Rabu, 31 Januari 2018

CARA-CARA MENGAJUKAN GUGATAN DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

BAB I
PENDAHULUAN

Gugatan merupakan hal mutlak yang harus ada dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan adanya suatu gugatan, maka proses peradilan baru dimulai. Dalam Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1986 disebutkan, gugatan adalah suatu permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mendapatkan keputusan. Di dalam gugatan tersebut, seorang penggugat memaparkan segala sesuatu yang ia tuntut dari pihak lawan yakni tergugat. Dengan gugatan tersebut, hakim dapat mengetahui hukum apa yang seharusnya diterapkan dalam gugatan tersebut dengan menilai bukti-bukti yang ada, keterangan saksi dan alat-alat bukti yang lain.
Dalam membuat gugatan, ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh penggugat yang mempengaruhi sah tidaknya hukum yang akan diterapkan, sehingga dalam hal ini penggugat atau dibantu kuasa hukum harus jeli dalam memenuhi syarat formil maupun materiil yang ada di dalamnya.
Dalam makalah ini, penyusun akan memaparkan secara singkat mengenai hal-hal yang berkenaan dengan gugatan dalam berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara. Semoga bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.



BAB II
PEMBAHASAN

CARA-CARA MENGAJUKAN GUGATAN DI PENGADILAN
TATA USAHA NEGARA

A.      PENGUGAT DAN TERGUGAT
Gugatan adalah suatu permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mendapatkan keputusan (Pasal 1 UU PTUN).[1]
            Pada lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, yang berhak menggugat atau menjadi penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan karena dikeluarkannya suatu keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Sedangkan badan hukum publik yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat mengajukan gugatan.[2]
Sengketa Tata Usaha Negara selalu berkaitan dengan dikeluarkannya suatu keputusan Tata Usaha Negara, maka satu-satunya pihak yang dapat digugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Oleh karena itu dalam Acara Peradilan Tata Usaha Negara tidak dikenal adanya gugat balik atau gugat rekonvensi. Hal ini disebabkan karena sengketa Tata Usaha Negara tersebut adalah berkenaan dengan masalah sah atau tidaknya suatu keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Sengketa mengenai kepentingan hak, termasuk hak menuntut ganti rugi tidaklah termasuk wewenang PTUN untuk mengadilinya. Menurut Buys, walaupun pokok dalam perselisihan (objectum litis) terletak di lapangan hukum publik, bila yang dirugikan adalah hak privat sehingga perlu meminta ganti rugi, maka yang berwenang mengadili adalah hakim biasa atau peradilan umum.[3]

B.       ALASAN GUGATAN DAN ISI GUGATAN
            Dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, seorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang, berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan / atau rehabilitasi.
Selanjutnya dalam Pasal 53 ayat (2) dalam UU No 9 Tahun 2004 menyebutkan alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan adalah :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik
Alasan ini dalam Hukum Administrasi Negara dikenal dengan istilah detournement de proupoir  atau penyalahgunaan wewenang. Dalam hal ini pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan sebenarnya mempunyai wewenang untuk membuat keputusan tersebut, tetapi keputusan itu digunakan untuk tujuan yang lain dari tujuan yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dibuatnya keputusan tersebut.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak mengambil keputusan tersebut.
            Pada alasan ini terlihat adanya suatu pengecualian dari adanya suatu syarat tertulis bagi Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat dijadikan alasan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
          Pengecualian ini  dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 diatur sebagai berikut :
1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal ini menjadi kewajibannya, maka hal ini disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara
2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan putusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan Keputusan yang dimaksud
3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakannya.
          Suatu gugatan yang akan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara harus memuat (Pasal 56 ayat 1 UU PTUN) :
1.    Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat atau kuasanya
2.    Nama, jabatan, dan tempat tinggal tergugat
3.    Dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Pasal 56 ayat 1 UU PTUN, syarat-syarat gugatan adalah harus memuat identitas para pihak, fundamentum petendi atau posita, dan petitum.[4]
       Apabila gugatan yang dibuat atau ditandatangani oleh kuasa penggugat, maka harus disertai surat kuasa yang sah dan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan oleh penggugat, apabila Keputusan Tata Usaha Negara yang hendak disengketakan itu tidak ada di tangan penggugat atau di tangan pihak ketiga yang terkena akibat keputusan tersebut hakim dapat meminta kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan mengirimkan kepada Pengadilan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.
       Mengenai tuntutan yang dapat dimintakan dalam gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 97 ayat (9) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang berbunyi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa :
1.    Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan;atau
2.    Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau
3.    Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan Pasal 3
Sedang Pasal 97 ayat (10) dan ayat (11) menyebutkan :
Ayat (10) : Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pemberian ganti rugi
Ayat (11) : Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat (8) menyangkut kepegawaian, maka disamping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi
            Melihat kedudukan dan bunyi Pasal 97 ayat (10) dan ayat (11) di atas merupakan hal pengecualian dimana rehabilitasi hanya bisa diminta khusus dalam sengketa kepegawaian.

