk dua kota suci, yakni kota Makkah dan Madinah. Pemanfaatan hasil wakaf yang utama adalah untuk memperbaiki da membangun wakaf yang ada agar wakaf tersebut kekal dengan tetap melaksanakan syarat-syarat yang diajukan oleh wakif.
Khusus terhadap dua kota suci yakni Makkah dan Madinah, pemerintah membantu dua kota tersebut dengan memberikan manfaat hasil wakaf terhadap segala urusan yang ada di kota tersebut. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan hasil pengembangan wakaf. Dari hasil pengelolaan harta wakaf itu juga dibangun perumahan penduduk. Hal ini tidak berarti bahwa dana yang dipergunakan untuk membangun dua kota suci tersebut hanyalah hasil pengembangan wakaf saja, karena Arab Saudi di samping memiliki harta wakaf yang cukup banyak juga memiliki kekayaan yang berlimpah dari hasil minyak yang mereka produksi.[3]
Proyek pengembangan yang diutamakan oleh Kementerian Haji dan Wakaf adalah pembuatan hotel-hotel di tanah wakaf yang terdapat di Makkah al-Mukarramah terutama yang ada di dekat Masjid al-Haram. Proyek-proyek pengembangan wakaf lain yang juga diutamakan adalah pembangunan perumahan penduduk di sekitar Masjid Nabawi. Di kota ini juga dibangun toko-toko dan tempal-tempat perdagangan. Semuanya ditujukan untuk membantu keperluan jamaah haji dan orang-orang yang pergi melakukan ziarah ke Madinah.
Dari data di atas jelas bahwa untuk menjaga wakaf agar tetap terpelihara serta menghasilkan dana yang dapat dimanfaatkan bagi yang berhak, peranan pemerintah sangat menentukan. Untuk itu perlu undang-undang atau peraturan yang berkenaan dengan pemeliharaan serta pengembangan dan pendistribusian wakaf.
Di samping perlu lembaga khusus yang bertugas untuk mengelola wakaf. Yang lebih penting lagi kondisi perekonomian negara juga dapat mempengaruhi berhasil tidaknya pengelolaan wakaf. Saudi Arabia sebagai wilayah yang jumlah wakafnya cukup banyak dengan didukung perekonomian yang memadai mampu mengembangkan harta wakaf dengan baik sehingga masyarakatnya terjamin kesejahteraannya dan Kerajaan juga mampu menyediakan sarana dan prasarana bagi jamaah haji.

