1.
Saudi
Arabia
Untuk
memperkuat kedudukan harta wakaf, Pemerintah Saudi Arabia membentuk Kementerian
Haji dan Wakaf. Kementerian ini mempunyai kewajiban mengembangkan dan
mengarahkan wakaf sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh wakif.
Untuk itu Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia membuat peraturan bagi Majelis
Tinggi Wakaf dengan ketetapan No. 574 tanggal 16 Rajab 1386 sesuai dengan Surat
Keputusan Kerajaan No. M/35, tanggal 18 Rajab 1386.[1]
Majelis
Tinggi Wakaf diketuai oleh Menteri Haji dan Wakaf, yakni Menteri yang
me-ngawasi wakaf dan menguasai permasalahan-permasalahan perwakafan sebelum
dibentuk Majelis Tinggi Wakaf. Adapun anggota Majelis Tinggi Wakaf terdiri atas
wakil Kementerian Haji dan Wakaf, ahli hukum Islam dari Kementerian Kehakiman,
wakil dari Kementerian (Departemen) Keuangan dan Ekonomi, Direktur Kepurbakalaan
serta tiga anggota dari kalangan cendekiawan dan wartawan.
Majelis
Tinggi Wakaf mempunyai wewenang untuk membelanjakan hasil pengembangan wakaf
dan menentukan langkah-langkah dalam mengembangkan wakaf berdasarkan
syarat-syarat yang ditentukan wakif dan manajemen wakaf. Di samping itu Majelis
Tinggi Wakaf juga mempunyai beberapa wewenang, antara lain:
(1) melakukan pendataan wakaf serta menentukancara-cara
pengelolaannya.
(2)
menentukan langkah-langkah umum untuk penanaman modal, pengembangan dan peningkatan
harta wakaf
(3)
mengetahui kondisi semua wakaf yang ada. Langkah ini dilakukan untuk menguatkan
kedudukannya sebagai lembaga yang menguasai permasalahan wakaf serta untuk
mencarijalanpemecahpnnya
(4)
membelanjakan harta wakaf untuk kebajikan menurut syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh wakif dan sesuai dengan Syariat Islam
(5)
menetapkan anggaran tahunan demi kelangsungan wakaf dan mendistribusikan hasil
pengembanngan tersebut menurut pertimbangan-pertimbangan tertentu
(6)
mengembangkan wakaf secara produktif dan mengumumkan hasil wakaf yang sudah
dikeluarkan oleh pemerintah.[2]
Wakaf
yang ada di Saudi Arabia bentuknya bermacam-macam seperti hotel, tanah,
bangunan (rumah) untuk penduduk, toko, kebun, dan tempat ibadah. Dari
macam-macam harta wakaf tersebut ada yang diwakafkan untuk dua kota suci, yakni
kota Makkah dan Madinah. Pemanfaatan hasil wakaf yang utama adalah untuk
memperbaiki da membangun wakaf yang ada agar wakaf tersebut kekal dengan tetap
melaksanakan syarat-syarat yang diajukan oleh wakif.
Khusus
terhadap dua kota suci yakni Makkah dan Madinah, pemerintah membantu dua kota
tersebut dengan memberikan manfaat hasil wakaf terhadap segala urusan yang ada
di kota tersebut. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengoptimalkan
pemanfaatan hasil pengembangan wakaf. Dari hasil pengelolaan harta wakaf itu
juga dibangun perumahan penduduk. Hal ini tidak berarti bahwa dana yang
dipergunakan untuk membangun dua kota suci tersebut hanyalah hasil pengembangan
wakaf saja, karena Arab Saudi di samping memiliki harta wakaf yang cukup banyak
juga memiliki kekayaan yang berlimpah dari hasil minyak yang mereka produksi.[3]
Proyek
pengembangan yang diutamakan oleh Kementerian Haji dan Wakaf adalah pembuatan
hotel-hotel di tanah wakaf yang terdapat di Makkah al-Mukarramah terutama yang
ada di dekat Masjid al-Haram. Proyek-proyek pengembangan wakaf lain yang juga
diutamakan adalah pembangunan perumahan penduduk di sekitar Masjid Nabawi. Di
kota ini juga dibangun toko-toko dan tempal-tempat perdagangan. Semuanya
ditujukan untuk membantu keperluan jamaah haji dan orang-orang yang pergi
melakukan ziarah ke Madinah.
Dari
data di atas jelas bahwa untuk menjaga wakaf agar tetap terpelihara serta
menghasilkan dana yang dapat dimanfaatkan bagi yang berhak, peranan pemerintah
sangat menentukan. Untuk itu perlu undang-undang atau peraturan yang berkenaan
dengan pemeliharaan serta pengembangan dan pendistribusian wakaf.
Di
samping perlu lembaga khusus yang bertugas untuk mengelola wakaf. Yang lebih
penting lagi kondisi perekonomian negara juga dapat mempengaruhi berhasil
tidaknya pengelolaan wakaf. Saudi Arabia sebagai wilayah yang jumlah wakafnya
cukup banyak dengan didukung perekonomian yang memadai mampu mengembangkan
harta wakaf dengan baik sehingga masyarakatnya terjamin kesejahteraannya dan
Kerajaan juga mampu menyediakan sarana dan prasarana bagi jamaah haji.
2. Mesir
Di
negeri ini wakaf telah berkembang dengan menakjubkan kerena memang dikelola
secara profesional. Pada awalnya, Hakim Mesir di zaman Hisyam bin Abd Malik
yang bernama Taubah bin Namirlah yang pertama kali melakukan wakaf yang pada
waktu itu berupa tanah untuk bendungan. Lalu beberapa puluh tahun kemudian
wakaf ditangani oleh salah satu departemen dalam pemerintahan. Meski begitu
masih juga ada masalah yang muncul dalam pengelolaannya, sehingga pemerintah
Mesir terus melakukan pengkajian untuk mengembangkan pengelolaan wakaf dengan
tetap berlandaskan syari’ah Islam.
Pada
masa Pemerintahan Muhammad Ali Pasya tahun 1891 M, perwakafan di Mesir tidak terurus
secara baik sehmgga tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi pembangunan
ekonomi Mesir. Wakaf pada masa tersebut menjadi asset yang terlantar. Hal itu
disebabkan konsentrasi pemerintahan Muhammad Ali Pasya terfokus pada upaya
mewujudkan stabilitas politik internal dalam negeri dalam rangka menghadapi
masuknya pasukan barat ke Mesir. Kendatipun adanya usaha meningkatkan
perekonomian Mesir, namun wakaf tetap secara terabaikan. Dia berusaha
mengembalikan tanah kepada petani sebelumnya yang diambil oleh negara.
Ironisnya, petani tetap saja berurusan dengan negara.
Keinginan
kuat untuk mengelola wakaf secara baik baru muncul pada masa pasca pemerintahan
Muhammad Ali Pasya. Usaha pertama yang dilakukan oleh pemerintah Mesir adalah
menertibkan tanah wakaf melalui penjagaan dan pemeliharaan serta diarahkan pada
tujuan kemaslahatan umum sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Selain itu, pemerintah juga memberikan perlindungan kepada para mustahiq.
Langkah selanjutnya yang dilakukan pemerintah adalah membentuk diwan al-waqf
yang menjadi cikal bakal departemen wakaf.[4]
Kendatipun
pemerintah Mesir telah membentuk satu departemen untuk mengelola wakaf secara
serius, tetapi ternyata persoalan lainnya muncul seperti tidak adanya rasa
keadilan yang ditetapkan oleh para pewakaf (wakif), pengawasan dan pengelolan
yang kurang profesional. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya tidak jarang
wakif dalam berwakaf tidak memperlihatkan rasa keadilan dalam masyarakat.
Karena pada saat itu belum ada aturan yang mengatur bagaimana hak dan kewajiban
wakif dan dengan pihak yang lain, sehingga terkesan aturan tersebut ditentukan
wakif sendiri, terutama yang berkaitan dengan orang-orang yang berhak menerima
harta wakaf tersebut. Kondisi demikian memunculkan sikap malas dan menurunkan
etos kerja sebahagian mustahiq. Sebagian dari penerima wakaf hanya
menggantungkan ekonominya dari wakaf itu saja, sehingga mereka malas untuk
bekerja dan menambah deretan pengangguran dalam masyarakat karena di antara
mereka tidak lagi punya etos kerja yang baik. Di samping itu, terdapat pula
para nazir yang menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan praktek riba.
Melihat
ketidakteraturan pengelolaan wakaf tersebut, beberapa kalangan masyarakat yang
memiliki perhatian pada persoalan wakaf mendesak pemerintah untuk segera
melakukan perubahan peraturan perundang-undangan wakaf. Pada tahun 1926
masyarakat mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada Dewan Perwakilan
Rakyat. Tetapi ide dan wacana yang dikembangkan itu justru mengundang polemik yang
panjang di kalangan masyarakat luas.
Pemerintah
akhirnya mensahkan undang-undang tersebut meskipun proses menuju pengesahan itu
membutuhkan waktu yang agak panjang. Pada tahun 1946 peraturan
perundang-undangan tentang wakaf menjadi sebuah kenyataan dan menjadi sebuah
putusan politik dengan dikeluarkannya undang-undang No. 48 tahun 1946 yang
isinya mencakup terjadinya wakaf dan syarat-syaratnya.
Pengesahan
undang-undang tersebut menjadi harapan baru bagi umat Islam Mesir untuk
mengelola asset wakaf. Akan tetapi ternyata setelah undang-undang tersebut
disahkan, persoalan muncul. Persoalan itu terlihat pada semakin tajamnya
perbedaan antara pemeritah dengan ulama, terutama yang berkaitan dengan
terjadinya wakal. Menurut undang-undang yang baru saja disahkan dijelaskan
bahwa wakif boleh menarik kembali harta yang telah diwakafkan ataupun
mengubahnya, tetapi tidak diperbolehkan untuk menarik wakaf untuk diri sendiri.
Wakaf jenis inilah yang terbanyak beredar di Mesir pada masa sebelumnya.
Misalnya, wakaf yang diberikan untuk kepentingan publik seperti masjid. Dalam
hal ini wakif tidak dibolehkan menarik kembali dan tidak boleh mengubahnya. Di
samping itu undang-undang ini juga memuat tentang berakhimya wakaf muaqqat
(wakaf yang dibatasi waktunya). Menurut undang-undang ini wakaf muaqqat hanya
terbatas pada wakaf ahli, sedangkan wakaf khari tidak dibatasi waktunya. Dalam
undang-undang ini juga dicantumkan tentang pihak-pihak yang berhak atas harta
wakaf, nazir, kekuasaan nazir atas harta wakaf dan pengembangannya.
Pada
tahun 1952 pemerintah melakukan revisi terhadap undang-undang ini dengan
mengeluarkan Undang-Undang No. 180 tahun 1952 yang berisi tentang penghapusan
peraturan wakaf ahli dengan disertai peraturan pelaksanaannya. Namun, di
dalamnya tidak dibahas bagaimana mekanisme pengawasan dan siapa yang
bertanggung jawab serta bagaimana prosedur membelanjakannya. Inilah kelemahan
pertama yang terdapat dalam undang-undang baru ini. Dengan kata lain,
undang-undang ini ternyata juga belum dapat menjawab persoalan dan subtansi
yang diinginkan oleh masyarakat.
Menyadari
hal yang demikian maka pada tahun yang sama pemerintah kembali mengajukan
rancangan undang-undang yang akhirnya disahkan menjadi sebuah produk hukum No.
247 tentang pengawasan terhadap wakaf khairi dan penertiban belanja
pemeliharaan harta wakaf. Di samping berisi tentang bagaimana pengawasan,
prosedur pembelanjaan, dan pemeliharaan harta wakaf, undang-undang ini juga
mengatur tentang kebolehan wizarat al-awqaf dengan persetujuan Majelis Tinggi
Wakaf, untuk menyalurkan apakah seluruh atau pun sebagian saja dan harta wakaf
jika wakif tidak menentukan penerima wakaf.
Pada
tahun 1957 pemerintah mengajukan lagi rancangan undang-undang wakaf yang baru
yang akhirnya disahkan menjadi sebuah Undang-Undang No. 30 tahun 1957. Melihat
ketentuan hukum yang ada dalam undang-undang ini, pada dasamya tidaklah banyak
memuat hal-hal yang baru, kecuali sekedar menyempumakan dan meluruskan
undang-undang sebelumnya. Adapun yang terbaru dari undang-undang ini hanyalah
menyangkut tentang pendirian rumah sakit yang berada di kota Kairo, Kemudian
pada tahun yang sama disusul dengan undang-undang (qanun) No. 152 tahun 1957
yang mengatur tentang penggantian tanah pertanian yang diwakafkan untuk tujuan
kebaikan.
Berkaitan
dengan pengaturan tentang penggantian tanah pertanian, pemerintah mengeluarkan
undang-undang tersendiri, yaitu undang undang No. 20 tahun 1957 yang memuat
tentang aturan lembaga perekonomian. Kemudian selanjutnya dilengkapi dengan
peraturan No. 51 tahun 1958, yang merupakan penyempurnaan dari undang undang
No. 152 tahun 1957. Dengan demikian sebagai negara yang mayoritas penduduknya
muslim secara terus menerus telah melakukan proses pematangan dan penyempurnaan
peraturan perundang-undangan wakaf dengan senantiasa merujuk kepada syari’at
Islam. Salah satu hasil dari proses ini ialah pada tahun 1971 pemerintah
berhasil membentuk suatu badan yang khusus menangani persoalan wakaf dan
pengembangannya yang disesuaikan dengan Qanun No. 80 tahun 1971. Badan ini
bertugas melakukan kerjasama dalam pengawasan dan memeriksa tujuan
undang-undang wakaf dan program wizarat al-awqaf.[5] Di
samping itu, badan ini juga diberi wewenang untuk mengusut dan melaksanakan
semua pendistribusian wakaf serta semua kegiatan yang sesuai dengan tujuan yang
telah ditetapkan.[6]
Dalam
rangka memudahkan dalam pelaksanaan undang-undang ini, maka pemerintah
membentuk struktur kepengurusan wakaf yang terdiri dari ketua badan atau
lembaga dan direktur umum. Direktur umum dibantu oleh tiga direktur umum lainnya,
yang membidangi harta benda dari pengembangan, bidang teknik (pengukuran) dan
bidang pertanian. Di samping itu, kepengurusan ini juga dibantu oleh empat
orang wakil menteri, yaitu kementerian pertanian, kementerian kependudukan dan
kementerian ekonomi serta kementerian perwakafan. Kemudian terdapat juga
penasehat dan majelis pengadilan tinggi yang dipilih oleh majelis dari seorang
ahli hukum Islam yang dipilih oleh menteri perwakafan. Adapun harta benda yang
dikelola oleh badan ini: pertama, harta yang dikhususkan oleh pemerintah untuk
anggaran umum, kedua, barang yang menjadi jaminan hutang, ketiga, hibah, wasiat
dan sedekah, keempat, dokumen, uang atau harta yang harus dibelanjakan dan
sesuatu yang sudah menjadi haknya untuk dikelola sesuai dengan Undang-undang
No. 70 tahun 1972. Kelima, hasil lain yang berguna untuk meningkatkan dan
mengembangkan harta wakaf.
Sebagai
negara yang sudah cukup lama mengelola harta wakaf, Mesir telah berhasil
mengembangkan wakaf untuk pengembangan ekonomi umat. Di antara faktor-faktor
yang menjadi pendukungnya adalah: Pertama, pihak pengelola wakaf menyimpan
hasil harta wakaf khair di bank sehingga dapat berkembang. Kedua, untuk
pembangunan ekonomi umat, pemerintah khususnya Departemen Perwakafan ikut
berpartisipasi dalam mendirikan Bank Syari’ah. Ketiga, Departemen Perwakafan
melakukan kerjasama dengan pihak lain sebagai penanam modal untuk pendirian
pabrik, rumah sakit Islam, pemeliharaan ternak, bank untuk perumahan dan
bangunan dan lain-lain. Keempat, Departemen Perwakafan mengelola tanah wakaf
yang kosong untuk dikelola secara produktif melalui pendirian lembaga lembaga
perekonomian, bekerja sama dengan perusahaan besi dan baja.