C.      PENGAJUAN GUGATAN
            Berdasarkan Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan secara tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Gugatan yang diajukan harus dalam bentuk tertulis, karena gugatan itu akan menjadi pegangan bagi pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan. Dalam hal penggugat seorang buta huruf dan tidak mampu membayar seorang pengacara, yang bersangkutan dapat meminta kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk membuat dan merumuskan gugatannya.
            Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara, gugatan diajukan pada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam hal tempat   kedudukan  tergugat tidak berada dalam daerah hukum pengadilan tempat kedudukan penggugat, maka gugatan diajukan kepada penagdilan tempat kedudukan penggugat untuk diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan. Dalam hal ini tanggal diterimanya gugatan oleh panitera pengadilan tempat kedudukan penggugat dianggap sebagai tanggal diajukannya gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang. Sedangkan apabila penggugat dan tergugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, dan apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara ditempat kedudukan tergugat.
            Mengenai sengketa Tata Usaha Negara yang menurut peraturan perundang-undangan yang bersangkutan harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administrasi  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, gugatan harus diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
            Berhubung sengketa Tata Usaha Negara selalu berkaitan dengan Keputusan Tata Usaha Negara, maka pengajuan gugatan ke pengadilan dikaitkan pula dengan waktu dikeluarkannya keputusan yang bersangkutan. Menurut Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, gugatan hanya dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkan Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Dalam hal gugatan didasarkan pada alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, maka tenggang waktu 90 hari itu dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan. Seandainya peraturan perundang-undangan tidak menentukan tenggang waktunya, maka dihitung sejak lewatnya batas waktu 4 bulan yang dihitung sejak diterimanya permohonan yang bersangkutan. Bilamana tenggang waktu tersebut sudah lewat, maka hak untuk menggugat menjadi gugur karena telah kadaluwarsa.
            Diajukannya suatu gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada prinsipnya tidak menunda atau menghalangi Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, ketentuan ini didasarkan kepada asas praduga tak bersalah. Selama Keputusan Tata Usaha Negara tersebut belum dinyatakan tidak sah (melawan hukum) dengan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka keputusan itu dianggap sah sehingga harus tetap dilaksanakan. Namun penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Permohonan mengenai hal ini dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya. Permohonan ini dapat dikabulkan apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika Keputusan Tata Usaha Negara tersebut tetap dilaksanakan. Permohonan ini tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakan keputusan ini.[5]

D.      PENETAPAN HARI SIDANG DAN PEMANGGILAN PARA PIHAK
            Setelah penggugat membayar uang muka biaya perkara yang besarnya ditaksir oleh panitera, gugatan dicatat dalam daftar perkara. Persekot biaya perkara ini nantinya akan diperhitungkan dengan biaya perkara sebagaimana dicantumkan dalam amar putusan pengadilan (Pasal 59 UU PTUN).
            Biaya perkara ini dibebankan kepada yang kalah (Pasal 111 UU PTUN). Rincian biaya tersebut terdiri dari :
1.    Biaya kepaniteraan
2.    Biaya saksi, ahli, dan alih bahasa, dengan catatan bahwa pihak yang minta pemeriksaan lebih dari 5 orang saksi; harus membayar untuk saksi yang lebih itu, meskipun pihak tersebut dimenangkan
3.    Biaya pemeriksaan ditempat lain dari ruang sidang dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah hakim ketua sidang.
            Seorang penggugat yang tidak mampu, yang dinyatakan dengan surat keterangan dari kepala desa atau lurah dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan untuk berpekara dengan Cuma-Cuma (Pasal 60 UU PTUN).
            Permohonan untuk berperkara dengan cuma-cuma ini harus diperiksa dan ditetapkan oleh pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa. Penetapan pengadilan yang telah mengabulkan permohonan penggugat untuk berperkara dengan cuma-cuma tersebut tidak hanya berlaku di tingkat pertama, tetapi juga berlaku ditingkat banding dan kasasi (Pasal 61 UU PTUN).
              Setelah gugatan dicatat dalam daftar perkara, hakim menentukan hari, jam dan tempat siding selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari sesudah gugatan dicatat dan selanjutnya menyuruh memanggil kedua belah pihak untuk hadir pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Surat panggilan kepada tergugat disertai salinan gugatan denga pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat dijawab dengan tertulis (Pasal 59 UU PTUN)
            Dalam penentuan hari sidang ini, hakim harus mempertimbangkan jauh dekatnya tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat persidangan. Jangka waktu antara pemanggilan dan hari siding tidak boleh kurang dari 6 hari, terkecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara cepat. Pemanggilan terhadap pihak yang bersangkutan duanggap sah apabila masing-masing yang menerima surat pemanggilan yang dikirimkan dengan surat tercatat.
            Bilamana salah satu pihak yang bersengketa berada di luar negeri, pemanggilan dilakukan melalui Departemen Luar Negeri. Ketua Pengadilan yang bersangkutan melakukan pemanggilan dengan cara meneruskan surat penetapan hari siding beserta salinan gugatan kepada Departemen Luar Negeri. Selanjutnya Departemen Luar Negeri segera menyampaikan surat penetapan hari siding beserta salainan gugatan tersebut melalui Perwakilan Republik Indonesia  di luar negeri dalam wilayah tempat yang bersangkutan berkedudukan atau berada. Selanjutnya petugas Perwakilan Republik Indonesia yang bersangkutan dalam jangka waktu 7 hari sejak dilakukan pemanggilan tersebut wajib member laporan kepada pengadilan yang bersangkutan (Pasal 66 UU PTUN).

E.       KUASA HUKUM
            Dalam sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara para pihak dapat didampingi atau diwakili oleh seorang atau  beberapa orang kuasa hukum. Pemberian kuasa ini dapat dilakukan dengan membuat surat kuasa khusus atau dapat dilakukan secara lisan di persidangan. Untuk surat kuasa yang dibuat diluar negeri bentuknya harus memenuhi persyaratan yang berlaku dinegara yang bersangkutan dan diketahui oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara tersebut, serta kemudian harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi (Pasal 57 UU PTUN).[6]
            Walaupun para pihak yang diwakili oleh kuasanya masing-masing, apabila dipandang perlu hakim berwenang memerintahkan kedua belah pihak yang bersangkutan datang menghadap.
            Menurut Pasal 84 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, apabila dalam persidangan seorang kuasa melakukan tindakan yang melampaui batas wewenangnya, pemberi kuasa dapat mengajukan sangkalan secara tertulis disertai tuntutan agar tindakan kuasa tersebut dinyatakan batal oleh pengadilan. Apabila sangkalan itu dikabulkan, maka hakim wajib menetapkan dalam putusan yang dimuat dalam berita acara sidang, bahwa tindakan kuasa itu dinyatakan batal dan selanjutnya dihapus dalam berita acara pemeriksaan. Putusan tersebut dibacakan atau diberitahukan kepada para pihak yang bersangkutan.


BAB III
KESIMPULAN

-       Gugatan adalah suatu permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mendapatkan keputusan (Pasal 1 UU PTUN).
-       Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan karena dikeluarkannya suatu keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan.
-       Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
-       Suatu gugatan yang akan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara harus memuat (Pasal 56 ayat 1 UU PTUN) :
1. Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat atau kuasanya
2. Nama, jabatan, dan tempat tinggal tergugat
3. Dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rozali. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Harahap, Zairin. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Marbun, SF. Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Liberty, 2003.




[1] SF Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara (Yogyakarta: Liberty, 2003), hal. 66.
[2] Ibid, hal. 69
[3] Rozali Abdullah, S.H., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002) hal. 32
[4] Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada: 2008), hal. 103
[5] Rozali Abdullah, S.H., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 41
[6] Ibid, hal. 43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENYERTAAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

Perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dalam hukum pidana Islam dapat dijelaskan menggunakan teori penyertaan yang sama halnya de...