Minggu, 07 Oktober 2012

HUKUM ACARA PERDATA DAN PERADILAN AGAMA


HUKUM ACARA PERDATA DAN PERADILAN AGAMA

          Pasal 2 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menegaskan : Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini.
            UU Nomor 3 Tahun 2006 yang merupakan amandemen dari UU Nomor 7 Tahun 1989 telah banyak memberikan kewenangan tambahan kepada lembaga Peradilan Agama (antara lain) sebagaimana tercantum pada Pasal 49, 50 dan 52 A. Atas dasar perluasan kewenangan tersebut, maka kalimat ‘perkara perdata tertentu’ pada Pasal 2 UU Nomor 7 Tahun 1987, kemudian diubah menjadi ‘perkara tertentu’ pada Pasal 2 UU Nomor 3 Tahun 2006. Dengan ketentuan tersebut maka Peradilan Agama tidak lagi hanya berwenang menyelesaikan perkara perdata, tetapi juga perkara pidana yang berkaitan dengan pelanggaran Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975, serta sanksi jinayah terhadap pelanggaran qanun di Nangroe Aceh Darussalam.
 Meskipun demikian,  karena sebagian besar kewenangan Peradilan Agama tetap dalam domain perkara perdata, maka pembahasan hukum acara Peradilan Agama harus dimulai dengan pembahasan hukum acara perdata pada umumnya.

Pengertian

-          Hukum acara perdata adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang bagaimana cara bertindak di muka pengadilan, dan bagaimana cara hakim bertindak agar hukum berjalan sebagaimana mestinya.
-          Hukum acara perdata adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara mengajukan tuntutan hak di pengadilan, dan bagaimana hakim memeriksa, memutus dan melaksanakan putusannya, agar pencari keadilan memperoleh perlindungan hukum guna mencegah terjadinya tindakan main hakim sendiri (eigenrichting).
-          Hukum acara perdata adalah peraturan-peraturan hukum tentang tata cara atau prosedur beracara di pengadilan yang (tujuannya) guna menegakkan hukum perdata materiil.

Tentang tindakan main hakim sendiri (eigenrichting), Prof. Sudikno mengutip pendapat para ahli sebagai berikut :
  1. Menurut Van Boneval Faure : eigenrichting sama sekali tidak dibenarkan karena hukum acara telah menyediakan peraturan-peraturan atau upaya-upaya untuk memperoleh perlindungan hukum bagi para pihak melalui pengadilan.
  2. Menurut Cleveringa  : eigenrichting pada dasarnya dibenarkan, tetapi yang melaksanakan dianggap melakukan perbuatan melawan hukum.
  3. Menurut Rutten : eigenrichting pada dasarnya tidak dibenarkan, tetapi jika peraturan yang ada tidak cukup memberikan perlindungan, maka secara diam-diam eigenrichting dibenarkan.[1]   

Asas-asas hukum Acara Perdata
1.      Hakim bersifat menunggu. Maksudnya, inisiatif diajukannya tuntutan hak sepenuhnya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Tetapi jika suatu perkara telah masuk ke Pengadilan/kepada hakim, maka hakim tidak boleh menolak dengan alasan hukum tidak jelas atau tidak ada. Hakim dianggap tahu hukumnya (ius curia novit).
2.      Hakim pasif. Maksudnya ruang lingkup dan luas pokok perkara ditentukan oleh para pihak sendiri. Hakim dilarang menjatuhkan putusan terhadap hal-hal yang tidak dituntut.
3.      Persidangan terbuka untuk umum. Maksudnya setiap orang boleh hadir dan mendengarkan jalannya persidangan. Tujuannya untuk memberikan perlindungan HAM di bidang peradilan, serta untuk lebih menjamin objektifitas dengan mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang fair dan tidak memihak kepada masyarakat. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, terdapat perkara-perkara tertentu yang pemeriksaannya tertutup untuk umum, seperti perceraian.
4.      Hakim harus mendengarkan kedua belah pihak (audi et alteram partem).  Maksudnya, hakim harus memberi perlakuan yang sama kepada para pihak.
5.      Putusan harus dilengkapi dengan alasan-alasan/dasar hukum. Fungsinya agar putusan hakim objektif, dan merupakan pertanggung jawaban hakim atas putusannya terhadap semua pihak (para pihak, masyarakat, pengadilan yang lebih tinggi dan kepada ilmu pengetahuan).
6.      Beracara dikenakan biaya. Maksudnya, pihak yang mengajukan tuntutan hak harus mendaftarkan perkaranya di kepaniteraan pengadilan dengan membayar sejumlah uang yang telah ditentukan. Jika pengajuan perkara tanpa disertai biaya, maka perkara tidak akan didaftar. Namun demikian, bagi pihak yang tidak mampu, ybs dapat beracara secara prodeo (bebas biaya) setelah memenuhi syarat-syarat tertentu.
7.      Tidak ada keharusan mewakilkan. Maksudnya, bahwa pemeriksaan persidangan dilakukan secara langsung kepada para pihak yang berkepentingan, tetapi bagi yang mewakilkan (menunjuk kuasa hukum) tetap diperbolehkan.
8.      Peradilan dilakukan dalam persidangan Majelis dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim. Tujuannya untuk menjamin pemeriksaan yang objektif.
9.      Hakim wajib mendamaikan para pihak. Pada awal persidangan, hakim wajib mengupayakan perdamaian. Jika hakim lupa tidak melakukan upaya perdamaian, putusan bisa batal demi hukum.

Sumber-sumber Hukum Acara Perdata
1.      UU Nomor 1/Dar/1951.
2.      HIR (Het Herziene Indonesisch Reglemen) untuk Jawa dan Madura.
3.      RBg (Rechtsreglement Buitengewesten) untuk luar Jawa dan Madura.
4.      RV (Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering).
5.      RO (Reglement op de Rechtelijke Organisatie in het Belied der Justitie in Indonesia – Reglemen tentang organisasi kehakiman).
6.      BW Buku IV.
7.      UU Nomor 20/1947 (untuk Pengadilan Banding di Jawa Madura – sedang untuk Luar Jawa Madura mengacu pada Pasal 199-205 RBg).
8.      UU Nomor 14 Tahun 1970 jo UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan2 Pokok Kekuasaan Kehakiman.
9.      UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA Jo UU Nomor 5 Tahun 2004.
10.  UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
11.  UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN Jo UU Nomor 9 Tahun 2004.
12.  Jurisprudensi.
13.  Perjanjian antar negara.
14.  Doktrin/ilmu pengetahuan yang diajarkan para sarjana kenamaan.
15.  Hukum kebiasaan.
16.  Peraturan MA, Instruksi MA, Surat Edaran MA, dsb.

Untuk Peradilan Agama ditambah dengan :
1.        UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2.        Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
3.        UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006.
4.        Kompilasi Hukum Islam.
5.        Kitab-kitab Fikih.
6.        Peraturan/Keputusan  Menteri Agama.
7.        Fatwa DSN-Majelis Ulama Indonesia
8.        Dll.



[1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,  (Yogyakarta : Liberty, 1982), hal. 3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENYERTAAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

Perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dalam hukum pidana Islam dapat dijelaskan menggunakan teori penyertaan yang sama halnya de...