2. Mesir
Di negeri ini wakaf telah berkembang dengan menakjubkan kerena memang dikelola secara profesional. Pada awalnya, Hakim Mesir di zaman Hisyam bin Abd Malik yang bernama Taubah bin Namirlah yang pertama kali melakukan wakaf yang pada waktu itu berupa tanah untuk bendungan. Lalu beberapa puluh tahun kemudian wakaf ditangani oleh salah satu departemen dalam pemerintahan. Meski begitu masih juga ada masalah yang muncul dalam pengelolaannya, sehingga pemerintah Mesir terus melakukan pengkajian untuk mengembangkan pengelolaan wakaf dengan tetap berlandaskan syari’ah Islam.
Pada masa Pemerintahan Muhammad Ali Pasya tahun 1891 M, perwakafan di Mesir tidak terurus secara baik sehmgga tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi pembangunan ekonomi Mesir. Wakaf pada masa tersebut menjadi asset yang terlantar. Hal itu disebabkan konsentrasi pemerintahan Muhammad Ali Pasya terfokus pada upaya mewujudkan stabilitas politik internal dalam negeri dalam rangka menghadapi masuknya pasukan barat ke Mesir. Kendatipun adanya usaha meningkatkan perekonomian Mesir, namun wakaf tetap secara terabaikan. Dia berusaha mengembalikan tanah kepada petani sebelumnya yang diambil oleh negara. Ironisnya, petani tetap saja berurusan dengan negara.
Keinginan kuat untuk mengelola wakaf secara baik baru muncul pada masa pasca pemerintahan Muhammad Ali Pasya. Usaha pertama yang dilakukan oleh pemerintah Mesir adalah menertibkan tanah wakaf melalui penjagaan dan pemeliharaan serta diarahkan pada tujuan kemaslahatan umum sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Selain itu, pemerintah juga memberikan perlindungan kepada para mustahiq. Langkah selanjutnya yang dilakukan pemerintah adalah membentuk diwan al-waqf yang menjadi cikal bakal departemen wakaf.[4]
Kendatipun pemerintah Mesir telah membentuk satu departemen untuk mengelola wakaf secara serius, tetapi ternyata persoalan lainnya muncul seperti tidak adanya rasa keadilan yang ditetapkan oleh para pewakaf (wakif), pengawasan dan pengelolan yang kurang profesional. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya tidak jarang wakif dalam berwakaf tidak memperlihatkan rasa keadilan dalam masyarakat. Karena pada saat itu belum ada aturan yang mengatur bagaimana hak dan kewajiban wakif dan dengan pihak yang lain, sehingga terkesan aturan tersebut ditentukan wakif sendiri, terutama yang berkaitan dengan orang-orang yang berhak menerima harta wakaf tersebut. Kondisi demikian memunculkan sikap malas dan menurunkan etos kerja sebahagian mustahiq. Sebagian dari penerima wakaf hanya menggantungkan ekonominya dari wakaf itu saja, sehingga mereka malas untuk bekerja dan menambah deretan pengangguran dalam masyarakat karena di antara mereka tidak lagi punya etos kerja yang baik. Di samping itu, terdapat pula para nazir yang menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan praktek riba.
Melihat ketidakteraturan pengelolaan wakaf tersebut, beberapa kalangan masyarakat yang memiliki perhatian pada persoalan wakaf mendesak pemerintah untuk segera melakukan perubahan peraturan perundang-undangan wakaf. Pada tahun 1926 masyarakat mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Tetapi ide dan wacana yang dikembangkan itu justru mengundang polemik yang panjang di kalangan masyarakat luas.
Pemerintah akhirnya mensahkan undang-undang tersebut meskipun proses menuju pengesahan itu membutuhkan waktu yang agak panjang. Pada tahun 1946 peraturan perundang-undangan tentang wakaf menjadi sebuah kenyataan dan menjadi sebuah putusan politik dengan dikeluarkannya undang-undang No. 48 tahun 1946 yang isinya mencakup terjadinya wakaf dan syarat-syaratnya.
Pengesahan undang-undang tersebut menjadi harapan baru bagi umat Islam Mesir untuk mengelola asset wakaf. Akan tetapi ternyata setelah undang-undang tersebut disahkan, persoalan muncul. Persoalan itu terlihat pada semakin tajamnya perbedaan antara pemeritah dengan ulama, terutama yang berkaitan dengan terjadinya wakal. Menurut undang-undang yang baru saja disahkan dijelaskan bahwa wakif boleh menarik kembali harta yang telah diwakafkan ataupun mengubahnya, tetapi tidak diperbolehkan untuk menarik wakaf untuk diri sendiri. Wakaf jenis inilah yang terbanyak beredar di Mesir pada masa sebelumnya. Misalnya, wakaf yang diberikan untuk kepentingan publik seperti masjid. Dalam hal ini wakif tidak dibolehkan menarik kembali dan tidak boleh mengubahnya. Di samping itu undang-undang ini juga memuat tentang berakhimya wakaf muaqqat (wakaf yang dibatasi waktunya). Menurut undang-undang ini wakaf muaqqat hanya terbatas pada wakaf ahli, sedangkan wakaf khari tidak dibatasi waktunya. Dalam undang-undang ini juga dicantumkan tentang pihak-pihak yang berhak atas harta wakaf, nazir, kekuasaan nazir atas harta wakaf dan pengembangannya.
Pada tahun 1952 pemerintah melakukan revisi terhadap undang-undang ini dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 180 tahun 1952 yang berisi tentang penghapusan peraturan wakaf ahli dengan disertai peraturan pelaksanaannya. Namun, di dalamnya tidak dibahas bagaimana mekanisme pengawasan dan siapa yang bertanggung jawab serta bagaimana prosedur membelanjakannya. Inilah kelemahan pertama yang terdapat dalam undang-undang baru ini. Dengan kata lain, undang-undang ini ternyata juga belum dapat menjawab persoalan dan subtansi yang diinginkan oleh masyarakat.
Menyadari hal yang demikian maka pada tahun yang sama pemerintah kembali mengajukan rancangan undang-undang yang akhirnya disahkan menjadi sebuah produk hukum No. 247 tentang pengawasan terhadap wakaf khairi dan penertiban belanja pemeliharaan harta wakaf. Di samping berisi tentang bagaimana pengawasan, prosedur pembelanjaan, dan pemeliharaan harta wakaf, undang-undang ini juga mengatur tentang kebolehan wizarat al-awqaf dengan persetujuan Majelis Tinggi Wakaf, untuk menyalurkan apakah seluruh atau pun sebagian saja dan harta wakaf jika wakif tidak menentukan penerima wakaf.
Pada tahun 1957 pemerintah mengajukan lagi rancangan undang-undang wakaf yang baru yang akhirnya disahkan menjadi sebuah Undang-Undang No. 30 tahun 1957. Melihat ketentuan hukum yang ada dalam undang-undang ini, pada dasamya tidaklah banyak memuat hal-hal yang baru, kecuali sekedar menyempumakan dan meluruskan undang-undang sebelumnya. Adapun yang terbaru dari undang-undang ini hanyalah menyangkut tentang pendirian rumah sakit yang berada di kota Kairo, Kemudian pada tahun yang sama disusul dengan undang-undang (qanun) No. 152 tahun 1957 yang mengatur tentang penggantian tanah pertanian yang diwakafkan untuk tujuan kebaikan.
Berkaitan dengan pengaturan tentang penggantian tanah pertanian, pemerintah mengeluarkan undang-undang tersendiri, yaitu undang undang No. 20 tahun 1957 yang memuat tentang aturan lembaga perekonomian. Kemudian selanjutnya dilengkapi dengan peraturan No. 51 tahun 1958, yang merupakan penyempurnaan dari undang undang No. 152 tahun 1957. Dengan demikian sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim secara terus menerus telah melakukan proses pematangan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan wakaf dengan senantiasa merujuk kepada syari’at Islam. Salah satu hasil dari proses ini ialah pada tahun 1971 pemerintah berhasil membentuk suatu badan yang khusus menangani persoalan wakaf dan pengembangannya yang disesuaikan dengan Qanun No. 80 tahun 1971. Badan ini bertugas melakukan kerjasama dalam pengawasan dan memeriksa tujuan undang-undang wakaf dan program wizarat al-awqaf.[5] Di samping itu, badan ini juga diberi wewenang untuk mengusut dan melaksanakan semua pendistribusian wakaf serta semua kegiatan yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.[6]
Dalam rangka memudahkan dalam pelaksanaan undang-undang ini, maka pemerintah membentuk struktur kepengurusan wakaf yang terdiri dari ketua badan atau lembaga dan direktur umum. Direktur umum dibantu oleh tiga direktur umum lainnya, yang membidangi harta benda dari pengembangan, bidang teknik (pengukuran) dan bidang pertanian. Di samping itu, kepengurusan ini juga dibantu oleh empat orang wakil menteri, yaitu kementerian pertanian, kementerian kependudukan dan kementerian ekonomi serta kementerian perwakafan. Kemudian terdapat juga penasehat dan majelis pengadilan tinggi yang dipilih oleh majelis dari seorang ahli hukum Islam yang dipilih oleh menteri perwakafan. Adapun harta benda yang dikelola oleh badan ini: pertama, harta yang dikhususkan oleh pemerintah untuk anggaran umum, kedua, barang yang menjadi jaminan hutang, ketiga, hibah, wasiat dan sedekah, keempat, dokumen, uang atau harta yang harus dibelanjakan dan sesuatu yang sudah menjadi haknya untuk dikelola sesuai dengan Undang-undang No. 70 tahun 1972. Kelima, hasil lain yang berguna untuk meningkatkan dan mengembangkan harta wakaf.
Sebagai negara yang sudah cukup lama mengelola harta wakaf, Mesir telah berhasil mengembangkan wakaf untuk pengembangan ekonomi umat. Di antara faktor-faktor yang menjadi pendukungnya adalah: Pertama, pihak pengelola wakaf menyimpan hasil harta wakaf khair di bank sehingga dapat berkembang. Kedua, untuk pembangunan ekonomi umat, pemerintah khususnya Departemen Perwakafan ikut berpartisipasi dalam mendirikan Bank Syari’ah. Ketiga, Departemen Perwakafan melakukan kerjasama dengan pihak lain sebagai penanam modal untuk pendirian pabrik, rumah sakit Islam, pemeliharaan ternak, bank untuk perumahan dan bangunan dan lain-lain. Keempat, Departemen Perwakafan mengelola tanah wakaf yang kosong untuk dikelola secara produktif melalui pendirian lembaga lembaga perekonomian, bekerja sama dengan perusahaan besi dan baja.
Di samping itu, dalam rangka pengembangan wakaf departemen wakaf tidak hanya menanamkan sahamnya dalam skala besar tetapi juga pada penanaman dalam skala kecil. Misalnya, membantu permodalan usaha kecil dan menengah serta membantu kaum dhuafa’, menjaga dan memelihara kesehatan masyarakat melalui pendirian rumah sakit dan penyediaan obat-obatan dan poliklinik, mendirikan tempat-tempat ibadah dan lembaga pendidikan serta ikut serta dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

