BAB I
PENDAHULUAN
Gugatan merupakan hal mutlak yang harus ada dalam Peradilan Tata
Usaha Negara. Dengan adanya suatu gugatan, maka proses peradilan baru dimulai. Dalam
Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1986 disebutkan, gugatan adalah suatu permohonan yang
berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang diajukan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mendapatkan keputusan. Di dalam gugatan tersebut,
seorang penggugat memaparkan segala sesuatu yang ia tuntut dari pihak lawan
yakni tergugat. Dengan gugatan tersebut, hakim dapat mengetahui hukum apa yang
seharusnya diterapkan dalam gugatan tersebut dengan menilai bukti-bukti yang
ada, keterangan saksi dan alat-alat bukti yang lain.
Dalam membuat gugatan, ada syarat-syarat tertentu yang harus
dipenuhi oleh penggugat yang mempengaruhi sah tidaknya hukum yang akan
diterapkan, sehingga dalam hal ini penggugat atau dibantu kuasa hukum harus
jeli dalam memenuhi syarat formil maupun materiil yang ada di dalamnya.
Dalam makalah ini, penyusun akan memaparkan secara singkat mengenai
hal-hal yang berkenaan dengan gugatan dalam berperkara di Pengadilan Tata Usaha
Negara. Semoga bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
CARA-CARA MENGAJUKAN GUGATAN DI PENGADILAN
TATA USAHA NEGARA
A. PENGUGAT DAN TERGUGAT
Gugatan adalah suatu permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
untuk mendapatkan keputusan (Pasal 1 UU PTUN).[1]
Pada lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara, yang berhak menggugat atau menjadi penggugat
adalah orang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan karena
dikeluarkannya suatu keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang bersangkutan. Sedangkan badan hukum publik yaitu Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat mengajukan gugatan.[2]
Sengketa Tata Usaha Negara selalu berkaitan dengan dikeluarkannya
suatu keputusan Tata Usaha Negara, maka satu-satunya pihak yang dapat digugat
adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Oleh karena itu dalam Acara
Peradilan Tata Usaha Negara tidak dikenal adanya gugat balik atau gugat
rekonvensi. Hal ini disebabkan karena sengketa Tata Usaha Negara tersebut
adalah berkenaan dengan masalah sah atau tidaknya suatu keputusan Tata Usaha
Negara yang telah dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Sengketa
mengenai kepentingan hak, termasuk hak menuntut ganti rugi tidaklah termasuk
wewenang PTUN untuk mengadilinya. Menurut Buys, walaupun pokok dalam
perselisihan (objectum litis) terletak di lapangan hukum publik, bila yang
dirugikan adalah hak privat sehingga perlu meminta ganti rugi, maka yang
berwenang mengadili adalah hakim biasa atau peradilan umum.[3]
B. ALASAN GUGATAN DAN
ISI GUGATAN
Dalam Pasal 53
ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, seorang atau badan hukum perdata
yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara
dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang, berisi
tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan dinyatakan batal
atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan / atau
rehabilitasi.
Selanjutnya dalam Pasal 53 ayat (2) dalam UU No 9 Tahun 2004 menyebutkan
alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan adalah :
a.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang undangan yang berlaku;
b.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik
Alasan ini dalam Hukum Administrasi Negara dikenal dengan istilah
detournement de proupoir atau
penyalahgunaan wewenang. Dalam hal ini pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan sebenarnya mempunyai wewenang untuk membuat keputusan tersebut,
tetapi keputusan itu digunakan untuk tujuan yang lain dari tujuan yang dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dibuatnya keputusan
tersebut.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau
tidak mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang
tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau
tidak mengambil keputusan tersebut.
Pada alasan ini
terlihat adanya suatu pengecualian dari adanya suatu syarat tertulis bagi
Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat dijadikan alasan gugatan di Pengadilan
Tata Usaha Negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986.
Pengecualian
ini dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 diatur sebagai berikut :
1) Apabila
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan
hal ini menjadi kewajibannya, maka hal ini disamakan dengan Keputusan Tata
Usaha Negara
2) Jika suatu
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan putusan yang dimohon,
sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut
dianggap telah menolak mengeluarkan Keputusan yang dimaksud
3) Dalam hal
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat
bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakannya.
Suatu gugatan yang
akan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara harus memuat (Pasal 56 ayat 1 UU PTUN)
:
1.
Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat atau
kuasanya
2.
Nama, jabatan, dan tempat tinggal tergugat
3.
Dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Pasal 56 ayat 1
UU PTUN, syarat-syarat gugatan adalah harus memuat identitas para pihak,
fundamentum petendi atau posita, dan petitum.[4]
Apabila gugatan yang
dibuat atau ditandatangani oleh kuasa penggugat, maka harus disertai surat
kuasa yang sah dan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara
yang disengketakan oleh penggugat, apabila Keputusan Tata Usaha Negara yang hendak
disengketakan itu tidak ada di tangan penggugat atau di tangan pihak ketiga
yang terkena akibat keputusan tersebut hakim dapat meminta kepada Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan mengirimkan kepada Pengadilan
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.