Di
samping itu, dalam rangka pengembangan wakaf departemen wakaf tidak hanya
menanamkan sahamnya dalam skala besar tetapi juga pada penanaman dalam skala
kecil. Misalnya, membantu permodalan usaha kecil dan menengah serta membantu
kaum dhuafa’, menjaga dan memelihara kesehatan masyarakat melalui pendirian
rumah sakit dan penyediaan obat-obatan dan poliklinik, mendirikan tempat-tempat
ibadah dan lembaga pendidikan serta ikut serta dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan.
3.
Pakistan
Sama
halnya dengan negara-negara muslim lainnya, di Pakistan pengelolaan wakaf
berada di bawah pengawasan departemen wakaf yang tersebar di berbagai propinsi.
Begitu pula halnya dengan aturan juga mengalami proses yang amat panjang.
Misalnya, sebelum tahun 1959 wakaf diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang berbeda. Menurut catatan Adiwarman A. Karim, ada lima
undang-undang yang mengaturnya, yaitu The Punjab Muslim Awqaf Act. 1951, The
Qanon-e Awqaf Islami, 1945 (sekarang propinsi Bahwalpur), The North West
Frontier Province Charitible Institution Act. 1949, The Musalman Waqf (Sind
Amandement) Act. 1959, The Musalman Waqf (Bombay Amandement) Act, 1935.
Tetapi
karena dalam pelaksanaanya undang-undang ini tidak dapat berlaku secara
efektif, dan bahkan tidak lagi relevan dengan perkembangan masyarakat, maka
pada tahun 1976 undang-undang tersebut diganti dengan Awqaf (Federal Control)
Act. yang berarti pengelolaan dilakukan di tingkat federal. Kemudian pada tahun
1979 pengelolaan wakaf dikembalikan lagi ke tingkat propensi.
Dalam
operasionalnya menteri wakaf membentuk direktorat konservasi dalam rangka
menyelamatkan monumen bersejarah. Direktorat Konservasi Punjab, misalnya,
berhasil mendapatkan penghargaan Aga Khan Award dalam bidang arsitektur.
Keberhasilan Awqaf Punjab dalam mendapatkan penghargaan antara lain didorong
oleh keberhasilannya mendirikan; pertama, Akademi Ulama yang menawarkan program
jangka panjang (2 tahun) dan jangka pendek. Selain itu juga pengelolaan 25
sekolah agama, dan 22 perpustakaan. Kedua, pendirian Tabligh Cell untuk
berdakwah di berbagai media massa. Ketiga, pendirian Rumah Sakit di Dat Darbar.
Keempat, Mesjid Besar Dat Ganj Baks. Kelima, pusat riset data Ganj Bakhs Shib,
Lahore yang diberi nama Markaz Ma’araf e Awlie untuk penelitian tentang para
aulia. Keenam, bantuan keuangan kepada yang tidak mampu dan para janda ex mujawars.[7]
4.
Bangladesh
Bangladesh
merupakan salah satu negara yang telah mengembangkan wakaf secara modern, tidak
hanya bersifat properti, tetapi sudah merambah kepada wakaf uang.
Keberhasilannya mengembangkan wakaf uang telah membawa Bangladesh kepada negara
yang memiliki dana sosial yang cukup memadai, dan tidak membutuhkan lagi belas
kasihan negara maju untuk mendapatkan bantuan. Jika dilihat dari sisi jumlah
harta wakaf, Bangladesh termasuk negara yang memiliki aset wakaf cukup banyak.
Menurut penjelasan Adiwarman A. Karim, di Bangladesh terdapat lebih dari 8317
lembaga pendidikan Islam, 123.000 masjid, 55.584 lapangan untuk shalat ‘ied,
21.163 lahan pemakaman, 1.400 Dargah, dan 3.859 lembaga lainnya, yang merupakan
harta wakaf. Untuk memudahkan operasionalnya, pengelolaan wakaf di Bangladesh
di bagi dalam tiga bentuk, yaitu: Pertama, wakaf yang dikelola oleh Yayasan
Wakaf yang tidak terdaftar pada kantor Administrasi Wakaf (OAW) Kementerian
Agama Bangladesh. Kedua, wakaf yang dikelola oleh Mutawailis atau Komite Wakaf
yang tidak terdaftar pada Kantor Administrasi Wakaf (OAW). Ketiga, wakaf yang
dikelola oleh OAW.
Sebahagian
besar wakaf yang tersebar di berbagai daerah pada umumnya termasuk pada
kelompok pertama dan kedua. Sedangkan secara administratif pengelolaan wakaf
berada di bawah Kementerian Agama yang kemudian membentuk satu bagian yang
menangani khusus persoalan wakaf, yaitu The Administrator of Waqfs. Secara
teknis kantor ini dibantu oleh 4 kantor divisi dan 24 kantor propinsi.
Masing-masing kantor ini berfungsi untuk mengatur dan melaksanakan pendaftaran
harta wakaf secara administratif. Setelah harta wakaf tersebut didafiarkan
kepada kantor, lalu jenis dan penerima manfaat ditentukan, mutawalli ditunjuk
sesuai dengan keinginan pemberi wakaf. Kantor wakaf dapat menginstruksikan
kepada mutawalli untuk mengelola wakaf sesuai dengan keinginan yang tertulis,
namun mutawalli dapat juga mengajukan kepada Mahkamah Agung bila dirasakan
instruksi tersebut tidak tepat. Selanjutnya kantor wakaf dapat mengambil alih
harta wakaf dan menunjuk mutawalli lain, kapan pun dapat pula membatalkan dan
memberhentikan mutawalli dan kemudian menggantinya dengan yang lain. Untuk
memastikan pengelolaan yang tepat dan profesional, maka kantor wakaf dapat
melakuan audit atas harta wakaf. Di samping itu kantor juga dapat bertindak
sebagai seorang hakim untuk meyelesaikan penyalahgunaan, pengambilalihan harta
wakaf dan sejenisnya.
Kantor
wakaf hanya berhak mengambil fee 5% dari pendapatan bersih. Meskipun harta
wakaf tersebut tidak dapat dipindah-tangankan, namun kantor wakaf dapat
melakukannya dalam suatu kasus khusus, dengan izin dan pemerintah, atau diatur
dalam akad wakaf, atau atas permintaan mutawalli dengan pertimbangan
memaksimalkan nilai produktifitas wakaf, atau diambil alih oleh pemerintah
dengan memberikan kompensasi.
Sejalan
dengan itu, juga telah dikembangkan wakaf uang yang diperkenalkan pertama kali
oleh M.A. Mannan dengan Social Investment Bank Ltd (SIBL). Ternyata dalam
praktek ekonomi, instrumen ini dapat berperan lebih banyak dalam pembangunan
Bangladesh, terutama dalam hal suplemen bagi pendanaan berbagai proyek
investasi sosial yang dikelola oleh bank-bank Islam, sehingga dapat berubah
menjadi bank wakaf (sebuah bank yang menampung dana-dana wakaf).
5. Yordania
Pemanfaatan wakaf di Yordania sungguh menarik untuk dikaji.
Informasi ini penting untuk diketahui, sebagai bahan pertimbangan untuk
mengelola wakaf di Indonesia yang jumlahnya cukup banyak, namun belum dikelola
secara produktif. Jika kita perhatikan hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar, yang
merupakan dialog antara Umar bin Khattab dengan Nabi Muhammad SAW di saat Umar
ingin mewakafkan tanahnya di Khaibar, antara lain Nabi SAW bersabda “Jika
engkau suka tahanlah pangkalnya dan sedekahkan hasilnya”. Ini menyiratkan,
harta yang diwakafkan itu perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga hasilnya
dapat mensejahterakan mauquf ‘alaih.[8]
Pengelolaan wakaf di Yordania sangatlah produktif. Adapun hasil pengelolaan
wakaf itu dipergunakan antara lain untuk :
- Memperbaiki perumahan penduduk di beberapa
kota. Salah satu di antaranya adalah kota yang arealnya seluas 79 dunum (dunum
adalah ukuran empat persegi dengan luas kira-kira 900 M2). Di areal tersebut
terdapat tanah pertanian, yang berisi 1.346 pohon zaitun, anggur, kurma dan
buah badam. Pembangunan rumah penduduk dan pengembangan pertanian tersebut
kedua-duanya merupakan proyek pertanian Kementerian Perwakafan.
- Membangun perumahan petani dan pengembangan
tanah pertanian di dekat kota Amman. Wilayah tersebut luasnya 84 dunum, dan di
dalamnya terdapat 1.600 pohon anggur, zaitun, buah badam dan kurma.
- Mengembangkan
tanah pertanian sebagai tempat wisata di dekat Amman. Di tanah pertanian ini
terdapat 2300 pohon zaitun, anggur, kurma, dan buah badam.
- Membangun sebuah tempat suci di daerah
Selatan. Areal tersebut luasnya 122 dunum, terdapat 350 pohon zaitun dan tanah
pertanian ini akan dikembangkan terus-menerus dengan dana wakaf. Di samping
daerah-daerah Tepi Timur, proyek wakaf bidang pertanian juga dilakukan di
wilayah Tepi Barat antara lain pertanian pohon zaitun di al-Khalil (Hebron)
yang memiliki tanah wakaf berupa tanah pertanian yang cukup luas.
Pelaksanaan kebijaksanaan Kementerian Wakaf tetap bersandar pada
kebijaksanaan yang ada untuk mewujudkan tujuan wakaf yang telah dijelaskan
dalam Undang-undang Wakaf. Adapun hasil yang sudah dicapai dari pengembangan
wakaf yang dilakukan oleh Wizaratul Auqaf Kerajaan Yordania antara lain adalah
:
(1)
Membuka
beberapa lembaga pendidikan tinggi antara lain Fakultas Da'wah, Ushuluddin dan
Syari'ah.
(2)
Mendirikan
beberapa lembaga pendidikan di Aman dan Yerusalem serta Qalqiiliyyah, Khalil,
Nablus dan Junain.
(3)
Mendirikan
53 tempat belajar al-Qur'an dan al-Hadis,
(4)
Mengalokasikan
dana wakaf pada madrasah, rumah-rumah yatim Islam yang mengajarkan keterampilan
(5)
Mendirikan
percetakan mushaf al-Qur’an dan percetakan di Amman yang mencetak barang-barang
cetakan yang diperdagangkan.
(6)
Mendirikan
kurang lebih 250 perpustakaan di mesjid-mesjid dan kota-kota kerajaan.