3. Pakistan
Sama halnya dengan negara-negara muslim lainnya, di Pakistan pengelolaan wakaf berada di bawah pengawasan departemen wakaf yang tersebar di berbagai propinsi. Begitu pula halnya dengan aturan juga mengalami proses yang amat panjang. Misalnya, sebelum tahun 1959 wakaf diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berbeda. Menurut catatan Adiwarman A. Karim, ada lima undang-undang yang mengaturnya, yaitu The Punjab Muslim Awqaf Act. 1951, The Qanon-e Awqaf Islami, 1945 (sekarang propinsi Bahwalpur), The North West Frontier Province Charitible Institution Act. 1949, The Musalman Waqf (Sind Amandement) Act. 1959, The Musalman Waqf (Bombay Amandement) Act, 1935.
Tetapi karena dalam pelaksanaanya undang-undang ini tidak dapat berlaku secara efektif, dan bahkan tidak lagi relevan dengan perkembangan masyarakat, maka pada tahun 1976 undang-undang tersebut diganti dengan Awqaf (Federal Control) Act. yang berarti pengelolaan dilakukan di tingkat federal. Kemudian pada tahun 1979 pengelolaan wakaf dikembalikan lagi ke tingkat propensi.
Dalam operasionalnya menteri wakaf membentuk direktorat konservasi dalam rangka menyelamatkan monumen bersejarah. Direktorat Konservasi Punjab, misalnya, berhasil mendapatkan penghargaan Aga Khan Award dalam bidang arsitektur. Keberhasilan Awqaf Punjab dalam mendapatkan penghargaan antara lain didorong oleh keberhasilannya mendirikan; pertama, Akademi Ulama yang menawarkan program jangka panjang (2 tahun) dan jangka pendek. Selain itu juga pengelolaan 25 sekolah agama, dan 22 perpustakaan. Kedua, pendirian Tabligh Cell untuk berdakwah di berbagai media massa. Ketiga, pendirian Rumah Sakit di Dat Darbar. Keempat, Mesjid Besar Dat Ganj Baks. Kelima, pusat riset data Ganj Bakhs Shib, Lahore yang diberi nama Markaz Ma’araf e Awlie untuk penelitian tentang para aulia. Keenam, bantuan keuangan kepada yang tidak mampu dan para janda ex mujawars.[7]

4. Bangladesh
Bangladesh merupakan salah satu negara yang telah mengembangkan wakaf secara modern, tidak hanya bersifat properti, tetapi sudah merambah kepada wakaf uang. Keberhasilannya mengembangkan wakaf uang telah membawa Bangladesh kepada negara yang memiliki dana sosial yang cukup memadai, dan tidak membutuhkan lagi belas kasihan negara maju untuk mendapatkan bantuan. Jika dilihat dari sisi jumlah harta wakaf, Bangladesh termasuk negara yang memiliki aset wakaf cukup banyak. Menurut penjelasan Adiwarman A. Karim, di Bangladesh terdapat lebih dari 8317 lembaga pendidikan Islam, 123.000 masjid, 55.584 lapangan untuk shalat ‘ied, 21.163 lahan pemakaman, 1.400 Dargah, dan 3.859 lembaga lainnya, yang merupakan harta wakaf. Untuk memudahkan operasionalnya, pengelolaan wakaf di Bangladesh di bagi dalam tiga bentuk, yaitu: Pertama, wakaf yang dikelola oleh Yayasan Wakaf yang tidak terdaftar pada kantor Administrasi Wakaf (OAW) Kementerian Agama Bangladesh. Kedua, wakaf yang dikelola oleh Mutawailis atau Komite Wakaf yang tidak terdaftar pada Kantor Administrasi Wakaf (OAW). Ketiga, wakaf yang dikelola oleh OAW.
Sebahagian besar wakaf yang tersebar di berbagai daerah pada umumnya termasuk pada kelompok pertama dan kedua. Sedangkan secara administratif pengelolaan wakaf berada di bawah Kementerian Agama yang kemudian membentuk satu bagian yang menangani khusus persoalan wakaf, yaitu The Administrator of Waqfs. Secara teknis kantor ini dibantu oleh 4 kantor divisi dan 24 kantor propinsi. Masing-masing kantor ini berfungsi untuk mengatur dan melaksanakan pendaftaran harta wakaf secara administratif. Setelah harta wakaf tersebut didafiarkan kepada kantor, lalu jenis dan penerima manfaat ditentukan, mutawalli ditunjuk sesuai dengan keinginan pemberi wakaf. Kantor wakaf dapat menginstruksikan kepada mutawalli untuk mengelola wakaf sesuai dengan keinginan yang tertulis, namun mutawalli dapat juga mengajukan kepada Mahkamah Agung bila dirasakan instruksi tersebut tidak tepat. Selanjutnya kantor wakaf dapat mengambil alih harta wakaf dan menunjuk mutawalli lain, kapan pun dapat pula membatalkan dan memberhentikan mutawalli dan kemudian menggantinya dengan yang lain. Untuk memastikan pengelolaan yang tepat dan profesional, maka kantor wakaf dapat melakuan audit atas harta wakaf. Di samping itu kantor juga dapat bertindak sebagai seorang hakim untuk meyelesaikan penyalahgunaan, pengambilalihan harta wakaf dan sejenisnya.
Kantor wakaf hanya berhak mengambil fee 5% dari pendapatan bersih. Meskipun harta wakaf tersebut tidak dapat dipindah-tangankan, namun kantor wakaf dapat melakukannya dalam suatu kasus khusus, dengan izin dan pemerintah, atau diatur dalam akad wakaf, atau atas permintaan mutawalli dengan pertimbangan memaksimalkan nilai produktifitas wakaf, atau diambil alih oleh pemerintah dengan memberikan kompensasi.
Sejalan dengan itu, juga telah dikembangkan wakaf uang yang diperkenalkan pertama kali oleh M.A. Mannan dengan Social Investment Bank Ltd (SIBL). Ternyata dalam praktek ekonomi, instrumen ini dapat berperan lebih banyak dalam pembangunan Bangladesh, terutama dalam hal suplemen bagi pendanaan berbagai proyek investasi sosial yang dikelola oleh bank-bank Islam, sehingga dapat berubah menjadi bank wakaf (sebuah bank yang menampung dana-dana wakaf).