Mengenai tuntutan yang
dapat dimintakan dalam gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara diatur dalam
Pasal 97 ayat (9) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang berbunyi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa :
1.
Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan;atau
2.
Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau
3.
Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan
Pasal 3
Sedang Pasal 97 ayat (10) dan ayat (11) menyebutkan :
Ayat (10) : Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat
disertai pemberian ganti rugi
Ayat (11) : Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal
97 ayat (8) menyangkut kepegawaian, maka disamping kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi
Melihat kedudukan
dan bunyi Pasal 97 ayat (10) dan ayat (11) di atas merupakan hal pengecualian
dimana rehabilitasi hanya bisa diminta khusus dalam sengketa kepegawaian.
C. PENGAJUAN GUGATAN
Berdasarkan Pasal
54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, gugatan sengketa Tata Usaha
Negara diajukan secara tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Gugatan yang diajukan harus dalam
bentuk tertulis, karena gugatan itu akan menjadi pegangan bagi pengadilan dan
para pihak selama pemeriksaan. Dalam hal penggugat seorang buta huruf dan tidak
mampu membayar seorang pengacara, yang bersangkutan dapat meminta kepada
Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk membuat dan
merumuskan gugatannya.
Apabila tergugat
lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak
dalam satu daerah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara, gugatan diajukan pada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam hal tempat
kedudukan tergugat tidak berada
dalam daerah hukum pengadilan tempat kedudukan penggugat, maka gugatan diajukan
kepada penagdilan tempat kedudukan penggugat untuk diteruskan kepada pengadilan
yang bersangkutan. Dalam hal ini tanggal diterimanya gugatan oleh panitera
pengadilan tempat kedudukan penggugat dianggap sebagai tanggal diajukannya
gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang. Sedangkan apabila
penggugat dan tergugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta, dan apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan
penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara
ditempat kedudukan tergugat.
Mengenai sengketa
Tata Usaha Negara yang menurut peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, gugatan harus diajukan ke Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
Berhubung
sengketa Tata Usaha Negara selalu berkaitan dengan Keputusan Tata Usaha Negara,
maka pengajuan gugatan ke pengadilan dikaitkan pula dengan waktu dikeluarkannya
keputusan yang bersangkutan. Menurut Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986,
gugatan hanya dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak
saat diterimanya atau diumumkan Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang bersangkutan. Dalam hal gugatan didasarkan pada alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, maka tenggang waktu 90
hari itu dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya, yang dihitung sejak tanggal
diterimanya permohonan yang bersangkutan. Seandainya peraturan perundang-undangan
tidak menentukan tenggang waktunya, maka dihitung sejak lewatnya batas waktu 4
bulan yang dihitung sejak diterimanya permohonan yang bersangkutan. Bilamana
tenggang waktu tersebut sudah lewat, maka hak untuk menggugat menjadi gugur
karena telah kadaluwarsa.
Diajukannya suatu
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada prinsipnya tidak menunda atau
menghalangi Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, ketentuan ini
didasarkan kepada asas praduga tak bersalah. Selama Keputusan Tata Usaha Negara
tersebut belum dinyatakan tidak sah (melawan hukum) dengan keputusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka keputusan itu dianggap sah sehingga
harus tetap dilaksanakan. Namun penggugat dapat mengajukan permohonan agar
pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa
Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Permohonan mengenai hal ini dapat diajukan
sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok
sengketanya. Permohonan ini dapat dikabulkan apabila terdapat keadaan yang
sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut tetap dilaksanakan. Permohonan ini tidak
dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan
dilaksanakan keputusan ini.[5]
D. PENETAPAN HARI SIDANG
DAN PEMANGGILAN PARA PIHAK
Setelah penggugat
membayar uang muka biaya perkara yang besarnya ditaksir oleh panitera, gugatan
dicatat dalam daftar perkara. Persekot biaya perkara ini nantinya akan
diperhitungkan dengan biaya perkara sebagaimana dicantumkan dalam amar putusan
pengadilan (Pasal 59 UU PTUN).
Biaya perkara ini
dibebankan kepada yang kalah (Pasal 111 UU PTUN). Rincian biaya tersebut
terdiri dari :
1.
Biaya kepaniteraan
2.
Biaya saksi, ahli, dan alih bahasa, dengan catatan bahwa pihak yang
minta pemeriksaan lebih dari 5 orang saksi; harus membayar untuk saksi yang
lebih itu, meskipun pihak tersebut dimenangkan
3.
Biaya pemeriksaan ditempat lain dari ruang sidang dan biaya lain
yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah hakim ketua sidang.
Seorang penggugat
yang tidak mampu, yang dinyatakan dengan surat keterangan dari kepala desa atau
lurah dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan untuk berpekara
dengan Cuma-Cuma (Pasal 60 UU PTUN).
Permohonan untuk
berperkara dengan cuma-cuma ini harus diperiksa dan ditetapkan oleh pengadilan
sebelum pokok sengketa diperiksa. Penetapan pengadilan yang telah mengabulkan
permohonan penggugat untuk berperkara dengan cuma-cuma tersebut tidak hanya
berlaku di tingkat pertama, tetapi juga berlaku ditingkat banding dan kasasi
(Pasal 61 UU PTUN).
Setelah gugatan
dicatat dalam daftar perkara, hakim menentukan hari, jam dan tempat siding
selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari sesudah gugatan dicatat dan
selanjutnya menyuruh memanggil kedua belah pihak untuk hadir pada waktu dan
tempat yang telah ditentukan. Surat panggilan kepada tergugat disertai salinan
gugatan denga pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat dijawab dengan tertulis
(Pasal 59 UU PTUN)
Dalam penentuan hari sidang ini, hakim
harus mempertimbangkan jauh dekatnya tempat tinggal kedua belah pihak dari
tempat persidangan. Jangka waktu antara pemanggilan dan hari siding tidak boleh
kurang dari 6 hari, terkecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa
dengan acara cepat. Pemanggilan terhadap pihak yang bersangkutan duanggap sah
apabila masing-masing yang menerima surat pemanggilan yang dikirimkan dengan
surat tercatat.
Bilamana salah
satu pihak yang bersengketa berada di luar negeri, pemanggilan dilakukan
melalui Departemen Luar Negeri. Ketua Pengadilan yang bersangkutan melakukan
pemanggilan dengan cara meneruskan surat penetapan hari siding beserta salinan
gugatan kepada Departemen Luar Negeri. Selanjutnya Departemen Luar Negeri
segera menyampaikan surat penetapan hari siding beserta salainan gugatan
tersebut melalui Perwakilan Republik Indonesia
di luar negeri dalam wilayah tempat yang bersangkutan berkedudukan atau
berada. Selanjutnya petugas Perwakilan Republik Indonesia yang bersangkutan
dalam jangka waktu 7 hari sejak dilakukan pemanggilan tersebut wajib member
laporan kepada pengadilan yang bersangkutan (Pasal 66 UU PTUN).
E. KUASA HUKUM
Dalam sengketa di
Pengadilan Tata Usaha Negara para pihak dapat didampingi atau diwakili oleh
seorang atau beberapa orang kuasa hukum.
Pemberian kuasa ini dapat dilakukan dengan membuat surat kuasa khusus atau
dapat dilakukan secara lisan di persidangan. Untuk surat kuasa yang dibuat
diluar negeri bentuknya harus memenuhi persyaratan yang berlaku dinegara yang
bersangkutan dan diketahui oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara
tersebut, serta kemudian harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
penerjemah resmi (Pasal 57 UU PTUN).[6]
Walaupun para
pihak yang diwakili oleh kuasanya masing-masing, apabila dipandang perlu hakim
berwenang memerintahkan kedua belah pihak yang bersangkutan datang menghadap.
Menurut Pasal 84
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, apabila dalam persidangan seorang kuasa
melakukan tindakan yang melampaui batas wewenangnya, pemberi kuasa dapat
mengajukan sangkalan secara tertulis disertai tuntutan agar tindakan kuasa
tersebut dinyatakan batal oleh pengadilan. Apabila sangkalan itu dikabulkan,
maka hakim wajib menetapkan dalam putusan yang dimuat dalam berita acara sidang,
bahwa tindakan kuasa itu dinyatakan batal dan selanjutnya dihapus dalam berita
acara pemeriksaan. Putusan tersebut dibacakan atau diberitahukan kepada para
pihak yang bersangkutan.
BAB III
KESIMPULAN
-
Gugatan adalah suatu permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
untuk mendapatkan keputusan (Pasal 1 UU PTUN).
-
Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang merasa
dirugikan karena dikeluarkannya suatu keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan.
-
Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
-
Suatu gugatan yang akan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
harus memuat (Pasal 56 ayat 1 UU PTUN) :
1. Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat
atau kuasanya
2. Nama, jabatan, dan tempat tinggal tergugat
3. Dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh
pengadilan
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Rozali. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Harahap, Zairin. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Marbun, SF. Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta:
Liberty, 2003.
[1] SF Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara (Yogyakarta: Liberty, 2003),
hal. 66.
[2] Ibid, hal. 69
[3] Rozali Abdullah, S.H., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002) hal. 32
[4] Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada: 2008), hal. 103
[5] Rozali Abdullah, S.H., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 41
[6] Ibid, hal. 43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar