Kamis, 13 Desember 2012

KHULU'


A.    Pengertian Khulu’
Kata “khulu’” itu dengan dlommah “kha’, dan sukun “lam”nya, (khulu’),  ialah menceraikan isteri dengan pembayaran dan kehendak isteri. Kata itu diambil dari kata  خلع-يخلع-خلعا(mencopot, menanggalkan). Misalanya: Khala’ats Tsauba (menanggalkan atau melepas pakaian), karena sesungguhnya isteri adalah sebagai pakaian suami menurut pengertian majaz.[1] Dalam firman Allah Q.S. Al-Baqarah (2):187 :
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
Khulu’ disebut juga al-fida’ yaitu tebusan, karena isteri menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa yang pernah diterimanya.[2] Dengan adanya tebusan tersebut maka isteri melepaskan diri dari ikatan suaminya.
Secara istilah, ada beberapa pengertian khulu’ yang dikemukakan para ulama’.
As-San’any dalam kitabnya Subul as-Salam merumuskan khulu’ dengan:
فراق الزوجة على مال
“ Diceraikannya isteri atas pembayaran suatu harta”[3]
Ulama Hanabilah seperti disebutkan oleh al-Jaziry mendefinisikan khulu’ dengan:
فراق الزج امراته بعوض ياءخذه الزوجرمن امرااته اوغيرها بالفاظ مخصوصة
“Suami menceraikan isterinya dengan suatu iwad yang diterima suami dari isteri atau orang lain dengan ucapan tertentu.”
Khulu’ hanya dapat diminta dalam keadaan yang luar biasa, tidak diperkenankan dengan alasan yang lemah.
 قا ل رسول لله عليه وسلم ايما امراة سالت زوجها الطلاق من غيرياس وحرام را ئحة الجنة
Nabi telah bersabda: “Wanita manapun yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan maka diharamkan baginya semerbak surgawi”.
Khulu’ makruh hukumnya kecuali ada kekhawatiran bahwa ketentuan-ketentuan yang telah diciptakan Allah tak akan dapat ditunaikan kalau tidak dengan melepaskan diri ini (bercerai). Sedangkan menurut Al-Dasuqi, khulu’ hukumnya mubah bukan makruh.[4]

B.     Dasar Hukum Khulu’
Kehidupan rumah tangga suami-isteri hanya tegak berdiri atas dasar ketentraman, ketenangan, saling mencintai, saling menyayangi, saling mempercayai, bergaul dengan sebaik-baiknya dan masing-masing pihak menunaikan kewajibannya dengan ikhlas, jujur, dan pengabdian. Sesuai dengan prinsip-prinsip perkawinan yaitu musyawaroh dan demokrasi, menciptakan rasa aman dan tenteram dalam keluarga, menghindari adanya kekerasan, hubungan suami isteri sebagai hubungan partner, dan keadilan. Apabila timbul kekurang senangan dari salah satu pihak baik suami maupun isteri, syari’at islam menasihati agar suami dan isteri selalu berusaha mengobati hal-hal yang menjadi sebab kekurang senangan satu terhadap yang lain. Allah berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya: Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (Q.S. An-Nisa’ (4): 19).
Namun  kebencian terkadang semakin membesar, perpecahan semakin sangat, penyelesaian menjadi sulit, kesabaran menjadi hilang, hak-hak telah terabaikan, prinsip-prinsip perkawinan sudah tidak dijalankan lagi. Sehingga kehidupan suami isteri menjadi sedemikian porak porandanya dan sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Maka pada saat yang demikian inilah, syari’at Islam memberikan jalan keluar agar kehidupan rumah tangga tidak semakin hancur lebur. Jika kebencian adanya pada pihak isteri maka Islam membolehkan dirinya menebus dirinya dengan jalan khulu’ yaitu mengembalikan mahar kepada suaminya agar mengakhiri ikatan sebagai suami-isteri.  Kebolehan khulu’ ini disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah: ayat 229:
وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang lalim. (Q.S. al-Baqarah (2): 229).
Ayat di atas merupakan dasar hukum kebolehan khulu’ dan penerimaan ‘iwad oleh suami. Pengambilan tebusan oleh suami terhadap isterinya , seperti suami dalam perkawinan telah memberikan mahar, membiayai biaya perkawinan, dan memberikan nafkah kepadanya . Tetapi tiba-tiba isteri membalasnya dengan minta pisah. Karena itu adalah suatu keadilan  jika isteri harus mengembailkan apa yang pernah diterimanya itu.
Adapun dasar hukum khulu’ dari hadis, antara lain :
َعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- ( أَنَّ اِمْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعِيبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ , وَلَكِنِّي أَكْرَهُ اَلْكُفْرَ فِي اَلْإِسْلَامِ , قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم  أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ ? , قَالَتْ : نَعَمْ  قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم  اِقْبَلِ اَلْحَدِيقَةَ , وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً )  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ : ( وَأَمَرَهُ بِطَلَاقِهَا )

Artinya: dari ibnu abbas r.a. sesungguhnya isteri tsabit bin qais datang menghadap Nabi saw. Seraya berkata : Ya Rasulluah , tsabit bin qais itu tidak ada yang saya cela akhlaknya dan agamanya. Akan tetapi , saya tidak mau khufur dalam islam.lalu Rasulullah bersabda: apakah kamu mau mengembalikan kebunnya? Dia menjawab: ya, lalu Rasulullah saw. Bersabda: terimalah kebun itu dan talaklah satu kali.
Menurut riwayat Abu Daud dan At Tirmizi dari ibnu Abbas juga, yang dinilai hasan oleh At Tirmizi: sesungguhnya isteri tsabit bin qais itu melakukan khuluk dari suaminya itu, lalu nabi saw. Menetapkan iddahnya sekali haid. Ucapan “ saya tidak mau kufur dalam islam” itu maksudnya: saya tidak mau tinggal bersama sabit karena saya takut terjerumus dalam suatu perbuatan yang mengakibatkan saya menjadi kafir. Maksudnya pembangkangan terhadap suami.
Kata “kebunnya” menurut suatu riwayat bahwa Nabi saw. Bertanya demikian itu karena sesungguhnya tsabit mengawini isterinya itu dengan maskawin kebun kurma.
Dalam hadis tersebut terkandung dalil adanya syariat khulu’ dan sahnya khulu’ itu, dan sesungguhnya khalal pengambilan ihwal dari bekas isterinya itu.[5]
Para ulama berbeda pendapat apakah untuk sahnya khulu’ disyaratkan isteri harus nusyuz atau tidak. Ulama Dhahiriyah berpendapat untuk sahnya khulu’ isteri harus nusyuz, sebagaimana isteri Tsabit bin Qais dalam hadis di atas yang meminta cerai, berarti ia nusyuz, juga berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah:229 “Kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah” dan berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa’: 19 “terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata”.
Imam Syafi’I, Abu Hanifah, dan kebanyakan fuqaha berpendapat bahwa khulu’ itu sah dilakukan meskipun isteri tidak dalam keadaan nusyuz dan khulu’ sah dengan saling kerelaan dalam keadaan lurus dan ‘iwad itu halal bagi suami, berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 4:
فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Artinya: Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q.S. an-Nisa’ (4): 4).

C.     Ucapan  Khulu’
Mengenai ucapan atau lafadl khulu’ para ulama terbagi kepada dua kelompok. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa untuk sahnya khulu’ haruslah diucapkan dengan menggunakan kata khulu’ atau kata yang diambil dari kata khulu’ atau kata lain yang mempunyai arti seperti khulu’, umpamanya mubara’ah (membebaskan) atau fidyah (tebusan). Apabila tidak dengan kata khulu’ atau kata yang tidak bermakna khulu’ maka tidak termasuk khulu’, seperti suami berkata: “engkau tertalaq (anti taliqun)” sebagai imbalan barang/uang seharga …., lalu isteri mau menerimanya. Maka perbuatan ini adalah talak dengan imbalan harta. Talaknya jatuh tetapi uangnya bukan khulu’.
Ibnul Qayim membantah pendapat di atas, ia mengatakan: barangsiapa mau memikirkan hakekat dan tujuan aqad atau perjanjian, bukan hanya melihat kata-kata yang diucapkan saja, tentu akan menganggap khulu’ sebagai fasakh, walaupun diucapkan dengan kata apapun juga,  dengan kata talaq sekalipun.   Alasannya, bahwa dalam kasus isteri Tsabit bin Qais, Nabi menyuruh Tsabit bin Qais mentalak isterinya secara khulu’ dengan sekali talak dan Nabi menyuruh isteri Tsabit beriddah dengan satu kali haid. Hal ini secara jelas menunjukkan fasakh, sekalipunterjadinyaperceraian dengan ucapan talak. Allah juga menghubungkannya dengan fidyah, karenamemangadatebusannya.Sudah maklum bahwa fidyah tidak mempunyai pernyataan dengan kata-kata khusus dan Allah tidak menetapkan  lafadh yang khusus untuk itu. Thalaq dengan tebusan sifatnya terbatas, dan tidak tergolong kedalam hukum thalaq yang dibolehkan ruju’ kembali dan beriddah dengan tiga kali masa bersih hadits seperti ketentuan sunnah yang sah.[6]
D.    ‘Iwad Khulu’
Dalam hadis Tsabit bin Qais, Nabi memerintahkan agar isterinyaTsabit mengembalikan mahar yang berupa kebun kepada suaminya ketika ia minta diceraikan dari suaminya dan kepada Tsabit, Nabi meminta agar menerima pengembalian mahar tersebut. Permasalahannya apakah ‘iwad itu dibatasi sebesar mahar atau sesuatu barang yang pernah diberikan suami kepada isterinya dan tidak boleh lebih dari itu ataukah suami boleh meminta lebih dari yang pernah diberikannya.
Sebagian ulama berpendapat, bahwa suami tidak boleh menerima iwad melebihi dari mahar yang diberikannya. Alasannya karena dalam hadis riwayat ad-Daruqutni dari Abu Zubair disebutkan bahwa Abu Zubair memberikan mas kawin kepada isterinya sebidang kebun, kemudian isterinya minta cerai, Nabi memerintahkan kepada isteri Abu Zubair agar mengembalikan kebun (mahar) tersebut, dan isterinya mau bahkan dengan tambahan
(نَعَمْوَزِيَادَةً ), Nabi mengatakan: tambahannya tidakboleh(اَمَّاالزِّيَادَةُفَلاَ ).
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa uang khulu’ itu boleh  lebih dari mahar atau melebihi dari apa yang pernah diberikan suami kepada isterinya. Mereka berpegangan kepada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 229:فَلَاجُنَاحَعَلَيْهِمَافِيمَاافْتَدَتْبِه .Ayat ini umum meliputi tebusan sedikit atau banyak.
Menurut fuqaha Syafi’iyah, iwad dari isteri itu boleh lebih besar dari mahar yang diterimanya, boleh berupa barang atau manfaat (termasuk jasa), boleh tunai dan boleh dihutang. Segala yang dapat dijadikan mahar dapat pula dijadikan iwad. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat  229: “فَلَاجُنَاحَعَلَيْهِمَافِيمَاافْتَدَتْبِه
Perbedaan pendapat di atas adalah berkaitan dengan perbedaan mengenai boleh tidaknya mentakhsis al-Qur’an dengan Hadis Ahad. Bagi yang tidak memperbolehkan ayat al-Qur’an ditakhsis dengan hadis ahad, mengatakan “boleh menerima iwad melebihi mahar”. Bagi yang yang memperbolehkan hadis ahad mentakhsis keumuman ayat, mengatakan “iwad tidak boleh melebihi mahar”. IbnuRusyd mengatakan: “orang yang menyamakan tebusan dengan iwad dalam muamalah pada umumnya, berpendapat bahwa besarnya iwad itu menurut kerelaan.  Orang yang hanya memegangi teks hadis, berpendapat iwad tidak boleh melebihi mahar, sebab dianggap mengambil yang bukan haknya.[7]
Baik yang berpendapat iwad itu tidak boleh melebihi besarnya  mahar atau boleh lebih besar dari mahar, kesemuanya sepakat bahwa tidak boleh menyakiti isteri agar ia mau menebus dirinya. Perbuatan demikian diharamkan agar tidak terjadi perceraian dari suami dengan perampasan harta. Allah berfirman:
تَأْخُذُونَهُنْأَرَدْتُمُاسْتِبْدَالَزَوْجٍمَكَانَزَوْجٍوَءَاتَيْتُمْإِحْدَاهُنَّقِنْطَارًافَلَاتَأْخُذُوامِنْهُشَيْئًاأَوَ
بُهْتَانًاوَإِثْمًامُبِينًا
Artinya: ” Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka  janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?”.[8]
E.     Akibat Cerai dengan Khulu’
Jumhur ulama, termasuk imam mazhab empat berpendapat bahwa apabila terjadi khulu’, maka istri berkuasa atas dirinya dan perkara sepenuhnya terserah dia, serta tidak ada lagi haknya suami terhadapnya. Hal ini disebabkan istri telah mengeluarkan iwadh untuk melepaskan dirinya dari ikatan suami istri. Sekalipun suami bersedia mengembalikan tebusan istrinya, suami tetap tidak berhak meruju’ istrinya selama masa iddah.
Pendapat lain muncul dari riwayat Sa’id bin Musayyab dan Az-Zuhri (guru Imam Malik). Bahwa jika bekas suami ingin merujuk istri kembali maka ia harus mengembalikan tebusan yang diambil dari istrinya dalam masa iddahnya dan hendaklah disaksikan oleh orang lain ruju’nya itu. Namun pendapat Jumhur lebih rajih, karena kalau suami berhak meruju’ istri, maka tidak ada artinya tebusan istri terhadap suaminya.
Apabila suami ingin kembali kepada istri yang mengkhulu’nya hal ini diperbolehkan, asalkan sang istri setuju dan dilakukan dengan akad nikah yang baru.
Dalam KHI bagian kelima Pasal 161 bahwa perceraian dengan jalan khulu’ mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk.
F.     Khulu’ itu Talak atau Fasakh
Para fuqaha berbeda pendapat apak khulu’ itu termasuk talak atau fasakh? Jumhur ulama berpendapat bahwa khulu’ itu termasuk talak ba’in sebagaimana disebutkan dalam hadis : اقبل حديقة و تطلقها تطليقة .  Dalam hadis ini Nabi menyuruh agar mencerai istri dengan talak satu.
Sebagian fuqaha, seperti Ahmad bin Hanbal, Dawud ad-Dahiri, dan dari kalangan sahabat : Usman bin Affan, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, berpendapat bahwa khulu’ itu fasakh bukan talak.
Menurut Ibnnu Qayim, khulu’ itu fasakh bukan talak. Ada riga alasan yang menunjukkan bahwa khulu’ itu bukan talak :
Pertama, dalam talak suami berhak meruju’ istrinya, sementara dalam khulu’ suami tidak boleh meruju’ istrinya.
Kedua, kalau suami menjatuhkan talak yang ketiga kalinya ia tidak boleh kembali kepada istrinya, kecuali setelah istri nikah dengan laki-laki lain. Menurut mash bahwa khulu’ boleh dilakukan setelah talak yang kedua kali dan sesudah itu masih bisa menjatuhkan talak yang ketiga.
Ketiga, iddah talak ialah tiga kali quru’, sementara iddah quru’ adalah satu kali haid[9]
Perbedaan pendapat di atas berpengaruh terhadap jumlah talak yang dimiliki suami. Bagi yang berpendapat bahwa khulu’ termasuk talak, ia akan mengurangi jumlah talak, sedangkan bagi yang tidak memasukkan sebagai talak, maka tidak akan mengurangi talak yang dimiliki.
G.    Iddah Istri yang Dikhulu’
Dalam hadis riwayat an-Nasai’ dari Muawidz bin ‘Afra’ mengenai khulu’nya istri Tsabit bin Qais :
خذ الذي لها عليك و خل سبيلها قال نعم فامرها رسول الله صلى الله عليه وسلم انتتربص حيضة وا حدة فتلحق با هلها       (رواه النسا ء)
Ambillah miliknya untukmu dan mudahkanlah urusannya. Tsabit menjawab : ya. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan istri Tsabit beriddah satu kai haid dan dikembalikan kepada keluarganya.
Menurut hadis di atas bahwa iddahnya istri yang dikhulu’ itu hanya satu kali haid. Demikianlah pendapat Usman bin Affan, Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih (guru Imam Bukhari), Ibnu Taimiyah. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa iddahnya istri yang dikhulu’ ialah tiga kali quru’ kalau mereka masih haid.
Menurut Ibnu Taimiyah, dalam talak biasa iddah itu tiga kali quru’ adalah untuk memperpanjang masa ruju’, agar suami bisa berpikir panjang untuk dapat meruju’ istrinya dalam masa iddah. Sedangkan dalam khulu’ ruju’ itu tidak ada, maka iddahnya hanya satu kali haid, ssdimaksudkan hanya untuk membersihkan kandungan saja.









[1] Abu Bakar Muhammad, Terjemahan Subulussalam,(Surabaya:Al-Ikhlas, 1995) hlm. 598-599.
[2] Drs. Supriatna, Hj. Fatma Amalia, Yasin Baidi, Fiqh Munakahat II, (Yogyakarta: Bidang Akademik) hlm. 48.
[3] As-San’ani, Subul as-Salam, Ttp.: Daar al-Fikr, t.t.,III:166.
[4] Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta:PT. Rineka Cipta, 1992) hlm. 110.
[5] Abu Bakar Muhammad, Terjemahan Subulussalam III,(Surabaya:Al-Ikhlas, 1995) hlm. 600-601.
[6]As-SayidSabiq, Fiqhu as-Sunnah, II: 253-254.
[7]Ibid., II: 254-256

[8]QS an-Nisa’ (4): 20
[9] As-Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah 8, hlm. 111


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENYERTAAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

Perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dalam hukum pidana Islam dapat dijelaskan menggunakan teori penyertaan yang sama halnya de...