5. Yordania
Pemanfaatan wakaf di Yordania sungguh menarik untuk dikaji. Informasi ini penting untuk diketahui, sebagai bahan pertimbangan untuk mengelola wakaf di Indonesia yang jumlahnya cukup banyak, namun belum dikelola secara produktif. Jika kita perhatikan hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar, yang merupakan dialog antara Umar bin Khattab dengan Nabi Muhammad SAW di saat Umar ingin mewakafkan tanahnya di Khaibar, antara lain Nabi SAW bersabda “Jika engkau suka tahanlah pangkalnya dan sedekahkan hasilnya”. Ini menyiratkan, harta yang diwakafkan itu perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga hasilnya dapat mensejahterakan mauquf ‘alaih.[8] Pengelolaan wakaf di Yordania sangatlah produktif. Adapun hasil pengelolaan wakaf itu dipergunakan antara lain untuk :
-  Memperbaiki perumahan penduduk di beberapa kota. Salah satu di antaranya adalah kota yang arealnya seluas 79 dunum (dunum adalah ukuran empat persegi dengan luas kira-kira 900 M2). Di areal tersebut terdapat tanah pertanian, yang berisi 1.346 pohon zaitun, anggur, kurma dan buah badam. Pembangunan rumah penduduk dan pengembangan pertanian tersebut kedua-duanya merupakan proyek pertanian Kementerian Perwakafan.
-  Membangun perumahan petani dan pengembangan tanah pertanian di dekat kota Amman. Wilayah tersebut luasnya 84 dunum, dan di dalamnya terdapat 1.600 pohon anggur, zaitun, buah badam dan kurma.
- Mengembangkan tanah pertanian sebagai tempat wisata di dekat Amman. Di tanah pertanian ini terdapat 2300 pohon zaitun, anggur, kurma, dan buah badam.
-  Membangun sebuah tempat suci di daerah Selatan. Areal tersebut luasnya 122 dunum, terdapat 350 pohon zaitun dan tanah pertanian ini akan dikembangkan terus-menerus dengan dana wakaf. Di samping daerah-daerah Tepi Timur, proyek wakaf bidang pertanian juga dilakukan di wilayah Tepi Barat antara lain pertanian pohon zaitun di al-Khalil (Hebron) yang memiliki tanah wakaf berupa tanah pertanian yang cukup luas.
Pelaksanaan kebijaksanaan Kementerian Wakaf tetap bersandar pada kebijaksanaan yang ada untuk mewujudkan tujuan wakaf yang telah dijelaskan dalam Undang-undang Wakaf. Adapun hasil yang sudah dicapai dari pengembangan wakaf yang dilakukan oleh Wizaratul Auqaf Kerajaan Yordania antara lain adalah :
(1)            Membuka beberapa lembaga pendidikan tinggi antara lain Fakultas Da'wah, Ushuluddin dan Syari'ah.
(2)            Mendirikan beberapa lembaga pendidikan di Aman dan Yerusalem serta Qalqiiliyyah, Khalil, Nablus dan Junain.
(3)            Mendirikan 53 tempat belajar al-Qur'an dan al-Hadis,
(4)            Mengalokasikan dana wakaf pada madrasah, rumah-rumah yatim Islam yang mengajarkan keterampilan
(5)            Mendirikan percetakan mushaf al-Qur’an dan percetakan di Amman yang mencetak barang-barang cetakan yang diperdagangkan.
(6)            Mendirikan kurang lebih 250 perpustakaan di mesjid-mesjid dan kota-kota kerajaan.
(7)            Setiap tahun Kementerian memberikan beasiswa untuk belajar di Universitas Yordania.
(8)            Mendirikan lima kantor (semacam Islamic Centre) di kota-kota kerajaan.
(9)            Memberikan bantuan kepada rumah sakit, membantu fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan.
(10)        Menerbitkan majalah Islam di Amman, serta menerbitkan buku-buku agama.
(11)        Mendirikan dua lembaga yang cukup penting , yakni lembaga Arkeologi Islam dan lembaga peninggalan-peninggalan Islam. Bagian Arkeologi Islam bertugas untuk mengurusi dan menjaga beberapa dokumen-dokumen yang berkenaan dengan benda-benda tidak bergerak dan tradisi-tradisi Islam. Adapun lembaga Peninggalan Islam bertugas menghidupkan kembali peninggalan-peninggalan Islam. Sedangkan tugas utamanya adalah mengumpulkan manuskrip-manuskrip Islam yang ada pada masa kejayaan Islam. Selain itu, lembaga tersebut juga berkewajiban membuktikan keaslian naskah-naskah, memperbaiki, dan menyusunnya.
Pengelolaan wakaf di Kerajaan Yordania berdasarkan pada Undang-undang Wakaf Islam No. 25 tahun 1947.[9] Dalam Undang-undang Wakaf tersebut disebutkan bahwa yang termasuk dalam urusan Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam adalah wakaf masjid, madrasah, lembaga-lembaga Islam, rumah-rumah yatim, sekolahan-sekolah, lembaga-lembaga syariah, kuburan-kuburan Islam, urusan-urusan haji dan urusan-urusan fatwa. Dalam Pasal 3 Qanun Wakaf No. 26 Tahun 1966 disebutkan juga tujuan Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam yang antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Memelihara masjid dan harta wakaf serta mengendalikan urusan-urusannya.
2.      Mengembangkan masjid untuk menyampaikan risalah Nabi Muhammad SAW dengan mewujudkan pendidikan Islam.
3.      Membakar semangat jihad dan menguatkan jiwa Islam serta meningkatkan kualitas keimanan.
4.      Menumbuhkan akhlak Islam dan menguatkannya dalam kehidupan kaum Muslimin.
5.      Menguatkan semangat Islam dan menggalakkan pendidikan agama dengan mendirikan lembaga-lembaga dan sekolah untuk menghafal al-Quran.
6.      Menyosialisasikan budaya Islam, menjaga peninggalan Islam, melahirkan kebudayaan baru Islam dan menumbuhkan kesadaran beragama.[10]
Untuk melaksanakan tugasnya, Kementerian Wakaf membentuk Majelis Tinggi Wakaf yang diketuai oleh Menteri. Majelis Tinggi Wakaf, menetapkan usulan-usulan yang ada di Kementerian yang berasal dari Direktur Keuangan, kemudian Menteri membawanya kepada Dewan Kabinet untuk mendapat pengesahan. Dalam menjalankan tugasnya, Kementerian Wakaf selalu bersandar pada Undang-undang No. 26 Tahun 1966. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa yang berwenang mengelola harta wakaf dan mengendalikannya adalah Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam. Dalam memegang kekuasaannya itu Kementerian Wakaf di samping bersandar pada undang-undang wakaf juga harus bersandar pada peraturan-peraturan wakaf yang lain.
Kementerian Wakaf diberi wewenang untuk membelanjakan hasil pengembangan wakaf sesuai dengan rencana-rencana yang telah digariskan oleh Direktorat Keuangan. Pada tahun 1984, pendapatan yang dihasilkan dari pengembangan wakaf kurang lebih sebagai berikut:
1.      Hasil sewa diperkirakan mencapai 680 ribu dinar Yordania.
2.      Pendapatan yang berasal dari tempat-tempat suci mencapai 120 ribu dinar Yordania.
3.      Pendapatan pabrik, rumah-rumah yatim dan industri di Yerusalem mencapai kurang lebih 80 ribu dinar Yordania.
4.      Pendapatan lain yang bermacam-macam kira-kira mencapai 160 ribu dinar Yordania.[11]
Pada tahun 1984 seluruh pendapatan dari pengembangan wakaf berjumlah 1,030 juta dinar Yordania. Dalam membelanjakan uang tersebut Kementerian Wakaf juga harus memperhatikan pemeliharaan dan perbaikan tanah-tanah wakaf. Untuk menunjang tugas kementerian itu, maka didirikan Direktorat Pembangunan dan Pemeliharaan Wakaf Islam dengan beberapa proyek. Proyek-proyek yang dibangun cukup banyak dan meliputi wilayah Tepi Timur dan Tepi Barat. Adapun proyek yang dilaksanakan di Tepi Timur antara lain adalah pembangunan kantor-kantor wakaf di Amman dengan biaya 80.000 (delapan puluh ribu) dinar Yordania; pembangunan apartemen hunian di Amman dengan biaya 85 ribu dinar dan beberapa proyek lainnya. Proyek yang dilaksanakan di Tepi Barat antara lain adalah kantor-kantor, pertokoan, dan pusat perdagangan di tanah-tanah wakaf. Biaya pembangunan yang dilakukan baik di wilayah Tepi Barat maupun Tepi Timur tersebut diperkirakan menelan biaya 700 ribu dinar. Agar proyek dapat berjalan dengan baik, di Kementerian Wakaf juga dibentuk lembaga khusus yang bertugas melakukan studi kelayakan terhadap rencana-rencana pengembangan tanah wakaf. Kebijaksanaan dari pemerintah ternyata sangat membantu berkembangnya pengelolaan wakaf. Hal ini terbukti dengan berhasilnya pengelolaan wakaf di Yordania. Bahkan Wizarat al-Auqaf mampu ikut serta dalam meningkatkan peranan wanita dalam pembangunan. Kementerian Wakaf mengelola wakaf dengan mengutamakan perlengkapan administrasi wakaf yang memadai sesuai saran para ahli. Untuk mencapai tujuan yang diharapkan Kementerian Wakaf mempergunakan berbagai cara. Adapun cara-cara pengembangan wakaf yang dilakukan Kementerian Wakaf antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Mengembangkan hasil harta wakaf itu sendiri.
2.      Menyewakan tanah-tanah wakaf dalam waktu yang lama.
3.      Kementerian Wakaf meminjam uang kepada pemerintah untuk membangun proyek-proyek pembangunan tanah wakaf yang ada di kota Amman, Aqabah dan lain-lain.
4.      Menanami tanaman-tanaman di tanah pertanian.[12]

6.  Brunei Darussalam
Negara Brunei Darussalam menyerahkan segala urusan mengenai wakaf kepada Majlis Ugama Islam yaitu berdasarkan peruntukan undang-undang yang tercantum dalam Undang-Undang Negara Brunei Darussalam yaitu Akta Majelis Ugama Islam dan Mahkamah-Mahkamah Kadi Penggal 77 dalam bab 98 dan 100.[13]
a.    Sistem perwakafan
Sistem perwakafan di Brunei Darussalam terbagi menjadi dua bentuk, yaitu:
1.      Sistem perwakafan terdaftar.
Sistem perwakafan seperti ini terjadi apabila seorang hamba Allah mewakafkan jenis-jenis harta tidak bergerak seperti tanah dan bangunan dengan menentukan pergantian nama pemilik secara yang sah menurut peraturan perundang-undangan. terhadap sistem perwakafan seperti ini contohnya tanah, apabila wakaf seseorang itu telah diterima, dilafalkan dan disahkan oleh pihak-pihak tertentu, maka urusan penggantian hak milik tanah dari orang yang berwakaf kepada Majlis ugama Islam akan diselesaikan oleh Majlis Ugama Islam selaku pihak yang akan mengurus harta wakaf.
2.      Sistem perwakafan tidak terdaftar.
a)      Sistem perwakafan serupa ini terjadi di Negara Brunei Darussalam apabila seorang hamba Allah mewakaf sesuatu kepada pihak-pihak tertentu seperti uang, kelengkapan peralatan dan lain-lain secara tidak bertulis hanya dilafalkan secara lisan saja. Timbang terima kedua belah pihak diperlukan secara lisan apabila kedua belah pihak bersetuju untuk memberi dan menerima harta yang diwakafkan.
b)      Kadang-kadang perwakafan itu dapat juga terjadi tanpa diketahui oleh pihak kedua yaitu orang yang menerima harta wakaf tersebut. Contohnya seorang hamba Allah mewakafkan sebuah Al-Quran di masjid tanpa diketahui oleh pegawai dan pengurus masjid.
b.    Jenis-jenis wakaf
1.      Wakaf khas
Wakaf khas adalah merupakan wakaf yang telah ditentukan sendiri oleh seorang yang berwakaf. Contohnya sebidang tanah telah diwakafkan oleh seorang hamba Allah dan tanah yang diwakafkannya itu telah ditentukannya untuk kegunaan-kegunaan tertentu misalnya untuk didirikan masjid. Oleh yang demikian wakaf serupa ini adalah dinamakan Wakaf Khas.
2.      Wakaf ‘am
Wakaf am pula adalah merupakan wakaf yang tidak ditentukan secara khusus kegunaannya oleh orang yang berwakaf. Bagi wakaf jenis ini Majlis Ugama Islam adalah bebas untuk menentukan tindakan-tindakan yang patut dibuatnya ke atas harta wakaf jenis ini.
c.    Institusi yang mengurusi wakaf dan prosedur berwakaf.
Institusi yang dipertanggungjawabkan di Negara Brunei Darussalam dalam mengurus persoalan harta wakaf secara terdaftar adalah Majlis Ugama Islam. Pengurusan yang dijalankan adalah harus berdasarkan jenis wakaf yang dilafazkan oleh orang yang berwakaf. Perlaksanaan awal atau prosedur yang akan dilakukan oleh pihak yang berwakaf adalah seperti berikut:
1)      Mengantar surat permohonan untuk berwakaf.
2)      Apabila wakaf diterima, dapat melafazkan wakaf di hadapan Hakim.
3)      Disampaikan ke Jabatan Tanah.
4)      Perlaksanaan wakaf oleh pihak-pihak berkenaan mengikut jenis wakaf yang dilafazkan.
Terhadap wakaf yang tidak terdaftar, pengurusannya diserahkan kepada pihak yang diberikan atau menerima harta wakaf tersebut. Misalnya sebuah masjid menerima wakaf 100 kitab suci Al-Quran, maka masjid itu sendiri yang akan mengurus segala hal yang berkaitan dengannya.[14]

7.      Malaysia
Negara Malaysia merupakan sebuah negara yang mempunyai potensi untuk menjadi negara maju dengan membangun, mewujudkan dan mengukuhkan institusi wakaf. Pelaksanaan wakaf di negara ini pada umumnya tidak jauh berbeda dibanding dengan negara-negara muslim yang lain seperti di negara Mesir, Kuwait, Turki dan Morocco. Di negara-negara Afrika dan Asia Barat seperti di Mesir, Kuwait dan Morocco telah diwujudkan kementerian wakaf untuk men-tadbir harta-harta wakaf. Dari dana wakaf, masjid-masjid didirikan, berbagai aktivitas keislaman dilaksanakan secara terencana.
Praktek pelaksanaan ibadah wakaf di Malaysia mulai subur dan berkembang pada tahun 1800an yang dipelopori oleh para pedagang Malaysia.[15] Dan kini pelaksanaannya dilakukan dengan pembangunan pondok-pondok pengajian agama secara tradisional yang mempengaruhi masyarakat setempat untuk mewakafkan harta mereka. Walaupun begitu dalam konteks zaman sekarang, ibadah tersebut telah diperluas, terutama dalam mendirikan rumah sakit wakaf yang memberi biaya yang relatif rendah. Di samping itu, wakaf juga memegang peranan penting dalam pembangunan rumah-rumah anak yatim serta pembiayaan yang diperlukan untuk pendidikan mereka. Dalam hal ini yang berwenang mengurus wakaf dan masalah keagamaan lainnya adalah Majelis Agama Negeri.
Dengan demikian perwakafan di Malaysia tidak terbatas hanya dalam bentuk pembangunan masjid semata-mata. Salah satu contoh pengelolaan wakaf di Malaysia adalah peranan YADIM yang bertugas mengelola skim wakaf berdasarkan konsep pelaksanaan wakaf menurut Islam.
YADIM telah menawarkan 14 juta saham wakaf yaitu harga keseluruhan Pusat Latihan YADIM di Semungkis, Hulu Langat. Saham Wakaf ini ditawarkan kepada masyarakat umum dengan harga RM1 sesaham. YADIM juga membeli bangunan di pusat-pusat perdagangan strategis untuk meneruskan skim wakaf. Dengan cara ini, masyarakat Islam Malaysia memiliki bangunan perdagangan yang dapat disewakan kepada pedagang-pedagang Islam dengan harga sewa yang relatif rendah. Dengan cara demikian, mereka dapat bersaing dengan pedagang-pedagang lain, dalam upaya melibatkan peranan umat Islam di Malaysia dalam perdagangan global.
Di samping itu, di daerah bagian Malaysia lainnya seperti di Labuhan Aceh, peranan Majlis Agama Islam Pulau Pinang (MAIPP) dalam menangani harta wakaf sangat penting. MAIPP memiliki harta yaitu 1,000 lot serta 520 hektar tanah wakaf atau baitulmal.
Skim Wakaf di Pulau Penang, dilaksanakan melalui sumbangan setiap orang muslim Pulau Penang dengan ringgit ke dalam Dana Wakaf sekurang-kurangnya RM5.00. Dana yang dikumpulkan itu dibelikan kepada benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan dan proyek yang boleh mendatangkan manfaat kepada umat Islam.
Secara ringkas, Skim Dana Wakaf Pulau Pinang adalah salah satu bentuk wakaf dan asas-asasnya masih mengikut konsep asal wakaf.
Dalam konteks ini, skim dana wakaf mementingkan kebajikan umum. Dengan cara demikian, wakaf tersebut boleh dipergunakan untuk berbagai tujuan kebajikan dan pembangunan umat Islam.





[1] Achmad Djunaidi dan Thobib Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif cet. III (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006), h. 35
[2] Ibid., h. 35
[3] Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Depag RI, 2006), h. 22-23
[4] Ibid., h. 21
[5] Achmad Djunaidi dan Thobib Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif cet. III (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006), h. 34
[6] Muhammad Abdul Manan, Teori dan Praktek Perekonomian Islam, diterjemahkan oleh M. Nastagin, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993), h. 385.
[7] wakaf-di-berbagai-negara-muslim-dan.html@candraboyseroza.blogspot.com, diunduh pada 02 Mei 2012 pukul 15.15 WIB.
[8] Achmad Djunaidi dan Thobib Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif cet. III (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006), h. 41
[9]Ibid.,  h. 37
[10] Ibid., h. 38
[11] Ibid., h. 39
[12] Ibid., h. 40
[13]wakaf-di-berbagai-negara-muslim-dan.html@candraboyseroza.blogspot.com, diunduh pada 02 Mei 2012 pukul 15.15 WIB.
[14] wakaf-di-berbagai-negara-muslim-dan.html@candraboyseroza.blogspot.com, diunduh pada 02 Mei 2012 pukul 15.15 WIB.
[15] Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Depag RI, 2006), h. 19.

KHULU'


A.    Pengertian Khulu’
Kata “khulu’” itu dengan dlommah “kha’, dan sukun “lam”nya, (khulu’),  ialah menceraikan isteri dengan pembayaran dan kehendak isteri. Kata itu diambil dari kata  خلع-يخلع-خلعا(mencopot, menanggalkan). Misalanya: Khala’ats Tsauba (menanggalkan atau melepas pakaian), karena sesungguhnya isteri adalah sebagai pakaian suami menurut pengertian majaz.[1] Dalam firman Allah Q.S. Al-Baqarah (2):187 :
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
Khulu’ disebut juga al-fida’ yaitu tebusan, karena isteri menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa yang pernah diterimanya.[2] Dengan adanya tebusan tersebut maka isteri melepaskan diri dari ikatan suaminya.
Secara istilah, ada beberapa pengertian khulu’ yang dikemukakan para ulama’.
As-San’any dalam kitabnya Subul as-Salam merumuskan khulu’ dengan:
فراق الزوجة على مال
“ Diceraikannya isteri atas pembayaran suatu harta”[3]
Ulama Hanabilah seperti disebutkan oleh al-Jaziry mendefinisikan khulu’ dengan:
فراق الزج امراته بعوض ياءخذه الزوجرمن امرااته اوغيرها بالفاظ مخصوصة
“Suami menceraikan isterinya dengan suatu iwad yang diterima suami dari isteri atau orang lain dengan ucapan tertentu.”
Khulu’ hanya dapat diminta dalam keadaan yang luar biasa, tidak diperkenankan dengan alasan yang lemah.
 قا ل رسول لله عليه وسلم ايما امراة سالت زوجها الطلاق من غيرياس وحرام را ئحة الجنة
Nabi telah bersabda: “Wanita manapun yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan maka diharamkan baginya semerbak surgawi”.
Khulu’ makruh hukumnya kecuali ada kekhawatiran bahwa ketentuan-ketentuan yang telah diciptakan Allah tak akan dapat ditunaikan kalau tidak dengan melepaskan diri ini (bercerai). Sedangkan menurut Al-Dasuqi, khulu’ hukumnya mubah bukan makruh.[4]

B.     Dasar Hukum Khulu’
Kehidupan rumah tangga suami-isteri hanya tegak berdiri atas dasar ketentraman, ketenangan, saling mencintai, saling menyayangi, saling mempercayai, bergaul dengan sebaik-baiknya dan masing-masing pihak menunaikan kewajibannya dengan ikhlas, jujur, dan pengabdian. Sesuai dengan prinsip-prinsip perkawinan yaitu musyawaroh dan demokrasi, menciptakan rasa aman dan tenteram dalam keluarga, menghindari adanya kekerasan, hubungan suami isteri sebagai hubungan partner, dan keadilan. Apabila timbul kekurang senangan dari salah satu pihak baik suami maupun isteri, syari’at islam menasihati agar suami dan isteri selalu berusaha mengobati hal-hal yang menjadi sebab kekurang senangan satu terhadap yang lain. Allah berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya: Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (Q.S. An-Nisa’ (4): 19).
Namun  kebencian terkadang semakin membesar, perpecahan semakin sangat, penyelesaian menjadi sulit, kesabaran menjadi hilang, hak-hak telah terabaikan, prinsip-prinsip perkawinan sudah tidak dijalankan lagi. Sehingga kehidupan suami isteri menjadi sedemikian porak porandanya dan sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Maka pada saat yang demikian inilah, syari’at Islam memberikan jalan keluar agar kehidupan rumah tangga tidak semakin hancur lebur. Jika kebencian adanya pada pihak isteri maka Islam membolehkan dirinya menebus dirinya dengan jalan khulu’ yaitu mengembalikan mahar kepada suaminya agar mengakhiri ikatan sebagai suami-isteri.  Kebolehan khulu’ ini disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah: ayat 229:
وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang lalim. (Q.S. al-Baqarah (2): 229).
Ayat di atas merupakan dasar hukum kebolehan khulu’ dan penerimaan ‘iwad oleh suami. Pengambilan tebusan oleh suami terhadap isterinya , seperti suami dalam perkawinan telah memberikan mahar, membiayai biaya perkawinan, dan memberikan nafkah kepadanya . Tetapi tiba-tiba isteri membalasnya dengan minta pisah. Karena itu adalah suatu keadilan  jika isteri harus mengembailkan apa yang pernah diterimanya itu.
Adapun dasar hukum khulu’ dari hadis, antara lain :
َعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- ( أَنَّ اِمْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعِيبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ , وَلَكِنِّي أَكْرَهُ اَلْكُفْرَ فِي اَلْإِسْلَامِ , قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم  أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ ? , قَالَتْ : نَعَمْ  قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم  اِقْبَلِ اَلْحَدِيقَةَ , وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً )  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ : ( وَأَمَرَهُ بِطَلَاقِهَا )

Artinya: dari ibnu abbas r.a. sesungguhnya isteri tsabit bin qais datang menghadap Nabi saw. Seraya berkata : Ya Rasulluah , tsabit bin qais itu tidak ada yang saya cela akhlaknya dan agamanya. Akan tetapi , saya tidak mau khufur dalam islam.lalu Rasulullah bersabda: apakah kamu mau mengembalikan kebunnya? Dia menjawab: ya, lalu Rasulullah saw. Bersabda: terimalah kebun itu dan talaklah satu kali.
Menurut riwayat Abu Daud dan At Tirmizi dari ibnu Abbas juga, yang dinilai hasan oleh At Tirmizi: sesungguhnya isteri tsabit bin qais itu melakukan khuluk dari suaminya itu, lalu nabi saw. Menetapkan iddahnya sekali haid. Ucapan “ saya tidak mau kufur dalam islam” itu maksudnya: saya tidak mau tinggal bersama sabit karena saya takut terjerumus dalam suatu perbuatan yang mengakibatkan saya menjadi kafir. Maksudnya pembangkangan terhadap suami.
Kata “kebunnya” menurut suatu riwayat bahwa Nabi saw. Bertanya demikian itu karena sesungguhnya tsabit mengawini isterinya itu dengan maskawin kebun kurma.
Dalam hadis tersebut terkandung dalil adanya syariat khulu’ dan sahnya khulu’ itu, dan sesungguhnya khalal pengambilan ihwal dari bekas isterinya itu.[5]
Para ulama berbeda pendapat apakah untuk sahnya khulu’ disyaratkan isteri harus nusyuz atau tidak. Ulama Dhahiriyah berpendapat untuk sahnya khulu’ isteri harus nusyuz, sebagaimana isteri Tsabit bin Qais dalam hadis di atas yang meminta cerai, berarti ia nusyuz, juga berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah:229 “Kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah” dan berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa’: 19 “terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata”.
Imam Syafi’I, Abu Hanifah, dan kebanyakan fuqaha berpendapat bahwa khulu’ itu sah dilakukan meskipun isteri tidak dalam keadaan nusyuz dan khulu’ sah dengan saling kerelaan dalam keadaan lurus dan ‘iwad itu halal bagi suami, berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 4:
فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Artinya: Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q.S. an-Nisa’ (4): 4).

C.     Ucapan  Khulu’
Mengenai ucapan atau lafadl khulu’ para ulama terbagi kepada dua kelompok. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa untuk sahnya khulu’ haruslah diucapkan dengan menggunakan kata khulu’ atau kata yang diambil dari kata khulu’ atau kata lain yang mempunyai arti seperti khulu’, umpamanya mubara’ah (membebaskan) atau fidyah (tebusan). Apabila tidak dengan kata khulu’ atau kata yang tidak bermakna khulu’ maka tidak termasuk khulu’, seperti suami berkata: “engkau tertalaq (anti taliqun)” sebagai imbalan barang/uang seharga …., lalu isteri mau menerimanya. Maka perbuatan ini adalah talak dengan imbalan harta. Talaknya jatuh tetapi uangnya bukan khulu’.
Ibnul Qayim membantah pendapat di atas, ia mengatakan: barangsiapa mau memikirkan hakekat dan tujuan aqad atau perjanjian, bukan hanya melihat kata-kata yang diucapkan saja, tentu akan menganggap khulu’ sebagai fasakh, walaupun diucapkan dengan kata apapun juga,  dengan kata talaq sekalipun.   Alasannya, bahwa dalam kasus isteri Tsabit bin Qais, Nabi menyuruh Tsabit bin Qais mentalak isterinya secara khulu’ dengan sekali talak dan Nabi menyuruh isteri Tsabit beriddah dengan satu kali haid. Hal ini secara jelas menunjukkan fasakh, sekalipunterjadinyaperceraian dengan ucapan talak. Allah juga menghubungkannya dengan fidyah, karenamemangadatebusannya.Sudah maklum bahwa fidyah tidak mempunyai pernyataan dengan kata-kata khusus dan Allah tidak menetapkan  lafadh yang khusus untuk itu. Thalaq dengan tebusan sifatnya terbatas, dan tidak tergolong kedalam hukum thalaq yang dibolehkan ruju’ kembali dan beriddah dengan tiga kali masa bersih hadits seperti ketentuan sunnah yang sah.[6]
D.    ‘Iwad Khulu’
Dalam hadis Tsabit bin Qais, Nabi memerintahkan agar isterinyaTsabit mengembalikan mahar yang berupa kebun kepada suaminya ketika ia minta diceraikan dari suaminya dan kepada Tsabit, Nabi meminta agar menerima pengembalian mahar tersebut. Permasalahannya apakah ‘iwad itu dibatasi sebesar mahar atau sesuatu barang yang pernah diberikan suami kepada isterinya dan tidak boleh lebih dari itu ataukah suami boleh meminta lebih dari yang pernah diberikannya.
Sebagian ulama berpendapat, bahwa suami tidak boleh menerima iwad melebihi dari mahar yang diberikannya. Alasannya karena dalam hadis riwayat ad-Daruqutni dari Abu Zubair disebutkan bahwa Abu Zubair memberikan mas kawin kepada isterinya sebidang kebun, kemudian isterinya minta cerai, Nabi memerintahkan kepada isteri Abu Zubair agar mengembalikan kebun (mahar) tersebut, dan isterinya mau bahkan dengan tambahan
(نَعَمْوَزِيَادَةً ), Nabi mengatakan: tambahannya tidakboleh(اَمَّاالزِّيَادَةُفَلاَ ).
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa uang khulu’ itu boleh  lebih dari mahar atau melebihi dari apa yang pernah diberikan suami kepada isterinya. Mereka berpegangan kepada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 229:فَلَاجُنَاحَعَلَيْهِمَافِيمَاافْتَدَتْبِه .Ayat ini umum meliputi tebusan sedikit atau banyak.
Menurut fuqaha Syafi’iyah, iwad dari isteri itu boleh lebih besar dari mahar yang diterimanya, boleh berupa barang atau manfaat (termasuk jasa), boleh tunai dan boleh dihutang. Segala yang dapat dijadikan mahar dapat pula dijadikan iwad. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat  229: “فَلَاجُنَاحَعَلَيْهِمَافِيمَاافْتَدَتْبِه
Perbedaan pendapat di atas adalah berkaitan dengan perbedaan mengenai boleh tidaknya mentakhsis al-Qur’an dengan Hadis Ahad. Bagi yang tidak memperbolehkan ayat al-Qur’an ditakhsis dengan hadis ahad, mengatakan “boleh menerima iwad melebihi mahar”. Bagi yang yang memperbolehkan hadis ahad mentakhsis keumuman ayat, mengatakan “iwad tidak boleh melebihi mahar”. IbnuRusyd mengatakan: “orang yang menyamakan tebusan dengan iwad dalam muamalah pada umumnya, berpendapat bahwa besarnya iwad itu menurut kerelaan.  Orang yang hanya memegangi teks hadis, berpendapat iwad tidak boleh melebihi mahar, sebab dianggap mengambil yang bukan haknya.[7]
Baik yang berpendapat iwad itu tidak boleh melebihi besarnya  mahar atau boleh lebih besar dari mahar, kesemuanya sepakat bahwa tidak boleh menyakiti isteri agar ia mau menebus dirinya. Perbuatan demikian diharamkan agar tidak terjadi perceraian dari suami dengan perampasan harta. Allah berfirman:
تَأْخُذُونَهُنْأَرَدْتُمُاسْتِبْدَالَزَوْجٍمَكَانَزَوْجٍوَءَاتَيْتُمْإِحْدَاهُنَّقِنْطَارًافَلَاتَأْخُذُوامِنْهُشَيْئًاأَوَ
بُهْتَانًاوَإِثْمًامُبِينًا
Artinya: ” Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka  janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?”.[8]
E.     Akibat Cerai dengan Khulu’
Jumhur ulama, termasuk imam mazhab empat berpendapat bahwa apabila terjadi khulu’, maka istri berkuasa atas dirinya dan perkara sepenuhnya terserah dia, serta tidak ada lagi haknya suami terhadapnya. Hal ini disebabkan istri telah mengeluarkan iwadh untuk melepaskan dirinya dari ikatan suami istri. Sekalipun suami bersedia mengembalikan tebusan istrinya, suami tetap tidak berhak meruju’ istrinya selama masa iddah.
Pendapat lain muncul dari riwayat Sa’id bin Musayyab dan Az-Zuhri (guru Imam Malik). Bahwa jika bekas suami ingin merujuk istri kembali maka ia harus mengembalikan tebusan yang diambil dari istrinya dalam masa iddahnya dan hendaklah disaksikan oleh orang lain ruju’nya itu. Namun pendapat Jumhur lebih rajih, karena kalau suami berhak meruju’ istri, maka tidak ada artinya tebusan istri terhadap suaminya.
Apabila suami ingin kembali kepada istri yang mengkhulu’nya hal ini diperbolehkan, asalkan sang istri setuju dan dilakukan dengan akad nikah yang baru.
Dalam KHI bagian kelima Pasal 161 bahwa perceraian dengan jalan khulu’ mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk.
F.     Khulu’ itu Talak atau Fasakh
Para fuqaha berbeda pendapat apak khulu’ itu termasuk talak atau fasakh? Jumhur ulama berpendapat bahwa khulu’ itu termasuk talak ba’in sebagaimana disebutkan dalam hadis : اقبل حديقة و تطلقها تطليقة .  Dalam hadis ini Nabi menyuruh agar mencerai istri dengan talak satu.
Sebagian fuqaha, seperti Ahmad bin Hanbal, Dawud ad-Dahiri, dan dari kalangan sahabat : Usman bin Affan, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, berpendapat bahwa khulu’ itu fasakh bukan talak.
Menurut Ibnnu Qayim, khulu’ itu fasakh bukan talak. Ada riga alasan yang menunjukkan bahwa khulu’ itu bukan talak :
Pertama, dalam talak suami berhak meruju’ istrinya, sementara dalam khulu’ suami tidak boleh meruju’ istrinya.
Kedua, kalau suami menjatuhkan talak yang ketiga kalinya ia tidak boleh kembali kepada istrinya, kecuali setelah istri nikah dengan laki-laki lain. Menurut mash bahwa khulu’ boleh dilakukan setelah talak yang kedua kali dan sesudah itu masih bisa menjatuhkan talak yang ketiga.
Ketiga, iddah talak ialah tiga kali quru’, sementara iddah quru’ adalah satu kali haid[9]
Perbedaan pendapat di atas berpengaruh terhadap jumlah talak yang dimiliki suami. Bagi yang berpendapat bahwa khulu’ termasuk talak, ia akan mengurangi jumlah talak, sedangkan bagi yang tidak memasukkan sebagai talak, maka tidak akan mengurangi talak yang dimiliki.
G.    Iddah Istri yang Dikhulu’
Dalam hadis riwayat an-Nasai’ dari Muawidz bin ‘Afra’ mengenai khulu’nya istri Tsabit bin Qais :
خذ الذي لها عليك و خل سبيلها قال نعم فامرها رسول الله صلى الله عليه وسلم انتتربص حيضة وا حدة فتلحق با هلها       (رواه النسا ء)
Ambillah miliknya untukmu dan mudahkanlah urusannya. Tsabit menjawab : ya. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan istri Tsabit beriddah satu kai haid dan dikembalikan kepada keluarganya.
Menurut hadis di atas bahwa iddahnya istri yang dikhulu’ itu hanya satu kali haid. Demikianlah pendapat Usman bin Affan, Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih (guru Imam Bukhari), Ibnu Taimiyah. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa iddahnya istri yang dikhulu’ ialah tiga kali quru’ kalau mereka masih haid.
Menurut Ibnu Taimiyah, dalam talak biasa iddah itu tiga kali quru’ adalah untuk memperpanjang masa ruju’, agar suami bisa berpikir panjang untuk dapat meruju’ istrinya dalam masa iddah. Sedangkan dalam khulu’ ruju’ itu tidak ada, maka iddahnya hanya satu kali haid, ssdimaksudkan hanya untuk membersihkan kandungan saja.









[1] Abu Bakar Muhammad, Terjemahan Subulussalam,(Surabaya:Al-Ikhlas, 1995) hlm. 598-599.
[2] Drs. Supriatna, Hj. Fatma Amalia, Yasin Baidi, Fiqh Munakahat II, (Yogyakarta: Bidang Akademik) hlm. 48.
[3] As-San’ani, Subul as-Salam, Ttp.: Daar al-Fikr, t.t.,III:166.
[4] Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta:PT. Rineka Cipta, 1992) hlm. 110.
[5] Abu Bakar Muhammad, Terjemahan Subulussalam III,(Surabaya:Al-Ikhlas, 1995) hlm. 600-601.
[6]As-SayidSabiq, Fiqhu as-Sunnah, II: 253-254.
[7]Ibid., II: 254-256

[8]QS an-Nisa’ (4): 20
[9] As-Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah 8, hlm. 111


PENYERTAAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

Perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dalam hukum pidana Islam dapat dijelaskan menggunakan teori penyertaan yang sama halnya de...