(7)
Setiap
tahun Kementerian memberikan beasiswa untuk belajar di Universitas Yordania.
(8)
Mendirikan
lima kantor (semacam Islamic Centre) di kota-kota kerajaan.
(9)
Memberikan
bantuan kepada rumah sakit, membantu fakir miskin dan orang-orang yang
membutuhkan.
(10)
Menerbitkan
majalah Islam di Amman, serta menerbitkan buku-buku agama.
(11)
Mendirikan
dua lembaga yang cukup penting , yakni lembaga Arkeologi Islam dan lembaga
peninggalan-peninggalan Islam. Bagian Arkeologi Islam bertugas untuk mengurusi
dan menjaga beberapa dokumen-dokumen yang berkenaan dengan benda-benda tidak
bergerak dan tradisi-tradisi Islam. Adapun lembaga Peninggalan Islam bertugas
menghidupkan kembali peninggalan-peninggalan Islam. Sedangkan tugas utamanya
adalah mengumpulkan manuskrip-manuskrip Islam yang ada pada masa kejayaan Islam.
Selain itu, lembaga tersebut juga berkewajiban membuktikan keaslian
naskah-naskah, memperbaiki, dan menyusunnya.
Pengelolaan wakaf di Kerajaan Yordania berdasarkan pada
Undang-undang Wakaf Islam No. 25 tahun 1947.[9]
Dalam Undang-undang Wakaf tersebut disebutkan bahwa yang termasuk dalam urusan
Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam adalah wakaf masjid, madrasah,
lembaga-lembaga Islam, rumah-rumah yatim, sekolahan-sekolah, lembaga-lembaga
syariah, kuburan-kuburan Islam, urusan-urusan haji dan urusan-urusan fatwa.
Dalam Pasal 3 Qanun Wakaf No. 26 Tahun 1966 disebutkan juga tujuan Kementerian
Wakaf dan Urusan Agama Islam yang antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Memelihara
masjid dan harta wakaf serta mengendalikan urusan-urusannya.
2.
Mengembangkan
masjid untuk menyampaikan risalah Nabi Muhammad SAW dengan mewujudkan
pendidikan Islam.
3.
Membakar
semangat jihad dan menguatkan jiwa Islam serta meningkatkan kualitas keimanan.
4.
Menumbuhkan
akhlak Islam dan menguatkannya dalam kehidupan kaum Muslimin.
5.
Menguatkan
semangat Islam dan menggalakkan pendidikan agama dengan mendirikan
lembaga-lembaga dan sekolah untuk menghafal al-Quran.
6.
Menyosialisasikan
budaya Islam, menjaga peninggalan Islam, melahirkan kebudayaan baru Islam dan
menumbuhkan kesadaran beragama.[10]
Untuk melaksanakan tugasnya, Kementerian Wakaf membentuk Majelis
Tinggi Wakaf yang diketuai oleh Menteri. Majelis Tinggi Wakaf, menetapkan
usulan-usulan yang ada di Kementerian yang berasal dari Direktur Keuangan,
kemudian Menteri membawanya kepada Dewan Kabinet untuk mendapat pengesahan.
Dalam menjalankan tugasnya, Kementerian Wakaf selalu bersandar pada
Undang-undang No. 26 Tahun 1966. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa
yang berwenang mengelola harta wakaf dan mengendalikannya adalah Kementerian
Wakaf dan Urusan Agama Islam. Dalam memegang kekuasaannya itu Kementerian Wakaf
di samping bersandar pada undang-undang wakaf juga harus bersandar pada
peraturan-peraturan wakaf yang lain.
Kementerian Wakaf diberi wewenang untuk membelanjakan hasil
pengembangan wakaf sesuai dengan rencana-rencana yang telah digariskan oleh
Direktorat Keuangan. Pada tahun 1984, pendapatan yang dihasilkan dari
pengembangan wakaf kurang lebih sebagai berikut:
1.
Hasil
sewa diperkirakan mencapai 680 ribu dinar Yordania.
2.
Pendapatan
yang berasal dari tempat-tempat suci mencapai 120 ribu dinar Yordania.
3.
Pendapatan
pabrik, rumah-rumah yatim dan industri di Yerusalem mencapai kurang lebih 80
ribu dinar Yordania.
4.
Pendapatan
lain yang bermacam-macam kira-kira mencapai 160 ribu dinar Yordania.[11]
Pada tahun 1984 seluruh pendapatan dari pengembangan wakaf berjumlah 1,030
juta dinar Yordania. Dalam membelanjakan uang tersebut Kementerian Wakaf juga
harus memperhatikan pemeliharaan dan perbaikan tanah-tanah wakaf. Untuk
menunjang tugas kementerian itu, maka didirikan Direktorat Pembangunan dan
Pemeliharaan Wakaf Islam dengan beberapa proyek. Proyek-proyek yang dibangun
cukup banyak dan meliputi wilayah Tepi Timur dan Tepi Barat. Adapun proyek yang
dilaksanakan di Tepi Timur antara lain adalah pembangunan kantor-kantor wakaf
di Amman dengan biaya 80.000 (delapan puluh ribu) dinar Yordania; pembangunan
apartemen hunian di Amman dengan biaya 85 ribu dinar dan beberapa proyek
lainnya. Proyek yang dilaksanakan di Tepi Barat antara lain adalah
kantor-kantor, pertokoan, dan pusat perdagangan di tanah-tanah wakaf. Biaya
pembangunan yang dilakukan baik di wilayah Tepi Barat maupun Tepi Timur
tersebut diperkirakan menelan biaya 700 ribu dinar. Agar proyek dapat berjalan
dengan baik, di Kementerian Wakaf juga dibentuk lembaga khusus yang bertugas
melakukan studi kelayakan terhadap rencana-rencana pengembangan tanah wakaf.
Kebijaksanaan dari pemerintah ternyata sangat membantu berkembangnya
pengelolaan wakaf. Hal ini terbukti dengan berhasilnya pengelolaan wakaf di
Yordania. Bahkan Wizarat al-Auqaf mampu ikut serta dalam meningkatkan peranan
wanita dalam pembangunan. Kementerian Wakaf mengelola wakaf dengan mengutamakan
perlengkapan administrasi wakaf yang memadai sesuai saran para ahli. Untuk
mencapai tujuan yang diharapkan Kementerian Wakaf mempergunakan berbagai cara.
Adapun cara-cara pengembangan wakaf yang dilakukan Kementerian Wakaf antara
lain adalah sebagai berikut:
1.
Mengembangkan
hasil harta wakaf itu sendiri.
2.
Menyewakan
tanah-tanah wakaf dalam waktu yang lama.
3.
Kementerian
Wakaf meminjam uang kepada pemerintah untuk membangun proyek-proyek pembangunan
tanah wakaf yang ada di kota Amman, Aqabah dan lain-lain.
4.
Menanami
tanaman-tanaman di tanah pertanian.[12]
6. Brunei Darussalam
Negara Brunei Darussalam menyerahkan segala urusan mengenai wakaf
kepada Majlis Ugama Islam yaitu berdasarkan peruntukan undang-undang yang
tercantum dalam Undang-Undang Negara Brunei Darussalam yaitu Akta Majelis Ugama
Islam dan Mahkamah-Mahkamah Kadi Penggal 77 dalam bab 98 dan 100.[13]
a.
Sistem
perwakafan
Sistem
perwakafan di Brunei Darussalam terbagi menjadi dua bentuk, yaitu:
1.
Sistem
perwakafan terdaftar.
Sistem
perwakafan seperti ini terjadi apabila seorang hamba Allah mewakafkan
jenis-jenis harta tidak bergerak seperti tanah dan bangunan dengan menentukan
pergantian nama pemilik secara yang sah menurut peraturan perundang-undangan.
terhadap sistem perwakafan seperti ini contohnya tanah, apabila wakaf seseorang
itu telah diterima, dilafalkan dan disahkan oleh pihak-pihak tertentu, maka
urusan penggantian hak milik tanah dari orang yang berwakaf kepada Majlis ugama
Islam akan diselesaikan oleh Majlis Ugama Islam selaku pihak yang akan mengurus
harta wakaf.
2.
Sistem
perwakafan tidak terdaftar.
a)
Sistem
perwakafan serupa ini terjadi di Negara Brunei Darussalam apabila seorang hamba
Allah mewakaf sesuatu kepada pihak-pihak tertentu seperti uang, kelengkapan
peralatan dan lain-lain secara tidak bertulis hanya dilafalkan secara lisan
saja. Timbang terima kedua belah pihak diperlukan secara lisan apabila kedua
belah pihak bersetuju untuk memberi dan menerima harta yang diwakafkan.
b)
Kadang-kadang
perwakafan itu dapat juga terjadi tanpa diketahui oleh pihak kedua yaitu orang
yang menerima harta wakaf tersebut. Contohnya seorang hamba Allah mewakafkan
sebuah Al-Quran di masjid tanpa diketahui oleh pegawai dan pengurus masjid.
b.
Jenis-jenis
wakaf
1.
Wakaf
khas
Wakaf
khas adalah merupakan wakaf yang telah ditentukan sendiri oleh seorang yang
berwakaf. Contohnya sebidang tanah telah diwakafkan oleh seorang hamba Allah
dan tanah yang diwakafkannya itu telah ditentukannya untuk kegunaan-kegunaan
tertentu misalnya untuk didirikan masjid. Oleh yang demikian wakaf serupa ini
adalah dinamakan Wakaf Khas.
2.
Wakaf
‘am
Wakaf
am pula adalah merupakan wakaf yang tidak ditentukan secara khusus kegunaannya
oleh orang yang berwakaf. Bagi wakaf jenis ini Majlis Ugama Islam adalah bebas
untuk menentukan tindakan-tindakan yang patut dibuatnya ke atas harta wakaf
jenis ini.
c.
Institusi
yang mengurusi wakaf dan prosedur berwakaf.
Institusi yang dipertanggungjawabkan di Negara Brunei Darussalam
dalam mengurus persoalan harta wakaf secara terdaftar adalah Majlis Ugama
Islam. Pengurusan yang dijalankan adalah harus berdasarkan jenis wakaf yang
dilafazkan oleh orang yang berwakaf. Perlaksanaan awal atau prosedur yang akan
dilakukan oleh pihak yang berwakaf adalah seperti berikut:
1)
Mengantar
surat permohonan untuk berwakaf.
2)
Apabila
wakaf diterima, dapat melafazkan wakaf di hadapan Hakim.
3)
Disampaikan
ke Jabatan Tanah.
4)
Perlaksanaan
wakaf oleh pihak-pihak berkenaan mengikut jenis wakaf yang dilafazkan.
Terhadap wakaf yang tidak terdaftar, pengurusannya diserahkan
kepada pihak yang diberikan atau menerima harta wakaf tersebut. Misalnya sebuah
masjid menerima wakaf 100 kitab suci Al-Quran, maka masjid itu sendiri yang
akan mengurus segala hal yang berkaitan dengannya.[14]
7.
Malaysia
Negara Malaysia merupakan sebuah negara yang mempunyai potensi
untuk menjadi negara maju dengan membangun, mewujudkan dan mengukuhkan
institusi wakaf. Pelaksanaan wakaf di negara ini pada umumnya tidak jauh
berbeda dibanding dengan negara-negara muslim yang lain seperti di negara
Mesir, Kuwait, Turki dan Morocco. Di negara-negara Afrika dan Asia Barat
seperti di Mesir, Kuwait dan Morocco telah diwujudkan kementerian wakaf untuk
men-tadbir harta-harta wakaf. Dari dana wakaf, masjid-masjid didirikan,
berbagai aktivitas keislaman dilaksanakan secara terencana.
Praktek pelaksanaan ibadah wakaf di Malaysia mulai subur dan
berkembang pada tahun 1800an yang dipelopori oleh para pedagang Malaysia.[15]
Dan kini pelaksanaannya dilakukan dengan pembangunan pondok-pondok pengajian
agama secara tradisional yang mempengaruhi masyarakat setempat untuk mewakafkan
harta mereka. Walaupun begitu dalam konteks zaman sekarang, ibadah tersebut
telah diperluas, terutama dalam mendirikan rumah sakit wakaf yang memberi biaya
yang relatif rendah. Di samping itu, wakaf juga memegang peranan penting dalam
pembangunan rumah-rumah anak yatim serta pembiayaan yang diperlukan untuk pendidikan
mereka. Dalam hal ini yang berwenang mengurus wakaf dan masalah keagamaan
lainnya adalah Majelis Agama Negeri.
Dengan demikian perwakafan di Malaysia tidak terbatas hanya dalam
bentuk pembangunan masjid semata-mata. Salah satu contoh pengelolaan wakaf di
Malaysia adalah peranan YADIM yang bertugas mengelola skim wakaf berdasarkan
konsep pelaksanaan wakaf menurut Islam.
YADIM telah menawarkan 14 juta saham wakaf yaitu harga keseluruhan
Pusat Latihan YADIM di Semungkis, Hulu Langat. Saham Wakaf ini ditawarkan
kepada masyarakat umum dengan harga RM1 sesaham. YADIM juga membeli bangunan di
pusat-pusat perdagangan strategis untuk meneruskan skim wakaf. Dengan cara ini,
masyarakat Islam Malaysia memiliki bangunan perdagangan yang dapat disewakan
kepada pedagang-pedagang Islam dengan harga sewa yang relatif rendah. Dengan
cara demikian, mereka dapat bersaing dengan pedagang-pedagang lain, dalam upaya
melibatkan peranan umat Islam di Malaysia dalam perdagangan global.
Di samping itu, di daerah bagian Malaysia lainnya seperti di
Labuhan Aceh, peranan Majlis Agama Islam Pulau Pinang (MAIPP) dalam menangani
harta wakaf sangat penting. MAIPP memiliki harta yaitu 1,000 lot serta 520
hektar tanah wakaf atau baitulmal.
Skim Wakaf di Pulau Penang, dilaksanakan melalui sumbangan setiap
orang muslim Pulau Penang dengan ringgit ke dalam Dana Wakaf sekurang-kurangnya
RM5.00. Dana yang dikumpulkan itu dibelikan kepada benda tidak bergerak seperti
tanah, bangunan dan proyek yang boleh mendatangkan manfaat kepada umat Islam.
Secara ringkas, Skim Dana Wakaf Pulau Pinang adalah salah satu
bentuk wakaf dan asas-asasnya masih mengikut konsep asal wakaf.
Dalam konteks ini, skim dana wakaf mementingkan kebajikan umum.
Dengan cara demikian, wakaf tersebut boleh dipergunakan untuk berbagai tujuan
kebajikan dan pembangunan umat Islam.
[1] Achmad
Djunaidi dan Thobib Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif cet. III
(Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006), h. 35
[2] Ibid., h. 35
[3] Pedoman
Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf
Depag RI, 2006), h. 22-23
[4] Ibid., h. 21
[5] Achmad
Djunaidi dan Thobib Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif cet. III
(Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006), h. 34
[6] Muhammad Abdul
Manan, Teori dan Praktek Perekonomian Islam, diterjemahkan oleh M.
Nastagin, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993), h. 385.
[7]
wakaf-di-berbagai-negara-muslim-dan.html@candraboyseroza.blogspot.com, diunduh
pada 02 Mei 2012 pukul 15.15 WIB.
[8]
Achmad Djunaidi
dan Thobib Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif cet. III (Jakarta:
Mitra Abadi Press, 2006), h. 41
[9]Ibid., h. 37
[10] Ibid., h. 38
[11] Ibid., h. 39
[12] Ibid., h. 40
[13]wakaf-di-berbagai-negara-muslim-dan.html@candraboyseroza.blogspot.com,
diunduh pada 02 Mei 2012 pukul 15.15 WIB.
[14]
wakaf-di-berbagai-negara-muslim-dan.html@candraboyseroza.blogspot.com,
diunduh pada 02 Mei 2012 pukul 15.15 WIB.
[15]
Pedoman
Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Depag RI, 2006), h. 19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar